HIDUPKATOLIK.COM – Minggu, 24 Desember 2023, Minggu Adven IV. 2Sam.7:1-5, 8b-12, 14a, 16; Mzm.89:2-3, 4-5, 27, 29; Rm.16:25-27; Luk.1:26-38
ENTAH sudah berapa banyak kali kisah warta malaikat Gabriel kepada Maria ini kita dengar. Pesan kisah yang sudah berkali-kali kita dengar, mungkin saja tidak terlalu mengesankan lagi. Tetapi kita mesti terus mengusahakan agar pesan ini tetap menggugah dan menggerakkan hati kita.
Kita dapat merenungkan betapa dahsyat pengaruh kata-kata Bunda Maria “Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; terjadilah padaku menurut perkataanmu” (Luk. 1:38) bagi sejarah umat manusia. Berapa banyak orang suci yang tampil dalam sejarah umat manusia sampai sekarang, dengan hidup meneladan Bunda Maria, ibu dan sekaligus murid Yesus yang pertama dan utama.
Berapa banyak tarekat religius, dengan sekian banyak anggota yang tersebar di seluruh dunia, yang spiritualitasnya dilandaskan pada spiritualitas Bunda Maria. Berapa banyak orang sederhana, seperti kita-kita ini, yang dengan tekun dan setia berusaha untuk menjadikan hidup kita bermakna (tidak hanya berguna), bermartabat, dan mulia dengan mengandalkan teladan dan doa-doa Bunda Maria.
Litani yang lebih panjang masih dapat ditulis untuk menunjukkan betapa dahyat buah-buah dari kata-kata Bunda Maria “terjadilah padaku menurut perkataanmu” bagi sejarah manusia dan dunia. Kita juga berharap, kata-kata Bunda Maria itu pun ikut mebentuk pribadi kita.
Muncul pertanyaan, bagaimana akhirnya Bunda Maria dapat berkata “terjadilah padaku menurut perkataanmu”? Tampaknya ucapan itu terjadi tiba-tiba, tetapi sebenarnya tidaklah demikian. Maria di dalam Injil Lukas tidak hanya tampil sebagai pribadi.
Ia tampil sebagai pribadi yang mewakili komunitas yang menghidupi spiritualitas tertentu, yang biasa disebut komunitas “orang-orang miskin Yahwe”, atau bisa juga spiritualitas “orang-orang yang takut akan Allah”.
Ini jelas misalnya dalam Kidung Maria (Luk. 1:46-56). Kidung ini adalah gubahan dari kidung yang sudah jauh sebelumnya biasa didaraskan oleh yang disebut “orang-orang miskin Yahwe”, sebagaimana dikidungkan oleh Hana dalam 1 Sam. 2:1-10.
Dalam sejarah, spiritualitas itu tumbuh sejak zaman Pembuangan Babilonia (tahun 587-537 SM). Ketika berhasil mengalahkan Kerajaan Babilonia, Koresh Raja Persia mengizinkan orang-orang Yahudi yang dibuang ke Babilonia untuk kembali ke tanah air mereka, yang adalah tanah terjanji.
Tidak sedikit yang tidak mau menggunakan kesempatan ini untuk kembali ke tanah terjanji dengan berbagai macam alasan. Tetapi ada sebagian yang menggunakan kesempatan itu untuk kembali ke tanah terjanji, meski mereka tahu bahwa tanah terjanji mereka sudah luluh lantak.
Yang mendorong mereka kembali adalah keyakinan bahwa janji Allah pada waktunya akan terlaksana. Inilah cikal bakal spiritualitas orang-orang miskin Yahwe. Inti spiritualitas itu adalah keyakinan yang tak tergoyahkan bahwa janji Allah akan menjadi kenyataan. Dengan kata lain, inti spiritualitas ini adalah harapan.
Ketika renungan saya sampai kata “harapan”, entah bagaimana, saya teringat akan cita-cita negara kita didirikan. Cita-cita itu dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945 alinea 4: “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.” Itulah cita-cita – atau dengan kata lain harapan – bangsa kita.
Salah satu yang sedang didalami pada tahun 2023 di Keuskupan Agung Jakarta adalah harapan untuk sampai pada kesejahteraan umum atau kebaikan bersama. Harapan itu amat mulia, namun kenyataan masih jauh dari harapan itu. Kontras ini dapat memberikan gambaran : dari satu pihak, angka penyandang “tengkes” (= anak yang pada awal kehidupan kekurangan makanan atau gizi sehingga secara jasmani tidak tumbuh normal, dan dengan sendirinya juga rendah kemampuan kecerdasannya) di Indonesia pada tahun 2022 adalah 21,6 %.
Dari lain pihak, satu penelitian menemukan bahwa kalau dirupiahkan, jumlah makanan yang dibuang sebagai sampah di Indonesia, setiap tahun mencapai angka 330 trilyun rupiah. Angka kecerdasan rata-rata masyarakat Indonesia adalah 78,49 di bawah angka rata-rata masyarakat dunia yang adalah 82. Itu berarti ada warga negara yang dapat memperoleh pendidikan apa pun, sementara tidak sedikit yang sama sekali tidak mendapat pelayanan pendidikan.
Kita bertanya, dalam keadaan seperti itu apa makna harapan yang ingin kita hayati secara khusus dalam masa Adven ini? Makna itu akan kita temukan kalau kita – baik pribadi maupun bersama-sama – berani menjawab pertanyaan ini: “Apa yang harus kita lakukan, agar kesejahteraan bersama semakin terwujud di masyarakat kita?”
Jawabannya dapat bermacam-macam dan sangat sederhana: ada yang berjanji untuk tidak pernah lagi membuang-buang makanan; ada pula komunitas yang memulai gerakan “anti tengkes”; ada paroki yang setiap hari Rabu menyediakan makan siang gratis, bekerja sama dengan RT atau RW secara berganti-ganti.
Harapan besarnya: agar pemerintah yang memikul tanggung jawab utama memastikan terwujudnya kesejahteraan bersama, sungguh menjalankan tanggung jawabnya itu. Kita berdoa, semoga pemerintah seperti itulah yang akan terpilih dalam Pemilihan Umum yang akan dilaksanakan pada tanggal 14 Februari 2024.
Kidung Maria (Magnificat)
Aku mengagungkan Tuhan,
hatiku bersukaria karena Allah penyelamatku.
Sebab Ia memperhatikan daku,
hamba-Nya yang hina ini.
Mulai sekarang aku disebut yang bahagia,
oleh sekalian bangsa.
Sebab perbuatan besar dikerjakan bagiku oleh Yang Mahakuasa,
kuduslah nama-Nya.
Kasih sayang-Nya turun-temurun,
kepada orang yang takwa.
Perkasalah perbuatan tangan-Nya,
dicerai-beraikan-Nya orang yang angkuh hatinya.
Orang yang berkuasa diturunkan-Nya dari takhta,
yang hina dina diangkat-Nya.
Orang lapar dikenyangkan-Nya dengan kebaikan,
orang kaya diusir-Nya pergi dengan tangan kosong.
Menurut janji-Nya kepada leluhur kita,
Allah telah menolong Israel hamba-Nya.
Demi kasih sayang-Nya kepada Abraham serta keturunannya,
untuk selama-lamanya.
(Luk. 1:46-56)
Majalah HIDUP, Edisi No. 52, Tahun Ke-77, Minggu, 24 Desember 2023