HIDUPKATOLIK.COM – WAKTU berjalan begitu cepat. Tidak terasa, sudah hampir tiga bulan sejak Paus Fransiskus mengangkat Pastor Fransiskus Nipa, seorang imam diosesan yang pernah mengenyam studi Hukum Gereja di Roma, sebagai Uskup Agung Koajutor Keuskupan Agung Makassar (KAMS) pada tanggal 21 Oktober 2023.
Sejak saat itu, persiapan upacara tahbisan episkopat yang akan digelar pada tanggal 1 Februari 2024 di Paroki Katedral Hati Kudus yang Mahakudus pun kian matang. Awalnya tahbisan direncanakan pada tanggal 2 Februari, bertepatan dengan Pesta Yesus Dipersembahkan di Bait Allah. Namun berubah karena tanggal tersebut jatuh pada Hari Jumat. Pertama, ada tradisi merayakan Salve bagi umat Katolik lokal. Kedua, tahbisan mengundang sejumlah pejabat setempat, terutama dari kalangan Islam yang melakukan sholat Jumat.
Mgr. Frans, sapaan akrabnya, sudah menyiapkan motto dan logo. Mottonya adalah Misericordiam Volo (Yang kukehendaki ialah belas kasihan, – Matius 9:13). Sementara logonya mengandung beberapa elemen, seperti tudung kepala, tali singel dan jumbai, salib, perisai, dan banner, yang masing-masing memiliki makna tersendiri. Dalam wawancara HIDUP berikut ini, Mgr. Frans menjelaskan beberapa hal. Berikut petikannya:
Bagaimana kabar pengangkatan tersebut sampai ke telinga Monsignur?
Saya bersama teman-teman lain belajar di Roma. Kebetulan saya ditugaskan Bapak Uskup, Mgr. John Liku Ada’ untuk belajar Hukum Gereja. Di Roma, kami yang belajar Hukum Gereja seringkali diganggu (Red: digoda): “Kalian adalah carabinieri della cessa, tentaranya Gereja.” Artinya yang membela Gereja. Sehingga selalu mereka ganggu: “Wah, ini calon uskup.” Ini yang pertama. Yang berikut, dalam perjalanan waktu, sesudah belajar di Roma, saya ditugaskan sebagai pimpinan Tahun Rohani selama dua tahun, sesudahnya ditugaskan di Keuskupan sebagai sekretaris. Jadi sepanjang 21 tahun saya berada di kompleks Keuskupan dan Katedral Makassar.
Sehingga ketika sudah mulai kedengaran bahwa Bapak Uskup, Mgr. John Liku, mendekati usia 75 tahun, mulai – entah umat atau suster atau pastor – ganggu: “Siapa calon uskup?” Bahkan ada yang ganggu: “Eh, saya sudah mimpikan, katanya Pastor jadi uskup.” Tetapi saya memahami itu sangat biasa. Apalagi di Indonesia, teman-teman yang belajar Hukum Gereja dan menjadi uskup baru dua orang waktu itu, Mgr. Robertus Rubiyatmoko dari Keuskupan Agung Semarang dan Mgr. Inno Ngutra dari Keuskupan Amboina. Karena Uskup Amboina baru-baru ini ditahbiskan, jadi saya berpikir umat melihatnya ke sana. Yang ditahbiskan menjadi uskup di sana adalah vikaris yudisial, maka di Makassar juga mungkin vikaris yudisial. Polanya sama. Umat menduga-duga saja. Jadi saya pahami itu sangat biasa.
Pada tanggal 24 Februari lalu, Hari Jumat, waktu itu saya di Bogor. Saya pertama kali dikontak dari Nunsiatura (Kedutaan Besar Vatikan di Jakarta) oleh Pastor Michael, Sekretaris Nunsio. Tapi materinya memang dalam proses terna, pengangkatan uskup. Waktu itu saya diminta, pertama, sangat rahasia. Kedua, bukan tentang diri saya tetapi dua rekan imam. Tapi saya sudah tahu karena saya pelajari di Roma bahwa calon uskup dalam rangka pembuatan terna selalu ada tiga calon. Saya mulai menduga, jangan sampai saya juga masuk. Karena saya hanya dikasih dua nama.
Pernah terpikirkan sebelumnya tidak?
Kami, para imam, berpikir bahwa yang penting kami jadi imam yang baik. Tidak berpikir mengenai nanti akan jadi pimpinan, jadi uskup. Tidak berpikir ke arah sana. Dalam situasi seperti itu, sejak seminari tinggi sampai sekarang, kalau ada pengalaman pergumulan seperti itu, saya bawa dalam doa novena. Intinya, saya tidak tahu apa yang akan terjadi ke depan. Dan, terkait usia Mgr. John Liku yang mendekati 75 tahun, seandainya itu terjadi dalam diri saya, maka yang saya mohonkan dalam novena itu “bantu saya, Tuhan, untuk mencari dan menemukan kehendak-Mu dan menghidupinya.” Intinya, kehendak Tuhan yang terjadi.
Novena apa, Monsignur? Apakah Novena Tiga Salam Maria atau ada novena khusus?
