web page hit counter
Jumat, 22 November 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Ini Naskah Lengkap Deklarasi “Fiducia Supplicans”: Makna Pastoral dari Pemberkatan

5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.COM – Pembaca, Redaksi memperoleh naskah lengkap Deklarasi “Fiducia Supplicans” versi bahasa Indonesia dari Sekretaris Komisi Keluarga Konferensi Waligereja, Romo Y. Aristanto, MSF. Berikut ini naskah selengkapnya:

PENGANTAR

Deklarasi ini membahas beberapa pertanyaan yang diajukan kepada Dikasteri dalam beberapa tahun terakhir. Dalam mempersiapkan dokumen ini, seperti biasa, Dikasteri berkonsultasi dengan para ahli, melakukan proses perancangan yang cermat, dan membahas teksnya dalam Kongres Seksi Ajaran dari Dikasteri. Pada saat itu, dokumen tersebut dibahas bersama Bapa Suci. Pada akhirnya, teks Deklarasi diserahkan kepada Bapa Suci untuk diperiksa, dan beliau menyetujuinya dengan menandatanganinya.

Sewaktu pokok bahasan dokumen ini dipelajari, tanggapan Bapa Suci terhadap Dubia beberapa Kardinal dinyatakan. Tanggapan tersebut memberikan penjelasan penting atas refleksi ini dan mengungkapkan unsur yang menentukan bagi karya Dikasteri. Karena “Kuria Roma adalah sarana utama untuk melayani penerus Petrus” (Konstitusi Apostolik Praedicate Evangelium, II, 1), maka karya kami harus berkembang, sejalan dengan pemahaman akan doktrin perenial Gereja, penerimaan ajaran Bapa Suci.

Sebagaimana tanggapan Bapa Suci atas Dubia dua Kardinal yang telah disinggung di atas, Deklarasi ini tetap berpegang teguh pada doktrin tradisional Gereja tentang perkawinan, tidak mengizinkan jenis ritus liturgi atau pemberkatan apa pun yang serupa dengan ritus liturgi yang dapat menimbulkan kebingungan. Namun, dokumen ini bermanfaat karena menawarkan bantuan yang khusus dan inovatif atas makna pastoral dari pemberkatan, yang memungkinkan perluasan dan pengayaan pemahaman klasik tentang pemberkatan, yang terkait erat dengan sudut pandang liturgi. Refleksi teologis seperti itu, berdasarkan visi pastoral Paus Fransiskus, menyiratkan perkembangan nyata dari apa yang telah dikatakan mengenai berkat dalam Magisterium dan teks-teks resmi Gereja. Hal ini menjelaskan mengapa teks ini mengambil tipologi sebuah “Deklarasi”.

Justru dalam konteks inilah kita dapat memahami adanya kemungkinan untuk memberkati pasangan-pasangan yang berada dalam situasi irregular dan pasangan sesama jenis tanpa secara resmi mengesahkan status mereka atau mengubah dengan cara apa pun ajaran perennial Gereja tentang perkawinan.

Deklarasi ini juga dimaksudkan sebagai sebuah penghormatan  kepada Umat Allah yang setia, yang menyembah Tuhan dengan begitu banyak ungkapan kepercayaan yang mendalam akan belas kasih-Nya dan yang, dengan kepercayaan ini, terus-menerus datang untuk mencari berkat dari Bunda Gereja.

Víctor Manuel Card. FERNÁNDEZ

Prefect

 

PENDAHULUAN

 

  1. Permohonan penuh iman dari Umat Allah menerima anugerah berkat yang mengalir dari Hati Kristus melalui Gereja-Nya. Paus Fransiskus berkali-kali mengingatakan: “Berkat agung Allah adalah Yesus Kristus. Ia adalah anugerah agung Allah, Putra-Nya sendiri. Ia adalah berkat bagi seluruh umat manusia, berkat yang telah menyelamatkan kita semua. Ia adalah Firman Kekal, yang dengan-Nya Bapa memberkati kita ‘ketika kita masih berdosa’ (Rm. 5:8), sebagaimana dikatakan oleh Santo Paulus. Ia adalah Firman yang telah menjadi manusia, yang dipersembahkan bagi kita di kayu salib.”[1]

 

  1. Didorong oleh kebenaran yang begitu besar dan menghibur, Dikasteri telah mempertimbangkan beberapa pertanyaan baik yang bersifat formal maupun informal tentang kemungkinan memberkati pasangan sesama jenis dan – dalam terang pendekatan kebapakan dan pastoral Paus Fransiskus – memberikan penjelasan baru atas Responsum ad dubium[2] yang diterbitkan oleh Kongregasi untuk Ajaran Iman pada tanggal 22 Februari 2021.

 

  1. Responsum yang disebutkan di atas menimbulkan banyak ragam tanggapan: beberapa menyambut baik kejelasan dokumen tersebut dan konsistensinya dengan ajaran perennial Gereja; yang lain tidak sependapat dengan jawaban negatif yang diberikan atas pertanyaan tersebut atau tidak setuju dengan rumusan jawabannya dan alasan-alasan yang diberikan dalam Nota Penjelasan yang dengan jelas dilampirkan. Untuk menjawab tanggapan terakhir ini dengan cinta persaudaraan, nampaknya tepat sekali untuk mengangkat tema ini lagi dan menawarkan sebuah visi yang menyatukan aspek-aspek doktrinal dan aspek-aspek pastoral secara koheren, karena “semua pengajaran agama akhirnya harus dicerminkan dalam cara hidup sang pewarta Injil, yang membangkitkan persetujuan hati melalui kedekatan, kasih, dan kesaksiannya.”[3]

 

 

  1. Berkat Sakramen Perkawinan

 

