HIDUPKATOLIK.COM – Paus Fransiskus meluncurkan seruan khusus agar perhatian global terhadap penderitaan pengungsi Rohingya, dan mendesak semua orang untuk berdoa bagi perdamaian di tengah perang yang sedang berlangsung di Ukraina, Tanah Suci, dan tempat lain.
“Janganlah kita melupakan peperangan. Janganlah kita melupakan para martir di Ukraina, Palestina, Israel, Rohingya, dan banyak sekali peperangan yang terjadi di mana-mana. Mari kita berdoa untuk perdamaian.”
Dengan kata-kata ini, Paus Fransiskus menyampaikan seruan terbarunya pada Audiensi Umum mingguan di Vatikan sebagai bagian dari pidato penutupnya kepada para peziarah Italia.
“Perang,” beliau menggarisbawahi, “selalu merupakan kekalahan. Mari kita berdoa untuk perdamaian. Kita membutuhkan perdamaian.”
Permohonan baru untuk Rohingya, Myanmar
Paus Fransiskus, yang mengunjungi Myanmar dan Bangladesh pada tahun 2017, berulang kali menyuarakan keprihatinannya atas penderitaan para pengungsi Rohingya.
Orang-orang Rohingya, yang tidak diberi kewarganegaraan di Myanmar sejak tahun 1982, sehingga membuat mereka tidak memiliki kewarganegaraan, digambarkan sebagai salah satu kelompok minoritas yang paling teraniaya di dunia, dan selama beberapa dekade telah melarikan diri ke negara-negara tetangga baik melalui darat atau perahu.
Kudeta militer di Myanmar pada 2 Februari 2021 semakin memperparah kerentanan mereka.
Berfokus pada Myanmar baru-baru ini dalam doa Angelus pada tanggal 28 Januari, Paus Fransiskus mengimbau fasilitasi bantuan kemanusiaan, dan mendesak semua orang untuk menempuh jalur dialog.
“Selama tiga tahun ini,” katanya, “jeritan kesakitan dan hiruk pikuk senjata telah menggantikan senyuman yang menjadi ciri khas masyarakat Myanmar.”
Ia menggabungkan suaranya dengan para Uskup Burma untuk berdoa agar “senjata pemusnah dapat diubah menjadi instrumen untuk bertumbuh dalam kemanusiaan dan keadilan.”
Meskipun Paus mengakui bahwa perdamaian adalah sebuah perjalanan, ia mengundang semua pihak yang terlibat “untuk mengambil langkah-langkah dialog dan mengenakan pemahaman” sehingga “tanah Myanmar dapat mencapai tujuan rekonsiliasi persaudaraan.”
“Biarkan bantuan kemanusiaan diizinkan masuk untuk menjamin kebutuhan setiap orang,” katanya.
Pertempuran di Myanmar melawan pemerintah militer yang merebut kekuasaan tiga tahun lalu telah berkembang hingga sebagian besar orang mengatakan negara tersebut kini berada dalam perang saudara. **
Deborah Castellano Lubov (Vatican News)/Frans de Sales