HIDUPKATOLIK.COM – Minggu, 26 November adalah Hari Raya Tuhan Yesus Kristus Raja Semesta Alam. Gereja St. Laurentius Paroki Alam Sutera, Tangerang Selatan, merayakannya dengan sangat meriah, pada Misa pukul 08.30 WIB dengan Misa nuansa Minahasa.
Kemeriahan sudah tampak saat prosesi para pelayan altar dan para imam, karena dikawal tarian Kabasaran. Dibawakan oleh sekelompok pria gagah dari berbagai usia ditambah seorang gadis kecil. Mereka berpakaian unik nuansa merah, dengan asesoris tengkorak kera di dada. Kepala mereka dimahkotai “topi” super keren, berupa rangkaian bulu burung nan panjang menjulang dan lagi-lagi dihiasi tengkorak binatang. Lengkap dengan paruh burung, atau tanduk.
Mereka juga membawa alat perang, berupa parang atau tombak. Penampilan yang sungguh mengesankan. Belum lagi saat menari, mereka menyanyi dan meneriakkan yel-yel penuh semangat. Tarian ini memang sejatinya diadakan untuk meyambut tamu terhormat. Yel-yel yang diteriak menandakan mereka siap dan menyambut dengan serius karena mereka yakin tamu yang disambut membawa sukacita. Segala perlengkapan perang yang mereka bawa menandakan mereka siap mengamankan tamu agung.
Kemeriahan terus dilanjutkan oleh sekelompok gadis yang membawakan tarian Tepian Nola. Para gadis ini menyambut di pintu utama gereja dan menghantar para pelayan altar dan Romo ke altar. Dengan gemulai namun penuh khidmat mereka menari.
Menurut Romo Steven Lalu dalam homili, makna tarian Tepian Nola adalah menyapu membersihkan gereja agar kita layak berdoa dan beribadah.
Misa nuansa Minahasa ini, dipersembahkan secara konselebran oleh enam imam. Romo Hadi Suryono, selaku konselebran utama. Romo Rudy Hartono, Romo Yudhi, Romo Dista, dan dua romo tamu asal Menado, yakni Romo Anthonius Steven Lalu, yang kini berkarya di KWI dan Romo Rocky Wowor, MSC yang sedang studi di Binus hadir sebagai konselebran. Kor diisi oleh Gema Suara Kawanua Katolik Banten lengkap dengan musik kolintang yang sangat khas Minahasa itu.
Yang juga luar biasa adalah tampilnya lektor dan pemazmur dari rekan tuna netra dan tuna grahita. Mereka menjalankan tugas dengan sangat baik. Tak ketinggalan unik, saat membagikan komuni, imam dibantu para prodiakon yang baru saja dilantik sehari sebelumnya. Sehingga pada misa ini mereka menjalankan tugas perdananya.
Di awal homili, Romo Steven menjelaskan makna tarian Kabasaran, tarian Tepian Nola, dan lagu pembuka berbahasa daerah. Lagu ini, memuliakan Tuhan yang ada di atas dan memohon supaya Tuhan melihat ke bawah, melihat kita semua yang sedang berdoa.
Selain itu Romo Steven mengaku terharu dapat hadir dalam Misa yang membangkit kenangan akan kampung halaman. Namun ia meyakini satu falsafah Minahasa: Torang Samua Basudara, kita semua bersaudara, terwujud dalam Misa ini. Terlebih karena Yesus Raja Semesta Alam, kita semua adalah saudara dalam Kerajaan-Nya.
Ia mengingatkan sebagai warga kerajaan Allah, kita harus mencintai, yang diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari. Terus menerus saling berbagi, saling mengingatkan, saling memberi perhatian, dan saling meneguhkan. Sehingga Torang Samua Basudara bisa sungguh dihayati dan dilakoni, tidak sekedar ucapan tanpa makna.
Nuansa Minahasa tidak hanya nampak dari tarian dan lagu, namun juga dari topi para petugas liturgi. Topi segitiga berwarna merah. Sedangkan panitia dan anggota DPH pria selain mengenakan topi ini juga sepakat memakai kemeja hitam dengan kain ikat pinggang berwarna merah. Seorang anggota Dewan berbisik, ia harus blusukan masuk pasar untuk membeli baju lengan panjang hitam, yang saat itu ia gunakan.
Yang juga unik adalah materi persembahan. Ada kue-kue pasar, ada snack dalam kemasan, ada hasil bumi yang sudah direbus seperti jagung, kacang tanah, singkong, dan ada kepala babi panggang lengkap dengan sambal. Menurut Freddy Chan, ketua panitia, semua persembahan ini, kecuali hasil bumi rebus, didatangkan langsung dari Menado. Luar biasa unik.
Romo Hadi dalam pesan penutup, menyampaikan bahwa Gereja sungguh menghargai berbagai budaya yang ada di tanah air tercinta. Maka Paroki Alam Sutera setiap tahun, mengadakan Misa bernuansa daerah secara bergantian. Sehingga umat dapat mengenal dan menghargai beragam kekayaan budaya nusantara ini. Namun semua keragaman dipersatukan oleh Merah Putih dan lagu kebangsaan Indonesia Raya yang dinyanyi di awal, sebelum perayaan Misa. Dengan lantang, Romo Hadi menyuarakan 100% Katolik 100% Indonesia.
Selesai Misa, semua umat diundang menonton acara budaya Minahasa di Plaza Gereja. Ada tarian dari Kawanua Muda Katolik dan persembahan dua lagu dari Gema Suara Kawanua Katolik Benten.
Menurut Stefi Rengkuan, ketua umum Kawanua Katolik Jabotabek, kawanua adalah istilah bagi kumpulan orang Minahasa yang berada di perantauan. Ada sekitar 15 ribu kawanua katolik di Jabodetabek. Menurut Romo Steven, sebagai penasihat, kawanua cukup aktif dan sering berkumpul. Termasuk ibu-ibu yang membentuk kelompok Selbi, Selendang Biru.
Acara budaya terpaksa dipindahkan ke Ruang Kasih GKP, karena terik matahari yang cukup menyengat.
Di ruang ini juga telah tersaji menu prasmanan untuk makan siang bersama. Sajian utama yang sangat menarik perhatian adalah babi panggang yang masih utuh, belum dipotong. Semua mata menatap sajian yang sengaja diletakkan di depan pintu masuk. Sepertinya sebagian besar umat yang hadir, tak sabar ingin menyantap hidangan istimewa ini. Buktinya saat makan siang dimulai, diawali Romo Rudy dan Romo Dista, umat langsung mengantri. Lalu dalam hitungan menit, babi panggang utuh tinggal tulang belulang.
Setelah makan siang, acara kebersamaan penuh sukacita masih terus berlanjut. Bernyanyi dan menari, baik kawanua maupun umat lain. Torang samua basudara sungguh nyata.
Fidensius Gunawan (Kontributor, Tangerang)