HIDUPKATOLIK.COM – Ketika perang Israel-Hamas yang sedang berlangsung mengancam akan menyebar ke negara tetangganya, Lebanon, ada kekuatiran bahwa konflik tersebut dapat menjadi bencana bagi negara yang dilanda krisis tersebut.
Selama sebulan pada tahun 2006, Lebanon terkoyak oleh perang, ketika Israel berperang dengan kelompok militan Lebanon Hizbullah.
Sekitar 1.300 warga Lebanon terbunuh dan sekitar satu juta warga sipil mengungsi. Infrastruktur utama sipil – termasuk satu-satunya bandara di negara ini – rusak parah.
Dengan ketegangan di kawasan yang kembali meroket, banyak warga Lebanon kuatir akan terjadinya perang lagi.
Ketegangan yang memuncak
Minggu (29/10), Perdana Menteri Lebanon Nagib Mikati melakukan perjalanan ke Qatar, untuk berbicara dengan Emir negara tersebut mengenai cara-cara untuk menjauhkan Lebanon dari konflik Israel-Hamas.
Sejak pecahnya permusuhan pada 7 Oktober, Hizbullah dan Israel saling bertukar serangan roket. Jumlah korban tewas yang mengejutkan adalah 8.000 warga Palestina dan 1.400 warga Israel yang terbunuh hingga saat ini.
Hizbullah juga telah melancarkan beberapa serangan ke wilayah Israel. Kelompok tersebut mengatakan bahwa sekitar 46 pejuangnya tewas dalam bentrokan sejauh ini, sementara Israel mengatakan setidaknya 7 tentaranya tewas.
Sementara itu, pasukan penjaga perdamaian PBB di Lebanon selatan, UNIFIL, mengatakan pada akhir pekan bahwa pangkalannya diserang roket, melukai seorang penjaga perdamaian.
Terlebih lagi, pada Senin pagi, ‘Reporters Without Borders’, sebuah kelompok kebebasan pers, mengatakan bahwa seorang jurnalis Reuters yang terbunuh awal bulan ini di Lebanon selatan telah “secara eksplisit menjadi sasaran” rudal dari arah perbatasan Israel.
Bahaya ekonomi
Banyak warga Lebanon kuatir bahwa peningkatan ketegangan lebih lanjut akan menimbulkan bencana bagi perekonomian negara mereka, yang sudah terperosok dalam krisis.
Al Jazeera melaporkan bahwa, sejak pecahnya permusuhan pada 7 Oktober, industri perhotelan mengalami penurunan jumlah pelanggan sebesar 80%.
Sementara itu, jumlah penerbangan telah dikurangi, dan pemerintah negara-negara Barat mendorong warganya untuk meninggalkan negara tersebut.
Jika terjadi perang, ketahanan pangan akan menjadi kekuatiran utama bagi negara ini, yang sangat bergantung pada impor pangan asing.
Lebanon: Sebuah mercusuar persaudaraan
Takhta Suci telah berulang kali menekankan pentingnya Lebanon, yang merupakan negara di Timur Tengah dengan persentase umat Kristen terbesar dan sering dianggap sebagai model hidup berdampingan secara harmonis antara agama-agama yang berbeda.
Baik Paus Yohanes Paulus II maupun Paus Benediktus XVI mengunjungi negara tersebut, dan meskipun Paus Fransiskus terhalang oleh masalah kesehatan untuk melakukan perjalanan yang direncanakan pada tahun 2021, ia telah menerima Presiden Lebanon di Roma, dan menyelenggarakan pertemuan doa ekumenis tingkat tinggi untuk negara.
Pada tahun 1989 Paus Yohanes Paulus II dengan terkenal menyatakan bahwa Lebanon “lebih dari sekedar negara: Lebanon adalah pesan kebebasan dan contoh pluralisme bagi Timur dan juga Barat.” Paus Fransiskus juga menyuarakan sentimen serupa, dan mengungkapkan harapannya bahwa krisis ini tidak akan membuat Lebanon “kehilangan identitasnya, atau kehilangan pengalaman hidup berdampingan secara persaudaraan yang menjadikannya sebuah pesan bagi seluruh dunia.” **
Joseph Tulloch (Vatican News)/Frans de Sales