  1. Tanggapan Paus Fransiskus baru-baru ini terhadap pertanyaan kedua dari lima pertanyaan yang diajukan oleh dua Kardinal[4] membuka kesempatan untuk mendalami masalah ini lebih jauh, terutama terkait pada penerapan pastoralnya. Masalahnya adalah menghindari “sesuatu yang bukan perkawinan diakui sebagai perkawinan.”[5] Oleh karena itu, ritus dan doa yang dapat menciptakan kebingungan antara apa yang dimaksud dengan perkawinan – yang merupakan “persatuan yang eksklusif, stabil, dan tidak dapat diceraikan antara seorang pria dan seorang wanita, yang secara alamiah terbuka untuk menghasilkan keturunan”[6] – dan apa yang bertentangan dengannya tidak dapat diterima. Keyakinan ini didasarkan pada doktrin Katolik abadi tentang perkawinan; hanya dalam konteks inilah hubungan seksual menemukan maknanya yang alamiah, tepat, dan sepenuhnya manusiawi. Doktrin Gereja tentang hal ini tetap dipegang teguh.

 

  1. Pemahaman perkawinan inilah yang diberikan oleh Injil. Karena alasan ini, dalam hal pemberkatan, Gereja memiliki hak dan kewajiban untuk menghindari ritus apa pun yang mungkin bertentangan dengan keyakinan ini atau menyebabkan kebingungan. Demikian juga makna dari Responsum Kongregasi Ajaran Iman, yang menyatakan bahwa Gereja tidak memiliki kuasa untuk memberikan pemberkatan atas perkawinan sesama jenis.

 

  1. Perlu ditekankan bahwa ritus Sakramen Perkawinan bukanlah sembarang pemberkatan, tetapi sebuah tata gerak yang diperuntukkan bagi pelayan tertahbis. Dalam hal ini, berkat yang diberikan oleh pelayan tertahbis terkait langsung dengan persatuan khusus antara seorang pria dan seorang wanita, yang membangun sebuah perjanjian yang eksklusif dan tak terpisahkan melalui kesepakatan mereka. Fakta ini memungkinkan kita untuk menggarisbawahi risiko merancukan antara berkat yang diberikan kepada persatuan lain dengan Ritus yang menunjuk pada Sakramen Pernikahan.

 

  1. Makna Aneka Berkat

 

  1. Tanggapan Bapa Suci di atas mengundang kita untuk memperluas dan memperkaya makna dari berkat.

 

  1. Berkat adalah salah satu sakramentali yang paling luas dan berkembang. Berkat-berkat itu sungguh menuntun kita untuk memahami kehadiran Allah di dalam semua peristiwa kehidupan dan mengingatkan kita bahwa, bahkan melalui ciptaan, manusia diundang untuk mencari Allah, mengasihi-Nya, dan melayani-Nya dengan setia.[7] Karena alasan ini, berkat-berkat itu mempunyai penerimanya masing-masing: manusia, objek penyembahan dan devosi, gambar-gambar kudus, tempat hidup, pekerjaan, dan penderitaan, hasil bumi dan jerih payah manusia, dan segala realitas ciptaan yang merujuk kembali kepada Sang Pencipta, memuji dan memuliakan-Nya melalui keindahannya.

 

Makna Liturgis Ritus Pemberkatan

 

  1. Dari sudut pandang liturgi yang ketat, sebuah pemberkatan menuntut bahwa apa yang diberkati haruslah sesuai dengan kehendak Allah, sebagaimana dinyatakan dalam ajaran Gereja.

 

  1. Sesungguhnya, berkat dirayakan berdasarkan iman dan diarahkan untuk memuji Allah dan untuk kepentingan rohani umat-Nya. Seperti yang dijelaskan dalam Buku Berkat, “agar maksud ini menjadi lebih nyata, oleh sebuah tradisi kuno, rumusan-rumusan pemberkatan terutama ditujukan untuk memuliakan Allah atas karunia-karunia-Nya, memohon bantuan-Nya, dan menahan kuasa kejahatan di dunia.”[8] Oleh karena itu, mereka yang memohon berkat Allah melalui Gereja diundang untuk “menguatkan disposisi mereka melalui iman, yang karenanya segala sesuatu menjadi mungkin” dan percaya pada “kasih yang mendorong ketaatan pada perintah Allah.”[9] Inilah sebabnya, sementara “selalu ada kesempatan untuk memuji Allah melalui Kristus, di dalam Roh Kudus,” ada juga perhatian untuk melakukan hal yang sama dengan “benda, tempat, atau situasi yang tidak bertentangan dengan hukum atau semangat Injil.”[10] Ini adalah sebuah pemahaman liturgis tentang pemberkatan sejauh hal itu menjadi ritus resmi yang diberikan oleh Gereja.

 

  1. Dengan mendasarkan diri pada pertimbangan-pertimbangan ini, Kongregasi Ajaran Iman dalam Catatan Penjelasan Responsum 2021 mengingatkan bahwa ketika sebuah berkat dimohonkan untuk hubungan manusiawi tertentu melalui sebuah ritus liturgis yang khusus, maka yang diberkati haruslah sesuai dengan rencana Allah yang tertulis dalam ciptaan dan yang diwahyukan secara penuh oleh Kristus Tuhan. Untuk alasan ini, karena Gereja selalu menganggap bahwa hubungan seksual hanya sah secara moral jika dilaksanakan dalam perkawinan. Gereja tidak memiliki kuasa untuk memberikan berkat liturgisnya jika hal itu, entah bagaimana, akan memberikan suatu bentuk legitimasi moral kepada persatuan yang dianggap sebagai perkawinan atau praktik seksual di luar nikah. Bapa Suci mengulangi substansi Deklarasi ini dalam Respuestas-nya atas Dubia dua Kardinal.

