HIDUPKATOLIK.COM – Perwakilan Takhta Suci di PBB mengatakan pada pertemuan mengenai pengusiran warga negara asing bahwa migrasi adalah “respon alami manusia terhadap krisis, berdasarkan keinginan universal manusia untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik.”
Uskup Agung Gabriele Caccia, Pengamat Tetap Tahta Suci untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York, telah berpidato di pertemuan Majelis Umum PBB tentang “Pengusiran orang asing.”
Berbicara pada pertemuan komite keenam Majelis Umum PBB ke-78, Uskup Agung Caccia mencatat bahwa pengungsi, pencari suaka, migran, dan korban penyelundupan dan perdagangan manusia secara tidak adil disalahkan atas permasalahan sosial saat ini.
Ia mengenang bahwa banyak orang terpaksa meninggalkan rumah mereka karena penganiayaan, kekerasan, bencana alam, dan kemiskinan.
“Migrasi, dalam kondisi seperti ini, merupakan respons alami manusia terhadap krisis, berdasarkan keinginan universal manusia untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik,” katanya.
Pengutamaan hak asasi manusia di atas kepentingan nasional
Dalam pidatonya, Uskup Agung mengomentari rancangan pasal Komisi Hukum Internasional.
Ia memuji mereka karena menekankan pentingnya hak asasi manusia dan martabat manusia di atas kepentingan nasional.
Uskup Agung secara khusus menyambut baik Pasal 5, yang menyatakan bahwa tindakan yang berkaitan dengan pengusiran orang asing harus dilakukan sesuai dengan kerangka hukum domestik dan kewajiban Negara berdasarkan hukum internasional.
Batasan hukuman mati
Uskup Agung menyatakan dukungan kuat Takhta Suci terhadap perluasan prinsip non-refoulment (yang mencegah negara memulangkan individu ke negara di mana terdapat risiko nyata menjadi sasaran penganiayaan, penyiksaan, perlakuan tidak manusiawi atau merendahkan martabat), serta pembatasan hukuman mati secara progresif.
Beliau secara khusus menyambut baik paragraf mengenai larangan mengusir orang asing ke negara-negara dimana terdapat risiko nyata bahwa mereka akan dikenakan hukuman mati.
Uskup Agung Caccia menekankan bahwa tidak seorang pun boleh diusir, dikembalikan, atau diekstradisi ke negara lain di mana kehidupan atau integritas fisik mereka akan terancam.
Uskup Agung menekankan bahwa martabat setiap orang yang dideportasi harus dihormati dan penahanan harus menjadi pengecualian, bukan aturan.
“Itu harus diatur oleh kriteria yang jelas. Hal ini tidak boleh sewenang-wenang, tidak bersifat menghukum dan sepenuhnya menghormati hak asasi manusia,” kata Uskup Agung Caccia.
Kepentingan anak-anak adalah prioritas
Salah satu rancangan pasal yang disinggung Uskup Agung adalah Pasal 18 yang menyatakan bahwa prioritas tertinggi harus diberikan pada hak untuk hidup berkeluarga dan mencegah perpisahan keluarga. Selain itu, pasal tersebut mengatur bahwa segala keputusan harus ditentukan oleh kepentingan terbaik bagi anak.
Uskup Agung Caccia juga menyoroti pentingnya memberikan hak-hak substantif dan mekanisme prosedural yang diperlukan bagi orang asing yang menghadapi pengusiran.
Jumlah masyarakat yang terpinggirkan dan tertekan terus bertambah
Jumlah orang yang terpinggirkan dan tertekan bertambah seiring dengan konflik di seluruh dunia, kata Uskup Agung Caccia.
“Keputusan penting diperlukan dari kita saat kita menghadapi konflik di berbagai belahan dunia,” katanya.
Ia menyatakan dukungan penuh Tahta Suci untuk mengadopsi instrumen yang mengikat secara internasional mengenai pengusiran orang asing, serta pembentukan komite ad hoc atau kelompok kerja terbuka yang terbuka bagi semua negara, untuk merundingkan instrumen tersebut.
Karena itu, norma-norma umum dan standar yang jelas dapat dirumuskan mengenai masalah sensitif yang mempengaruhi banyak orang. **
Sr. Nina Benedikta Krapić VMZ (Vatican News)/Frans de Sales