HIDUPKATOLIK.COM – PERSAUDARAAN Imam Diosesan yang tergabung dalam wadah Unio Indonesia (Unindo) menyelengarakan Munas XIV di Rumah Retret Kemah Tabor Mataloko, Ngada-Flores, Nusa Tenggara Timur, pada 25-29/9/2023. Rangkaian kegiatan ini dibuka dalam Misa di Gereja Paroki Roh Kudus Mataloko. Misa dipimpin Uskup Agung Ende, Mgr. Vinsentius Sensi Potokota pada Selasa (25/9/2023).
Sekretariat Unindo melansir data bahwa hingga Agustus 2023 jumlah imam diosesan di 37 keuskupan di seluruh Indonesia berjumlah 2.513 imam: Regio Sumatera 289, Regio Jawa 621, Regio Nusa Tenggara 933, Regio Kalimantan 206, Regio Manado, Ambiona, Makassar (MAMS) 325, dan Regio Papua 139. Munas ini dihadiri lebih dari 130 imam. Mereka mengalami rangkaian perjumpaan dan sharing pengalaman pastoral serta studi bersama, mendalami topik yang penting dan relevan saat ini “Berpastoral di Tengah Arus Migrasi”.
Ketua Unindo 2020-2023, Romo Paulus C. Siswantoko menyampaikan alasan yang menjadi latar belakang dipilihnya tema. “Pertama, migrasi sudah menjadi persoalan di mana-mana. Kedua, tempat di Mataloko karena sudah sejak lama Keuskupan Agung Ende (KAE) mencoba menangani masalah migrasi ini dengan pastoral tertentu. Dari situlah kami ingin belajar bersama bagaimana menghadapi masalah migrasi ini secara bermartabat dengan tetap mengedepankan hak hidup dan martabat manusia,” jelasnya. “Kita ingin dari tempat ini ada semangat baru yang dapat kita lakukan, yang dapat kita perjuangkan, lebih-lebih untuk sahabat kita yang menjadi korban migrasi yang tidak sehat, apapun bentuknya, entah human trafficking, penjualan organ dan sebagainya,” tambahnya.
Hal senada disampaikan Ketua Panitia sekaligus Ketua Unio KAE, Romo Silverius Betu. “Para imam akan bergerak kembali ke medan pastoral di keuskupan masing-masing, berjuang bersama Pemerintah, masyarakat dan pihak terkait untuk migrasi yang prosedural dan bermartabat.”
Hadir empat embicara dalam studi bersama. Aktivis kemanusiaan dan Ketua Komisi Keadilan, Perdamaian, dan Pastoral Migran Perantau (KKP-PMP) Keuskupan Pangkalpinang, Romo Chrisanctus Paschalis Saturnus Esong, Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Nusa Cendana Kupang, Aloysius Liliweri, Bupati Ngada, Andreas Paru; dan mantan pekerja migran, Agustinus Wodo.
Membuka Mata
“Setiap tahun ribuan orang, laki-laki, perempuan, dan anak-anak yang tidak berdosa menjadi menjadi korban kerja yang memeras, pelecehan seksual dan perdagangan organ. Tampaknya kita telah begitu terbiasa dengan ini sehingga menganggapnya sebagai hal yang normal. Ini sangat menyedihkan, ini kejam dan ini kriminal. Saya ingin mengingatkan semua orang akan tugasnya untuk melawan wabah yang mengerikan, sebuah bentuk perbudakan manusia modern,” ungkap Romo Paschal mengutip Paus Fransiskus dalam buku Arah Pastoral Gereja Melawan Perdagangan Manusia.
Romo Paschal menegaskan bahwa Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) merupakan luka kemanusiaan, bagi korban dan keluarganya, juga sekaligus luka terbuka bagi hati nurani. “Luka-luka inilah yang semestinya menjadi perhatian kita dalam beriman dan berpastoral. Sebagai orang beriman kita seharusnya tidak diam dalam zona nyaman, melainkan berani dan mau membuka hati, membuka tangan sehingga menjadi peka dan siap membantu mereka yang terluka dan menderita,” tuturnya.