 

  1. Kita juga harus menghindari risiko untuk mengurangi makna berkat pada sudut pandang ini saja, karena hal itu akan membawa kita untuk mengharapkan kondisi moral yang sama pada sebuah berkat sederhana yang dituntut dalam penerimaan sakramen-sakramen. Risiko seperti itu mengharuskan kita untuk memperluas perspektif ini lebih jauh. Memang, ada bahaya bahwa sebuah gerakan pastoral yang begitu dicintai dan tersebar luas akan tunduk pada terlalu banyak prasyarat moral, yang, di bawah klaim kontrol, dapat membayangi kuasa kasih Allah yang tak bersyarat yang menjadi dasar dari tindakan pemberkatan.
Baca Juga:  PESAN NATAL KWI DAN PGI: “MARILAH SEKARANG KITA PERGI KE BETLEHEM” (LUK 2:15)

 

  1. Justru dalam hal ini, Paus Fransiskus mendesak kita untuk tidak “kehilangan cinta kasih pastoral, yang seharusnya meresapi semua keputusan dan sikap kita” dan untuk menghindari menjadi “hakim yang hanya menyangkal, menolak, dan mengucilkan.”[11]Marilah kita menanggapi usulan Bapa Suci ini dengan mengembangkan pemahaman yang lebih luas tentang berkat.

 

Berkat Dalam Kitab Suci

 

  1. Untuk merenungkan berkat dengan melihat dari aneka sudut pandang, pertama-tama kita perlu diterangi oleh suara Kitab Suci.

 

  1. “Tuhan memberkati engkau dan melindungi engkau. TUHAN menyinari engkau dengan wajah-Nya dan memberi engkau kasih karunia. TUHAN menghadapkan wajah-Nya kepadamu dan memberi engkau damai sejahtera ” (Bil. 6:24-26). “Berkat imamat” yang kita temukan dalam Perjanjian Lama, khususnya dalam Kitab Bilangan ini, memiliki karakter “turun” karena merupakan doa berkat yang turun dari Allah kepada manusia: teks ini adalah salah satu teks tertua tentang berkat ilahi. Kemudian, ada jenis berkat kedua yang kita temukan di dalam Alkitab, yaitu berkat yang “naik” dari bumi ke surga, kepada Allah. Berkat dalam pengertian ini adalah memuji, merayakan, dan berterima kasih kepada Allah atas belas kasihan dan kesetiaan-Nya, atas keajaiban-keajaiban yang telah Ia ciptakan, dan atas segala sesuatu yang terjadi atas kehendak-Nya: “Pujilah TUHAN, hai jiwaku! Pujilah nama-Nya yang kudus, hai segenap batinku” (Mz 103:1).

 

  1. Kepada Allah yang memberkati, kita juga menjawab dengan berkat. Melkisedek, Raja Salem, memberkati Abram (lih. Kej. 14:19); Ribka diberkati oleh anggota keluarganya sebelum ia menjadi mempelai Ishak (lih. Kej. 24:60), yang kemudian memberkati putranya, Yakub (lih. Kej. 27:27). Yakub memberkati Firaun (lih. Kej 47:10), cucu-cucunya sendiri, Efraim dan Manasye (lih. Kej 48:20), dan kedua belas anaknya (lih. Kej 49:28). Musa dan Harun memberkati umat (lih. Kel. 39:43; Im. 9:22). Para kepala keluarga memberkati anak-anak mereka pada saat perkawinan, sebelum memulai perjalanan, dan menjelang kematian. Dengan demikian, berkat-berkat ini tampak sebagai pemberian yang sangat melimpah dan tanpa syarat.

 

  1. Berkat yang ditemukan dalam Perjanjian Baru pada dasarnya memiliki makna yang sama dengan berkat dalam Perjanjian Lama. Kita menemukan karunia ilahi yang “turun”, ucapan syukur manusia yang “naik”, dan berkat yang diberikan oleh manusia yang “meluas” kepada orang lain. Zakharia, setelah mampu kembali berbicara, memuji Tuhan atas perbuatan-perbuatan-Nya yang ajaib (bdk. Luk. 1:64). Simeon, sambil menggendong Yesus yang baru lahir dalam pelukannya, memuji Tuhan karena telah memberinya anugerah untuk merenungkan Mesias yang menyelamatkan, dan kemudian memberkati orang tua anak itu, Maria dan Yusuf (bdk. Luk. 2:34). Yesus memuji Bapa dalam nyanyian pujian dan sukacita yang terkenal yang ditujukan kepada-Nya: “Aku bersyukur kepada-Mu, ya Bapa, Tuhan langit dan bumi” (Mat. 11:25).

 

  1. Dalam kesinambungan dengan Perjanjian Lama, di dalam Yesus berkat tidak hanya naik, merujuk kepada Bapa, tetapi juga turun, dicurahkan kepada orang lain sebagai tanda kasih karunia, perlindungan, dan kebaikan. Yesus sendiri menerapkan dan mengembangkan praktik ini. Sebagai contoh, Ia memberkati anak-anak: “Ia memeluk mereka dan memberkati mereka, lalu menumpangkan tangan-Nya ke atas mereka” (Mrk. 10:16). Dan perjalanan Yesus di dunia berakhir dengan berkat akhir yang diberikan kepada kesebelas murid, sebelum Ia naik kepada Bapa: “Di situ Ia mengangkat tangan-Nya dan memberkati mereka. Dan ketika Ia sendang memberkati mereka, Ia berpisah dari mereka dan terangkat ke Sorga ” (Luk. 24:50-51). Gambaran terakhir Yesus di bumi adalah Ia mengangkat tangan-Nya untuk memberkati.

