HIDUPKATOLIK.COM – Tujuh tokoh dan alumni Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi dari seluruh Indonesia telah mengeluarkan seruan yang mendesak pemerintah agar melaksanakan pemilihan umum (pemilu) yang jujur dan adil sebagai langkah penting dari setiap proses peralihan pemerintahan dan lembaga perwakilan di Indonesia sejak Reformasi 1998.
“Dua asas ini bukan saja untuk menjamin setiap suara dihargai, melainkan lebih dari itu, sebagai ajaran etika politik kita,” kata Ketua STF Driyarkara, Pastor Simon P. Lili Tjahjadi, seperti tertulis dalam seruan setebal satu halaman bertajuk “Seruan Jembatan Serong II – Demi Kehormatan Bangsa dan Negara” yang dikeluarkan pada Senin (05/1/2024) di Jakarta tersebut.
Seruan tersebut merupakan tindak lanjut dari Seruan Jembatan Serong I yang dikeluarkan pada tanggal 27 November 2023.
Selain Pastor Simon, enam tokoh lainnya yang turut menandatangani seruan tersebut adalah Pastor F.X. Eko Armada Riyanto, CM dari STFT Widya Sasana di Malang, Jawa Timur; Bruder Elias Tinambunan, OFMCap dari STFT St. Yohanes di Pematang Siantar, Sumatera Utara; Pastor Otto Gusti Madung, SVD dari IFTK Ledalero di Maumere, Nusa Tenggara Timur; Pastor C.B. Mulyatno dari Fakultas Teologi Wedabhakti Universitas Sanata Dharma di Yogyakarta; Pastor Barnabas Ohoiwutun, MSC dari STF Seminari Pineleng di Minahasa, Sulawesi Utara; dan Pastor John Subani, Lic. Iur. Can. dari Fakultas Filsafat Universitas Widya Mandira di Kupang, Nusa Tenggara Timur.
Beberapa tokoh lainnya juga hadir dalam pembacaan seruan tersebut, antara lain Romo Franz Magnis-Suseno, SJ dan Romo A. Setyo Wibowo, SJ serta Karlina Supelli.
“Kepada segenap pemangku jabatan negara dan pemerintahan, khususnya kepada presiden, kami mengingatkan bahwa bersikap jujur dan adil adalah cara berpikir dan laku dalam bernegara. Kekuasaan yang dijalankan secara lancung akan merusak etika, kemudian hukum. Kami mengawasi, khususnya sejak Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang meloloskan putra Anda menjadi calon wakil presiden, Anda makin menjauh dari harapan yang diamanatkan oleh pemilih Anda, terutama menyangkut netralitas sikap negara dan kontinuitas perjuangan reformasi melawan korupsi, kolusi dan nepotisme dalam pelbagai bentuknya,” ujar Pastor Simon.
Menurut Pastor Simon, negara tidak boleh dikorbankan demi kepentingan kelompok atau pelanggengan kekuasaan keluarga. Sesuai Mukadimah Undang-Undang Dasar 1945, Negara Indonesia berdiri agar setiap rakyatnya hidup “merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.” Dengan demikian, pemerintah dibentuk demi mencapai tujuan itu.
Berdasarkan hal ini, imbuhnya, seluruh civitas academica dan alumni Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi seluruh Indonesia menyampaikan seruan berisi tiga poin.
“Pertama, ingatlah kembali sumpah jabatan Anda untuk berbakti kepada Nusa dan Bangsa serta memenuhi kewajiban Anda seadil-adilnya. Kami meminta Anda berkompas pada hati nurani dan berpegang secara konsekuen pada Pancasila, dasar filsafat dan fundament moral kita. Kedua, kembalikan keluhuran eksistensi Indonesia dengan menghormati nilai-nilai politik yang diwariskan para pendiri bangsa kita, bukan malah merusaknya lewat berbagai pelanggaran konstitusional dan akal-akalan undang-undang yang menabrak etika berbangsa dan bernegara. Hentikan penyalahgunaan sumber daya negara untuk kepentingan pelanggengan kekuasaan. Selain kepada hukum dan prinsip demokrasi, Anda bertanggung jawab kepada Tuhan,” tegasnya.
“Ketiga, kepada segenap warga Indonesia kami menyerukan agar memanfaatkan hak pilih Anda pada Pemilu 2024 secara bijak, dengan antara lain mencermati rekam jejak para calon presiden dan partai pendukungnya, dalam kesetiaan mereka pada penegakan HAM dan komitmen menghapus praktik korupsi, kolusi dan nepotisme yang telah merusak Negara Kesatuan Republik Indonesia yang kita cintai bersama. Mari berdoa, berjuang dan bersaksi bagi Pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia dan adil.”
Mereka menutup seruan tersebut dengan menyatakan bahwa “kami informasikan bahwa pernyataan ini adalah bagian dari orkestra nasional demi supremasi moral, di atas urusan elektoral.”
Katharina Reny Lestari