Menurutnya, dalam kurun waktu 6 bulan terakhir ada beberapa peristiwa besar yang terjadi: Kriminalisasi Aktivis (Januari-April 2023), Diskusi Publik Perang Semesta Melawan Sindikat BP2MI (April 2023), dan KTT ASEAN di Labuan Bajo Mei 2023), dan Pembentukan Satgas TPPO Polri (Juni 2023). Antara 5 Juni-14 Agustus, Polri menyatakan ada 901 tersangka dari 757 kasus yang ditangani Polri, 2425 orang yang diselamatkan.
“Semua masalah TPPO ini adalah masalah kemanusiaan yang akan terus terjadi, karena masalah akut masih tetap belum terselesaikan. Kebutuhan untuk mencari pekerjaan masih sangat tinggi tidak sebanding dengan ketersediaan lapangan pekerjaan, proses pencegahan tidak disertai dengan langkah-langkah menjawab permasalahan, dan perekrutan dengan modus penipuan masih banyak terjadi,” imbuhnya.
Penerima Hassan Wirajuda Perlindungan WNI Award (HWPA) 2021 ini menambahkan bahwa persoalan migran semakin diperparah dengan munculnya modus baru untuk menarik calon korban. “Hadirnya nabi-nabi palsu penawar belas kasihan semakin masif. Pembebanan biaya berlebihan, perlakuan kasar dan tidak manusiawi yang dialami para Pekerja Migran Indonesia (PMI) belum terselesaikan secara adil, kebijakan negara (peta jalan) yang jelas belum terbit. Negara, istitusi sosial, dan masyarakat sipil belum sehati sepikir (membaca data) dan sepandangan terkait dengan perlindungan PMI. Ada mafia besar yang tak tersentuh. prihatin,” ungkapnya.
Menurutnya, perdagangan orang bukan peristiwa yang terjadi tiba-tiba, tetapi merupakan puncak dari berbagai persoalan yang melanda kehidupan umat, baik secara individual, keluarga, maupun masyrakat yang luput dari perhatian dan konsep progran Gerejawi yang selama ini diusung. Perlu ada intervensi Gereja, untuk memberikan pelayanan bagi mereka yang tidak paham dan yang berisiko, mereka yang bermigrasi untuk bekerja, dan mereka yang terjerumus TPPO.
Jangan Terlambat
Aloysius Liliweri mengungkapkan bahwa di sekitar kita ada begitu banyak migran. Ia mengajak peserta Munas untuk menyimak data tentang masalah pekerja migran. Saat ini yang diperlukan adalah pemetaan masalah TPPO, mengenali titik lintas, dan data-data tentang migran. “Lemga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) sebut 571 PMI asal NTT berangkat secara illegal dan meninggal di luar negeri, ada 704 mayoritas PMI ilegal. NTT lumbung PMI illegal dengan angka kematian tertinggi keempat di Indonesia. Ada 704 kasus meninggal dunia atau rata-rata satu atau dua jenazah tiba setiap pekan, 90 persennya adalah illegal atau korban perdagangan orang. Dalam kurun waktu 7 tahun terakhir (2017-2023) ada 622 jenazah yang dikirim pulang dan hingga bulan Juni 2023 ada 61 orang yang meninggal,” ungkap Liliweri.
Ia menyampaikan pentingnya menyamakan konsep tentang PMI, Pekerja Migran Ireguler dan Perdagangan Manusia. “PMI adalah mereka yang bekerja pada pemberi kerja berbadan hukum, pada pemberi kerja perseorangan atau rumah tangga, pelaut dan awak kapal dan pelaut perikanan; Pekerja Migran Ireguler-Non Prosedural atau PMI Non-Prosedural adalah WNI yang bekerja di luar negeri tanpa melalui prosedur yang benar; Perdagangan Orang adalah segala transaksi jual beli terhadap manusia,” jelasnya.