 

  1. Dalam misteri kasih-Nya, melalui Kristus, Allah menyampaikan kepada Gereja-Nya kuasa untuk memberkati. Dikaruniakan oleh Allah kepada manusia dan diberikan oleh mereka kepada sesamanya, berkat tersebut diubah menjadi inklusi, solidaritas, dan perdamaian. Berkat adalah sebuah pesan positif yang memberikan kenyamanan, kepedulian, dan dorongan. Berkat ini mengungkapkan pelukan Allah yang penuh belas kasihan dan keibuan Gereja, yang mengundang umat beriman untuk memiliki perasaan yang sama seperti Allah terhadap saudara-saudari mereka.

 

Pemahaman Teologis-Pastoral Tentang Pembekatan

 

  1. Orang yang meminta berkat menyatakan diri bahwa ia membutuhkan kehadiran Allah yang menyelamatkan dalam hidupnya dan orang yang meminta berkat dari Gereja mengakui berkat sebagai sakramen keselamatan yang ditawarkan oleh Allah. Meminta berkat di dalam Gereja berarti mengakui bahwa kehidupan Gereja berasal dari kerahiman Allah dan menolong kita untuk maju, untuk hidup lebih baik, dan untuk menjawab kehendak Tuhan.

 

  1. Untuk membantu kita memahami nilai berkat dari pendekatan yang lebih pastoral, Paus Fransiskus mendorong kita untuk – dengan sikap iman dan belas kasih kebapaan – merenungkan fakta bahwa “ketika seseorang meminta berkat, dia mengungkapkan permohonan akan bantuan Tuhan, permohonan untuk hidup lebih baik, dan keyakinan pada Bapa yang dapat membantu kita untuk hidup lebih baik.”[12] Permintaan ini, dalam segalanya, harus dihargai, ditemani, dan diterima dengan rasa syukur. Orang-orang yang datang secara spontan untuk memohon berkat menunjukkan keterbukaan mereka yang tulus terhadap transendensi, keyakinan hati mereka bahwa mereka tidak percaya pada kekuatan mereka sendiri, kebutuhan mereka akan Tuhan, dan keinginan mereka untuk keluar dari batas-batas sempit dunia, yang terkurung dalam keterbatasannya.

 

  1. Seperti diajarkan oleh Santa Theresia dari Kanak-kanak Yesus kepada kita, keyakinan ini “adalah satu-satunya jalan yang menuntun kita kepada kasih yang memberikan segalanya. Dengan keyakinan, mata air rahmat meluap ke dalam hidup kita […]. Maka, sangatlah tepat bahwa kita harus menaruh kepercayaan yang tulus bukan pada diri kita sendiri, melainkan pada kerahiman tak terbatas dari Allah yang mengasihi kita tanpa syarat […]. Dosa dunia memang besar tetapi bukan tak terbatas, sebaliknya cinta Sang Penebus yang penuh belas kasihan sungguh tak terbatas.”[13]

 

  1. Ketika dipertimbangkan di luar kerangka liturgi, ungkapan-ungkapan iman ini ditemukan dalam sebuah dunia yang lebih spontan dan bebas. Namun demikian, “sifat opsional dari latihan-latihan kesalehan sama sekali tidak boleh diartikan sebagai meremehkan atau bahkan tidak menghormati praktik-praktik semacam itu. Jalan ke depan di bidang ini membutuhkan penghargaan yang benar dan bijaksana terhadap banyak kekayaan kesalehan populer, [dan] terhadap potensi dari kekayaan yang sama.”[14] Dengan demikian, berkat menjadi sebuah sumber daya pastoral yang harus dihargai dan bukannya sebuah risiko atau masalah.

 

  1. Dari sudut pandang reksa pastoral, pemberkatan hendaknya dievaluasi sebagai tindakan bakti yang “berada di luar perayaan Ekaristi Kudus dan sakramen-sakramen lainnya.” Memang, “bahasa, ritme, arah, dan penekanan teologis” dari kesalehan populer berbeda “dengan tindakan liturgi”. Karena alasan ini, “praktik-praktik kesalehan harus melestarikan gaya, kesederhanaan, dan bahasanya yang tepat, [dan] upaya-upaya untuk memaksakan bentuk-bentuk [tindakan, kata-kata, simbol yang dapat membuat orang beranggapan bahwa tindakan ini adalah ] ‘perayaan liturgi’ pada mereka harus selalu dihindari.”[15]

 

  1. Terlebih lagi, Gereja tidak boleh menyandarkan praksis pastoralnya pada sifat tetap dari skema-skema doktrinal atau disiplin tertentu, terutama ketika skema-skema itu mengarah pada “elitisme narsis dan otoriter, di mana orang bukannya menginjili, melainkan justru menganalisa dan mengklasifikasikan orang lain, dan bukannya membuka pintu rahmat, tetapi justru menghabiskan energinya untuk menginspeksi dan memverifikasi.”[16] Dengan demikian, ketika orang meminta suatu pemberkatan, sebuah analisa moral yang mendalam tidak boleh ditempatkan sebagai sebuah prasyarat untuk mengabulkannya. Karena, mereka yang meminta berkat seharusnya tidak dituntut untuk memiliki kesempurnaan moral sebelumnya.