Saya terbiasa dengan doa Novena Tiga Salam Maria. Sembilan hari. Juga rosario. Lalu datanglah Hari Rabu, tanggal 11 Oktober 2023. Saya dipanggil Nunsio. Sampai di sana sudah ada SOP. Jadi saya datang, lalu saya diberitahu mengenai penunjukan sebagai uskup koajutor. Sebelum saya menjawab, saya diminta dulu untuk masuk ke kapel. Lalu saya masuk ke kapel untuk berdoa, didampingi oleh Nunsio dan Pastor Michael. Sesudah itu Nunsio kasih satu kertas untuk menulis sesuatu. Katakanlah untukku menerima atau bagaimana.
Sempat berpikir apa yang mau ditulis di atas kertas tersebut?
Memang Nunsio memberikan semacam latar belakang dan seterusnya. Tapi semua dikatakan rahasia. Saya diberi kertas, sudah ada perbandingan dari Nunsio. Nunsio mengatakan boleh ikut ini, boleh juga tidak. Bebas. Lalu saya tulis dalam Bahasa Italia dan saya teken.
Tetapi Nunsio garisbawahi bahwa ini merupakan rahasia sampai pada saat pengumuman tiba. Pada saat itu juga Nunsio menelepon Mgr. John Liku’ untuk menyampaikan hal itu, sesudah saya teken.
Selesai pertemuan itu saya balik ke Makassar. Yang tahu hanya saya dan Bapak Uskup John Liku’. Kemudian tanggal 15 Oktober saya diangkat sebagai Pastor Paroki Katedral. Dilantik waktu itu. Karena sebelumnya sudah ada rencana. Lalu tanggal 21 Oktober, sesuai kesepakatan Nunsio dan Mgr. John Liku’, diumumkanlah (pengangkatan) itu, bertepatan dengan pengumuman di Roma.
Apa yang Monsignur lakukan pertama kali setelah mendapat kabar pengangkatan tersebut?
Saya menunggu pengumuman. Sesudah ada pengumuman, tentu saya koordinasi dengan Mgr. John Liku’ mengenai langkah-langkah selanjutnya. Persiapan tahbisan, teknis tahbisan: kapan dan di mana. Pembentukan panitia.
Saya sendiri sudah mulai mempersiapkan diri terkait dengan pembatinan tahbisan, juga semboyan dan logo. Jadi itu semua yang saya buat dalam perjalanan waktu. Sekarang saya berada dalam masa menjelang tahbisan. Berkoordinasi dengan Mgr. John.
Bagaimana soal pembagian tugas dengan Mgr. John?
Panduan kita terkait job uskup koajutor ada dalam Kanon 403 dan seterusnya. Di sana dijelaskan mengenai uskup koajutor dan seterusnya. Latar belakangnya bisa dibaca dalam Dokumen Konsili Vatikan II, Christus Dominus.
Tetapi intinya begini, kita lihat situasi yang konkret, kesehatan matan mata Mgr. John terganggu. Jadi kalau melihat ke bawah itu gelap, melihat ke depan oke, tapi kiri dan kanan tidak bisa. Sehingga memang selama dia kesulitan dalam hal mata ini, terbatas sekali pelayanan yang bisa dibuat. Sehingga saya membayangkan ke depan mungkin kunjungan-kunjungan ke pedalaman akan menjadi job saya di tiga provinsi: Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat, terdiri dari 49 paroki dan 5 kuasi paroki. Yang pasti bahwa pimpinan keuskupan masih Mgr. John. Saya sebagai uskup koajutor, bersama dengan Kuria dan vikep dan para pastor, membantu uskup.
KAMS cukup luas. Ada lima kevikepan. Bagaimana Monsignur menyikapinya?
Puji Tuhan, sejak 2012 kami mengadakan Sinode Diosesan. Dalam Sinode kami sepakati mengenai visi-misi Keuskupan, strateginya. Ada delapan bidang prioritas, yakni reevangelisasi, keluarga, pendidikan, kesehatan, sosial-budaya, sosial-ekonomi, sosial politik, dan tata kelola harta benda gerejani. Siapa yang mengawal, mendorong ini? Ada badan di tingkat keuskupan yang disebut Dewan Karya Pastoral (DKP), di tingkat kevikepan Tim Karya Pastoral Kevikepan (TKPK), di tingkat paroki Dewan Pastoral Paroki. Jadi dalam sekian tahun ke depan, paling tidak sampai 2025, fokus kami ke sana. Kemudian sampai 2025, kami mengadakan evaluasi secara komprehensif.
Apakah Monsignur pernah berkeliling ke lima kevikepan?
Karena saya sekretaris hampir 12 tahun, jadi semua paroki sudah saya kunjungi semua.
Sebagai putra Toraja, bagaimana Monsignur melihat tantangan saat ini dan ke depan?
Khusus mengenai Toraja, kalau kita tempatkan dan mengingat sejarah di Sulawesi, tempat berpijaknya kekristenan di Sulawesi Tenggara itu Minahasa, Sulawesi Selatan dan sekitarnya itu Toraja. Maka bagaimana ke depan dijaga pijakan kekristenan ini, dijaga dan diperkuat? Dua titik yang sangat khas di Toraja itu kekristenan dan budaya. Dalam delapan bidang prioritas tadi masuk bidang sosial-budaya. Jadi perlu ada langkah-langkah untuk menjaga dan memelihara pijakan kekristenan. Jangan sampai terjadi sekian tahun ke depan, Toraja sebagai pijakan kekristenan tinggal nostalgia saja.
Katharina Reny Lestari
Majalah HIDUP, Edisi No.3, Tahun Ke-78, Minggu, 21 Januari 2024