Menurutnya, ada banyak wilayah titik perlintasan dan kantong PMI. Mereka umumnya berasal dari kantong-kantong PMI di NTT seperti daratan Timor, Rote, Flores, Alor, dan Sumba. Mereka berangkat dari tempat asalnya menuju sejumlah negara tujuan seperti Brunei, Malaysia, dan Singapura melalui sejumlah ‘pintu’ di perbatasan, seperti Nunukan dan Pulau Sebatik, Entikong, Sambas dan Bengkayang, Tanjung Balai Karimun, Batam, Tanjung Pinang, Tanjung Balai dan Teluk Nibung, dan Pare-pare.
Kata Liliweri, ada sejumlah faktor yang memicu maraknya PMI Ilegal. Pertama, tersedianya pasar kerja di luar negeri yang tidak diminati bahkan dihindari warga negara tujuan, yaitu pekerjaan dengan kategori 3 D (Dirty, Dangerous, Demanding/Difficult). Para pengguna memilih mempekerjakan PMI illegal karena murah dan posisi tawar lemah. Kedua, menjadi PMI melalui jalur legal menempuh prosedur yang sulit, waktu tunggu panjang, dan biaya relatif mahal. Ketiga, regulasi yang belum sepenuhnya adaptif, protektif, dan pengawasan yang lemah, serta penegakan hukum yang belum tegas dalam menindak oknum yang nakal bahkan ada yang tidak tersentuh hukum. Keempat, menjadi PMI merupakan kebanggaan dan telah berlangsung lama.
Menurut Liliweri, ada banyak upaya yang telah dilakukan Pemerintah dengan aneka peraturannya untuk menekan berbagai permasalahan yang timbul dari pekerja migran. “Marilah kita (Gereja) berhenti bermegah tentang sukses masa lalu. Kita memang peka menyimak masalah TPPO namun selalu bersikap terlambat ketika masalah sudah menahun dan semakin sulit dipecahkan. Tidak cukup hanya sharing, tetapi harus aksi nyata dan sinkronisasi di semua level hierarki Gereja dan bekerja sama dengan semua pihak, Pemerintah, LSM, dan lembaga agama lain,” ungkapnya. Hal senada juga disampaikan Andreas Paru. Ia berharap agar Pemerintah, Gereja, dan masyarakat dapat berkolaborasi mewujudkan harapan dan kehidupan bersama yang lebih baik.
Hidup Lebih Baik
Agustinus Wodo yang berasal dari Ngada bertutur tentang pengalamannya. Kesulitan ekonomi dan harapan bisa memperbaiki taraf hidup meneguhkan tekadnya untuk meninggalkan kampung halamannya dan mencoba peruntungan sebagai pekerja migran, menjadi buruh perkebunan kelapa sawit di Negeri Jiran.
Beratnya beban pekerjaan membuatnya tak bertahan lama dan harus mencoba mencari pekerjaan yang lain. Beruntung, atas bantuan sesama pekerja migran dan Kedubes, ia bisa memiliki paspor sekaligus izin bekerja yang resmi. “Karena memiliki dokumen resmi saya bisa bekerja dengan tenang sehingga bisa memperoleh pendapatan yang lumayan dan dapat meningkatkan kesejahteraan hidup keluarga,” ungkapnya.
Meski sudah bertahun-tahun kembali dan menetap di kampung halamannya, ia masih sering menerima tawaran untuk kembali ke sana. Ia menuturkan bahwa ada banyak jalur yang bisa dilalui dan banyak oknum yang bermain di dalamnya. Uang menjadi pemegang kendali utama, semua bisa beres dengan uang.
Mengatasi persoalan migrasi adalah tanggung jawab bersama. Para pembicara menegaskan pentingnya kolaborasi semua pihak, Pemerintah, Gereja dan masyarakat untuk bekerja sama membangun strategi dan aksi nyata untuk mengurangi dampak negatif dari migrasi. Gereja Katolik harus lebih terlibat, ikut ambil bagian dalam menangani persoalan ini melalui berbagai program advokasi, edukasi, sosialisasi, dan pendampingan bagi mereka yang belum paham, rentan, dan menjadi korban.
Romo Titus Jatra Kelana dari Mataloko, NTT
Majalah HIDUP, Edisi No.42, Tahun Ke-77, Minggu, 15 Oktober 2023