 

  1. Dalam perspektif ini, Respuestas Bapa Suci membantu memperluas pernyataan Kongregasi Ajaran Iman 2021 dari sudut pandang pastoral. Sebab, Respuestas berisi penegasan mengenai kemungkinan “bentuk-bentuk pemberkatan, yang diminta oleh satu orang atau lebih, yang tidak menyampaikan konsepsi yang keliru tentang perkawinan “[17] dan, dalam situasi yang secara moral tidak dapat diterima dari sudut pandang objektif, memperhitungkan fakta bahwa “cinta kasih pastoral mengharuskan kita untuk tidak memperlakukan begitu saja sebagai ‘orang berdosa’ karena kesalahan atau tanggung jawab mereka dapat dilemahkan oleh berbagai faktor yang mempengaruhi imputabilitas subyektif.”[18]

 

  1. Dalam katekese yang dikutip pada awal Deklarasi ini, Paus Fransiskus mengajukan sebuah gambaran tentang berkat yang ditawarkan kepada semua orang tanpa mensyaratkan apa pun. Sangatlah penting untuk membaca kata-kata ini dengan hati yang terbuka, karena kata-kata ini membantu kita untuk memahami makna pastoral dari berkat-berkat yang diberikan tanpa syarat: “Allahlah yang memberkati. Di halaman-halaman pertama Kitab Suci, ada pengulangan yang terus menerus tentang berkat. Allah memberkati, tetapi manusia juga memberi berkat, dan ternyata berkat itu mempunyai kuasa khusus, yang menyertai penerimanya di sepanjang hidup mereka, dan membuat hati manusia diubah oleh Allah. […] Jadi, kita ini lebih penting bagi Allah daripada semua dosa yang kita lakukan karena Ia adalah Bapa, Ia adalah Ibu, Ia adalah kasih yang murni, Ia telah memberkati kita selamanya. Dan Ia tidak akan pernah berhenti memberkati kita. Adalah sebuah pengalaman yang kuat untuk membaca teks-teks alkitabiah tentang berkat ini di dalam penjara atau di dalam kelompok rehabilitasi. Untuk membuat orang-orang itu merasa bahwa mereka masih diberkati, terlepas dari kesalahan serius mereka, bahwa Bapa surgawi mereka terus menghendaki kebaikan mereka dan berharap bahwa mereka pada akhirnya akan membuka diri mereka untuk kebaikan. Bahkan jika kerabat terdekat telah meninggalkan mereka, karena smenilai bahwa mereka tidak dapat ditebus, Allah selalu melihat mereka sebagai anak-anak-Nya.”[19]
Baca Juga:  Perlu Peningkatan Kapasitas, Unio Regio Makassar-Amboina-Manado Adakan Pelatihan Motivasi dan Kepemimpinan kepada Para Imam

 

  1. Ada beberapa kesempatan ketika orang secara spontan meminta pemberkatan, baik pada saat berziarah, di tempat-tempat suci, atau bahkan di jalan ketika mereka bertemu dengan seorang imam. Sebagai contoh, kita dapat merujuk pada Buku Berkat, yang menyediakan beberapa ritus untuk memberkati orang, termasuk para lansia, orang sakit, peserta dalam pertemuan katekisasi atau persekutuan doa, para peziarah, mereka yang sedang melakukan perjalanan, kelompok sukarelawan dan perkumpulan, dan banyak lagi. Berkat tersebut dimaksudkan untuk semua orang; tidak ada yang dikecualikan. Dalam pendahuluan Ordo Pemberkatan Orang Lanjut Usia, misalnya, dinyatakan bahwa tujuan dari pemberkatan ini adalah “agar para lansia sendiri dapat menerima dari saudara-saudara mereka sebuah kesaksian penghormatan dan rasa syukur, sementara bersama-sama dengan mereka, kita mengucap syukur kepada Tuhan atas kebaikan yang telah mereka terima dari-Nya dan untuk kebaikan yang telah mereka lakukan melalui pertolongan-Nya. “[20] Dalam hal ini, subjek dari pemberkatan ini adalah orang lanjut usia, yang untuknya dan dengan siapa ucapan syukur disampaikan kepada Tuhan untuk kebaikan yang telah dilakukannya dan untuk manfaat-manfaat yang telah diterimanya. Tidak seorang pun dapat dicegah dari tindakan mengucap syukur ini, dan setiap orang – bahkan jika ia hidup dalam situasi yang tidak sesuai dengan rencana Sang Pencipta – memiliki unsur positif yang mendoorong kita untuk dapat memuji Tuhan.

 

  1. Dari sudut pandang dimensi “naik”, ketika seseorang menyadari karunia-karunia Tuhan dan kasih-Nya yang tak bersyarat, bahkan dalam situasi penuh dosa – khususnya ketika doa didengar – hati orang percaya akan menaikkan pujian kepada Tuhan dan mengucap syukur kepada-Nya. Tidak ada seorang pun yang terhalang dari jenis berkat ini. Setiap orang, secara pribadi atau bersama-sama, dapat menaikkan pujian dan ucapan syukur kepada Allah.

 

  1. Akan tetapi, pemahaman populer tentang pemberkatan juga menghargai pentingnya pemberkatan yang turun. Meskipun “tidaklah tepat bagi Keuskupan, Konferensi Uskup, atau struktur gerejawi lainnya untuk secara terus-menerus dan secara resmi menetapkan prosedur-prosedur atau ritual-ritual untuk segala macam hal,”[21] kehati-hatian dan kebijaksanaan pastoral – untuk menghindari segala bentuk skandal yang serius dan kebingungan di antara kaum beriman – dapat menyarankan agar pelayan tertahbis ikut serta dalam doa orang-orang yang meskipun dalam sebuah persatuan yang tidak dapat dibandingkan dengan perkawinan ingin menyerahkan diri mereka kepada Tuhan dan belas kasihan-Nya, untuk memohon pertolongan-Nya, dan untuk dibimbing kepada pemahaman yang lebih besar tentang rencana kasih dan kebenaran-Nya

 

III. Berkah dari Pasangan Irreguler dan Pasangan Sesama Jenis

 

  1. Dari cakrawala ini, muncul kemungkinan pemberkatan bagi pasangan yang berada dalam situasi irregular dan bagi pasangan sejenis, yang bentuknya tidak boleh ditetapkan secara ritual oleh otoritas gerejawi agar tidak menimbulkan kerancuan dengan pemberkatan yang dimaksudkan bagi Sakramen Perkawinan. Dalam kasus-kasus seperti itu, sebuah berkat dapat diberikan yang tidak hanya memiliki nilai yang menaik, tetapi juga melibatkan permohonan berkat yang turun dari Allah kepada mereka yang – mengakui diri mereka sebagai orang miskin dan membutuhkan pertolongan-Nya – tidak mengklaim legitimasi atas status mereka sendiri, tetapi yang memohon agar segala sesuatu yang benar, baik, dan sah secara manusiawi dalam hidup mereka dan hubungan mereka diperkaya, disembuhkan, dan ditinggikan oleh kehadiran Roh Kudus. Bentuk-bentuk berkat ini mengungkapkan sebuah permohonan agar Allah mengaruniakan pertolongan yang berasal dari dorongan Roh-Nya – yang dalam teologi klasik disebut sebagai “anugerah yang nyata” – sehingga relasi manusia dapat menjadi dewasa dan bertumbuh di dalam kesetiaan pada Injil, agar mereka dapat dibebaskan dari ketidaksempurnaan dan kelemahan-kelemahan mereka, dan agar mereka dapat mengungkapkan diri mereka dalam dimensi kasih ilahi yang terus berkembang.

 

  1. Sesungguhnya, kasih karunia Allah bekerja dalam kehidupan mereka yang tidak mengaku benar tetapi mengakui diri mereka dengan rendah hati sebagai orang berdosa, sama seperti orang lain. Anugerah ini dapat mengarahkan segala sesuatu sesuai dengan rancangan Allah yang misteri dan tak terduga. Oleh karena itu, dengan kebijaksanaan dan perhatian keibuannya yang tak kenal lelah, Gereja menyambut semua orang yang datang kepada Allah dengan rendah hati, menemani mereka dengan bantuan-bantuan rohani yang memampukan setiap orang untuk memahami dan menyadari kehendak Allah sepenuhnya dalam situasi hidup mereka.[22]

 

  1. Ini adalah sebuah berkat yang, meskipun tidak termasuk dalam ritus liturgi apa pun,[23] menyatukan doa syafaat dengan permohonan pertolongan Allah oleh mereka yang dengan rendah hati berpaling kepada-Nya. Allah tidak pernah menolak siapa pun yang datang kepada-Nya! Pada akhirnya, sebuah berkat memberi orang sebuah sarana untuk menumbuhkan iman mereka kepada Allah. Dengan demikian, permohonan pemberkatan mengungkapkan dan memupuk keterbukaan terhadap transendensi, belas kasihan, dan kedekatan dengan Allah dalam seribu keadaan konkret kehidupan, yang tidak sekecil dunia tempat kita hidup. Ini adalah benih Roh Kudus yang harus dipelihara, bukan dihalangi.

 

  1. Liturgi Gereja sendiri mengundang kita untuk mengadopsi sikap percaya ini, bahkan di tengah-tengah dosa-dosa kita, kekurangan pahala, kelemahan, dan kebingungan, seperti yang disaksikan oleh Collect yang indah dari Missa Romawi: “Allah yang mahakuasa dan hidup, yang dalam kelimpahan kebaikan-Mu melebihi jasa dan keinginan mereka yang memohon kepada-Mu, curahkanlah rahmat-Mu kepada kami untuk mengampuni apa yang ditakuti oleh hati nurani dan memberikan apa yang tidak berani diminta oleh doa” (Kolekte untuk Hari Minggu Kedua Puluh Tujuh Masa Biasa). Seberapa sering, melalui berkat sederhana dari seorang pendeta, yang tidak mengklaim untuk mengesahkan atau melegitimasi apa pun, orang-orang dapat mengalami kedekatan dengan Bapa, melampaui semua “jasa” dan “keinginan”?

 

 

  1. Oleh karena itu, kepekaan pastoral para pelayan tertahbis hendaknya juga terbina untuk melaksanakan pemberkatan secara spontan yang tidak ditemukan dalam Buku Berkat.

 

  1. Dalam hal ini, penting untuk memahami keprihatinan Bapa Suci agar berkat,yang tidak diritualkan ini tidak berhenti sebagai isyarat sederhana, yang memberikan sarana efektif untuk meningkatkan iman pihak yang memintanya kepada Allah, agar tidak menjadi tindakan liturgis atau semi-liturgis, yang mirip dengan sakramen. Memang, ritualisasi seperti itu akan merupakan pemiskinan serius karena hal itu akan menundukkan tindakan yang bernilai tinggi dalam kesalehan populer pada kontrol yang berlebihan, merampas kebebasan dan spontanitas para pelayan dalam pendampingan pastoral terhadap kehidupan umat.

 

 

  1. Dalam hal ini, kita mengingat kata-kata Bapa Suci yang telah dikutip sebagian: “Keputusan-keputusan yang menjadi bagian dari kebijaksanaan pastoral dalam situasi tertentu seharusnya tidak serta merta menjadi sebuah norma. Dengan kata lain, tidaklah tepat bagi Keuskupan, Konferensi Waligereja, atau struktur gerejawi lainnya untuk terus-menerus dan secara resmi menetapkan prosedur atau ritual untuk semua jenis masalah […]. Hukum Kanonik tidak boleh dan tidak dapat mencakup segala sesuatu, dan Konferensi-Konferensi Para Uskup juga tidak boleh mengklaim bahwa mereka dapat melakukannya dengan berbagai dokumen dan protokol mereka, karena kehidupan Gereja mengalir melalui banyak jalur selain jalur normatif.”[24] Dengan demikian, Paus Fransiskus mengingatkan bahwa “apa yang menjadi bagian dari kebijaksanaan praktis dalam situasi tertentu tidak dapat dinaikkan menjadi sebuah peraturan” karena hal itu “akan mengarah pada sebuah kasuistisitas yang tak dapat ditolerir.”[25]

 

  1. Karena alasan ini, seseorang hendaknya tidak menyediakan atau mempromosikan sebuah ritual untuk pemberkatan bagi pasangan-pasangan yang berada dalam situasi yang tidak teratur. Pada saat yang sama, seseorang hendaknya tidak menghalangi atau melarang kedekatan Gereja dengan orang-orang dalam setiap situasi di mana mereka dapat mencari pertolongan Allah melalui sebuah pemberkatan yang sederhana. Dalam sebuah doa singkat sebelum pemberkatan spontan ini, pemangku jawatan yang ditahbiskan dapat memohon agar individu-individu itu memiliki kedamaian, kesehatan, semangat kesabaran, dialog, dan saling menolong – tetapi juga terang dan kekuatan Allah untuk dapat memenuhi kehendak-Nya sepenuhnya.
Baca Juga:  MAJALAH HIDUP EDISI TERBARU, No. 47 TAHUN 2024

 

  1. Dalam kasus apa pun, tepatnya untuk menghindari segala bentuk kebingungan atau skandal, ketika doa pemberkatan diminta oleh pasanganyang beradadalam situasi yang tidak biasa, meskipun diungkapkan di luar ritus yang ditentukan oleh buku-buku liturgi, pemberkatan ini tidak boleh diberikan bersamaan dengan upacara perkawinan, dan bahkan tidak dalam kaitannya dengan upacara tersebut. Pemberkatan ini juga tidak boleh dilakukan dengan pakaian, gerak tubuh, atau kata-kata yang sesuai dengan perkawinan. Hal yang sama berlaku ketika pemberkatan diminta oleh pasangan sesama jenis.

 

  1. Berkat seperti itu mungkin menemukan tempatnya dalam konteks lain, seperti kunjungan ke tempat suci, pertemuan dengan seorang imam, doa yang diucapkan dalam sebuah kelompok, atau selama ziarah. Memang, berkat tidak diberikan melalui bentuk-bentuk ritual liturgi, tetapi diberikan sebagai ungkapan hati keibuan Gereja – mirip dengan yang berasal dari inti kesalehan populer – tidak ada niat untuk melegitimasi apa pun, melainkan untuk membuka hidup seseorang kepada Allah, untuk meminta bantuan-Nya agar dapat hidup lebih baik, dan juga untuk memohon Roh Kudus agar nilai-nilai Injil dapat dihayati dengan lebih setia.

 

  1. Apa yang telah dikatakan di dalam Deklarasi ini mengenai pemberkatan bagi pasangan sesama jenis sudah cukup untuk menuntun kebijaksanaan dan kebapakan para pelayanan. Dengan demikian, di luar panduan yang diberikan di atas, tidak ada tanggapan lebih lanjut yang dapat diharapkan mengenai cara-cara yang dibuat untuk mengatur detail atau praktik-praktik pemberkatan seperti ini.[26]

 

  1. Gereja adalah Sakramen Cinta kasih Allah Yang tak Terbatas

 

  1. Gereja terus mengangkat doa-doa dan permohonan-permohonan yang Kristus sendiri – dengan tangisan dan air mata yang nyaring – panjatkan dalam kehidupan-Nya di bumi (bdk. Ibr. 5:7), dan yang memiliki keampuhan yang istimewa karena alasan ini. Dengan demikian, “tidak hanya dengan amal, teladan, dan karya-karya silih, tetapi juga dengan doa, komunitas gerejawi menjalankan fungsi keibuan yang sejati dalam membawa jiwa-jiwa kepada Kristus.”[27]

 

  1. Dengan demikian, Gereja adalah sakramen kasih Allah yang tak terbatas. Oleh karena itu, bahkan ketika hubungan seseorang dengan Allah dikaburkan oleh dosa, ia selalu dapat memohon berkat, mengulurkan tangannya kepada Allah, seperti yang dilakukan Petrus di tengah badai ketika ia berseru kepada Yesus, “Tuhan, selamatkanlah aku!” (Mat. 14:30). Memang, mengharapkan dan menerima berkat dapat menjadi hal baik dalam beberapa situasi. Paus Fransiskus mengingatkan kita bahwa “sebuah langkah kecil, di tengah-tengah keterbatasan besar manusia, lebih berkenan di hadapan Allah daripada kehidupan yang tampak teratur secara lahiriah, tetapi berjalan sepanjang hari tanpa menghadapi kesulitan-kesulitan yang besar.”[28]Dengan demikian, “apa yang terpancar adalah keindahan cinta kasih Allah yang menyelamatkan yang diwujudkan dalam Yesus Kristus, yang telah wafat dan bangkit dari antara orang mati.”[29]

 

  1. Setiap berkat akan menjadi kesempatan untuk pembaharuan pewartaan kerygma, sebuah undangan untuk semakin mendekatkan diri kepada kasih Kristus. Seperti yang diajarkan oleh Paus Benediktus XVI, “Seperti Maria, Gereja adalah perantara berkat Allah bagi dunia: ia menerimanya dengan menerima Yesus dan ia meneruskannya dengan melahirkan Yesus. Dia adalah belas kasih dan kedamaian yang tidak dapat diberikan oleh dunia, dan yang selalu dibutuhkan dunia, setidaknya sebanyak roti.”[30]

 

  1. Dengan mempertimbangkan pokok-pokok di atas dan mengikuti ajaran otoritatif Paus Fransiskus, Dikasteri ini akhirnya ingin mengingatkan kembali bahwa “akar dari kelemahlembutan Kristiani” adalah “kemampuan untuk merasa diberkati dan kemampuan untuk memberkati […]. Dunia ini membutuhkan berkat, dan kita dapat memberi berkat dan menerima berkat. Bapa mengasihi kita, dan satu-satunya yang tersisa bagi kita adalah sukacita memberkati Dia, dan sukacita berterima kasih kepada-Nya, dan belajar dari-Nya […] untuk memberkati. “[31]Dengan cara ini, setiap saudara dan saudari dapat merasakan bahwa, di dalam Gereja, mereka selalu berziarah, selalu menjadi pengemis, selalu dikasihi, dan, di luar segala sesuatu, selalu diberkati.

 

Víctor Manuel Card. FERNÁNDEZ
Prefek

Mons. Armando MATTEO
Sekretaris Bagian Doktrinal

Ex Audientia pada 18 Desember 2023

Fransiskus

[1] Fransiskus, Katekese mengenai Doa: Berkat (2 December 2020).

[2] Cf. Kongregasi Untuk Ajaran Iman, «Responsum» ad «dubium» de benedictione unionem personarum eiusdem sexus et Nota esplicativa (15 March 2021): AAS 113 (2021), 431-434.

[3] Fransiskus, Seruan Apostolik Evangelii Gaudium (24 November 2013), no. 42: AAS 105 (2013), 1037-1038.

[4] Cf. Fransikus, Jawaban Dunia yang diajukan oleh dua Kardinal  (11 July 2023).

[5] Ibid., ad dubium 2, c.

[6] Ibid., ad dubium 2, a.

[7] Cfr. Rituale Romanum ex decreto Sacrosancti Oecumenici Concilii Vaticani II instauratum auctoritate Ioannis Pauli PP. II promulgatumDe BenedictionibusPraenotandaEditio typica, Libreria Editrice Vaticana, Città del Vaticano 2013, no. 12.

[8] Ibid., no. 11: “Quo autem clarius hoc pateat, antiqua ex traditione, formulae benedictionum eo spectant ut imprimis Deum pro eius donis glorificent eiusque impetrent beneficia atque maligni potestatem in mundo compescant.”

[9] Ibid., no. 15: “Quare illi qui benedictionem Dei per Ecclesiam expostulant, dispositiones suas ea fide confirment, cui omnia sunt possibilia; spe innitantur, quae non confundit; caritate praesertim vivificentur, quae mandata Dei servanda urget.”

[10] Ibid., no. 13: “Semper ergo et ubique occasio praebetur Deum per Christum in Spiritu Sancto laudandi, invocandi eique gratias reddendi, dummodo agatur de rebus, locis, vel adiunctis quae normae vel spiritui Evangelii non contradicant.”

[11] Fransiskus, Jawaban atas  Dubia yang diajukan oleh dua Kardinal  ad dubium 2, d.

[12] Ibid., ad dubium 2, e.

[13] Fransiskus, Seruan Apostolik C’est la Confiance (15 October 2023), no. 2, 20, 29.

[14] Kongregasi Ibadat Ilahi  dan Tata Tertib in Sakramen, Direktorium Kesalehan Populer dan Liturgi. Prinsip-prinsip dan panduan (9 April 2002), no. 12.

[15] Ibid., no. 13.

[16]  Fransiskus, Seruan Apostolik Evangelii Gaudium (24 November 2013), no. 94: AAS 105 (2013), 1060.

[17] Fransiskus, Jawaban atas Dubia yang diajukan oleh dua Kardinal, ad dubium 2, e.

[18] Ibid., ad dubium 2, f.

[19] Fransiskus, Katekese Mengenai Doa : Berkat (2 December 2020).

[20] De Benedictionibus, no. 258: “Haec benedictio ad hoc tendit ut ipsi senes a fratribus testimonium accipiant reverentiae grataeque mentis, dum simul cum ipsis Domino gratias reddimus pro beneficiis ab eo acceptis et pro bonis operibus eo adiuvante peractis.”

[21] Fransiskus, Jawaban atas Dubia yang diusulkan oleh dua Kardinal, ad dubium 2, g.

[22] Cf. Fransikus, Seruan Apostolik Amoris Laetitia (19 Maret 2016), no. 250: AAS 108 (2016), 412-413.

[23] Cf. Kongregasi Ibadat Suci dan Tata Tertib Sakramen, Directotium Kesalehan Popular dan Liturgi (9 April 2002), no. 13: “The objective difference between pious exercises and devotional practices should always be clear in expressions of worship. […] Acts of devotion and piety are external to the celebration of the Holy Eucharist, and of the other sacraments.”

[24] Fransiskus, Jawaban atas Dubia yang diajukan oleh dua Kardinal , ad dubium 2, g.

[25]  Fransiskus, Seruan Apostolik Amoris Laetitia (19 Maret 2016), no. 304: AAS 108 (2016), 436.

[26] Cf. ibid.

[27] Officium Divinum ex decreto Sacrosancti Oecumenici Concilii Vaticani II instauratum auctoritate Pauli PP. VI promulgatumLiturgia Horarum iuxta Ritum Romanum, Institutio Generalis de Liturgia Horarum, Editio typica altera, Libreria Editrice Vaticana, Città del Vaticano 1985, no. 17: “Itaque non tantum caritate, exemplo et paenitentiae operibus, sed etiam oratione ecclesialis communitas verum erga animas ad Christum adducendas maternum munus exercet.”

[28] Fransiskus, Seruan Apostolik Evangelii Gaudium (24 November 2013), no. 44: AAS 105 (2013), 1038-1039.

[29]  Ibid., no. 36: AAS 105 (2013), 1035.

[30] Benedictus XVI, Homili Hari Raya Maria, Bunda Allah, Hari Perdamaian Dunia 45th  , Basilica  Vatikan(1 Januari 2012): Insegnamenti VIII, 1 (2012), 3.

[31]  Fransiskus, Katekese Mengenai Doa: Berkat (2 December 2020).

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles