HIDUPKATOLIK.COM, Bangkok, 09/09/20023 – Apa yang terlintas di benak kita ketika membaca berita tentang larangan membuat gereja di Indonesia, konflik antara komunitas hindu dan islam di India, diskriminasi etnis tamil di Srilanka, dan isu sentimen nasionalis yang ada di China?
Ternyata, isu intoleransi tidak semata menjadi masalah di Indonesia, namun juga terjadi di negara-negara di Asia dan bahkan dunia. Isu intoleransi merupakan masalah global yang mengkhawatirkan karena sangat mengancam keamanan dan kedamaian dunia.
Berangkat dari pertanyaan tersebut, International Young Catholic Student atau IYCS Asia menggelar pertemuan YCS Asia ke-15 di Chiang Mai, Thailand pada tanggal 2 – 8 September 2023 yang bertema “Promoting fraternity, peaceful coexistence, tolerance, and respect for religious diversity among younger generation”. Anggota pertemuan ini terdiri dari 9 negara, dengan 8 negara anggota tetap yaitu Indonesia, Thailand, Singapura, Filipina, China, India, Sri-Lanka, Bangladesh dan 1 negara observer yaitu Myanmar.
YCS Indonesia mengirimkan dua peserta delegasi yang merupakan mahasiswi aktif Unika Atma Jaya dan anggota aktif YCS Atma Jaya yaitu Angelica Yaputri (FKIK) dan Chritaline Putri Joeane (FEB), keduanya didampingi oleh satu animator yang juga sekaligus ketua YCS Atma Jaya yaitu Fransisca Vena Apriliana. Pertemuan selama seminggu ini bertujuan untuk mengajak perwakilan generasi muda dari setiap negara di Asia untuk menjaga persaudaraan, kedamaian, toleransi, dan menghormati keberagaman agama sesuai dengan metodologi YCS yaitu see-judge-act.
Pada hari pertama, kami delegasi Indonesia dari YCS Atma Jaya beserta delegasi dari negara lain belajar dan menghidupi metodologi YCS See. Sesi dibuka dengan perkenalan dan misa. Kami pun kemudian mendengarkan penjelasan terkait Ensiklik Fratelli Tutti dan Deklarasi Mekkah yang menyoroti pentingnya keadilan sosial, solidaritas antar umat beragama, dialog antar iman dan penghapusan perang serta kekerasan. Namun tidak hanya sampai disitu, ada yang harus kami gali lebih dalam lagi. Seperti bagaimana sesungguhnya intoleransi dapat terjadi dan bagaimana hal tersebut mempengaruhi orang-orang? Dan apa serta bagaimana peran kasih yang nyata dapat mengubah hal tersebut?
Dari hari pertama kami belajar bahwa masalah intoleransi seringkali bukan karena perbedaan namun secara lebih jauh adalah karena kepentingan-kepentingan terselubung seperti politik dan ekonomi yang melahirkan kecemburuan sosial serta kelompok ekstrimis. Masalah ini pun bukan isu baru, melainkan sudah ada sejak lama dalam sejarah manusia dan bisa kita lihat dari peristiwa sejarah yang ada di perjanjian lama dan baru atau bahkan disekitar kita.
Setelah membahas tentang kedua dokumen gereja tersebut, kami diajak untuk masuk ke dalam kelompok dan melakukan sharing terkait pengalaman hidup serta mengungkapkan ekspektasi kami masing-masing terkait hal positif apa yang ingin kami capai dan bagaimana acara tersebut dapat mengubah hidup kami. Sesi kemudian dilanjutkan community sharing dimana masing-masing negara menceritakan gerakan apa yang telah mereka lakukan dalam organisasi YCS mereka. Sesi community sharing adalah sesi yang sangat berharga dan membuka mata kami terkait apa yang terjadi di negara lain dan hal-hal menginspirasi apa yang sudah mereka lakukan dalam komunitas mereka dan dapat diterapkan oleh YCS Indonesia.
Pada hari kedua, kami mempelajari metodologi YCS judge. Setelah mengobservasi isu-isu yang terjadi pada hari pertama, maka di hari kedua kami lebih fokus dalam melakukan brainstorming terkait apa yang terjadi, apa yang seharusnya terjadi, dan bagaimana iman berperan dalam situasi tersebut. Sesi dibawakan oleh Ruki Fernando, seorang aktivis hak asasi manusia dan penulis dari Colombo, Sri Lanka. Bersama dengan beliau kami mempelajari perbedaan mendasar dari spiritualitas dan religiusitas. Sesi kemudian dilanjutkan oleh presentasi interaktif oleh Cyril Ryan dari Filipina terkait bagaimana cara kita menciptakan sebuah budaya “kedamaian”. Kami juga kedatangan tamu spesial yaitu para bhikkuni yang mengajarkan kami tentang cara hidup dan nilai-nilai spiritualitas buddhisme.
Setelah mendapatkan perbekalan materi tersebut, kami pun berdiskusi untuk merencanakan gerakan nasional apa yang dapat kami lakukan dengan sumberdaya yang kami punya untuk mempromosikan toleransi dan kedamaian. Kami juga mendengar sharing dari alumni YCS terkait apa saja project yang mereka kerjakan dalam komunitas mereka. Seluruh rangkaian acara pada hari kedua ditutup dengan cultural exchange. Disini kami saling memamerkan budaya mulai dari musik, tarian, pakaian adat, hingga makanan dari masing – masing negara.
Hari ketiga adalah hari yang paling interaktif dan seru, pada hari ini kami mempelajari metodologi YCS act. Sesi pertama dibawakan bertema “The Review of Life (ROL)” dibawakan oleh Manoj Matthew. Kami mempelajari bagaimana See-Judge-Act memberi peranan besar dalam kehidupan. ROL membagi See-Judge-Act kedalam pertanyaan yang membantu kami dalam mengkontemplasikan motivasi kami sebagai seorang individu untuk melakukan aksi nyata. Sesi ini merupakan sesi yang mengakrabkan kami, saudara satu benua. Kami terkejut akan banyaknya kesamaan budaya dan juga dengan antusias saling mengenalkan kebudayaan satu sama lain.
Setelah mempelajari ROL, kami melakukan exposure visit. Pada exposure visit kali ini, kami mengunjungi masjid, vihara, dan juga katedral di Chiang Mai. Kami pun tidak hanya mengunjungi tempat-tempat tersebut begitu saja. Di Masjid At-Taqwa, kami mendengarkan pemaparan seorang ulama terkait apa itu Islam dan bagaimana umat muslim menjalani kehidupan mereka sesuai ajaran yang mereka anut. Bagi kami hal tersebut memberikan pemahaman yang sangat jelas tentang saudara-saudari kami yang beragama muslim. Terutama karena di indonesia ada banyak persitegangan antara umat muslim dan kristiani. Muslim adalah ketaatan kepada quran dan sunnah untuk mencari kedamaian di dunia. Sehingga muslim yang seringkali dicap anarkis atau identik dengan terorisme sejatinya adalah bukan muslim.
Exposure visit kemudian dilanjutkan dengan kunjungan ke Vihara Wat Chai Mongkhon yang lokasinya tidak jauh dari masjid. Disana kami masuk dan melihat-lihat keindahan arsitektur vihara, dinamika religi umat, dan juga beristirahat. Perjalanan dilanjutkan dengan mengunjungi Sacred Heart Cathedral untuk mengadakan misa bersama. Exposure visit kemudian ditutup dengan kunjungan ke pasar malam di Chiang Mai sebelum kami kembali.
Sesudah mendapatkan perbekalan selama 3 hari terkait metodologi dan semangat YCS See-Judge-Act, pada hari keempat dan kelima kami pun mulai merencanakan aksi yang akan kami buat. Pertama-tama kami membahas masalah internal apa saja yang ada dalam komunitas YCS Asia. Bersama kami berdiskusi tentang apa saja yang harus dibenahi dari kepengurusan sebelumnya. Kami pun kemudian membentuk kepengurusan baru. Bersama kami menentukan divisi apa saja yang dibutuhkan serta apa saja tugas dan kewajiban mereka.
Dalam diskusi kali ini, kami sebagai delegasi indonesia turut berperan aktif. Dengan menerapkan see – judge – act, kami sadar bahwa Indonesia adalah negara pengguna internet terbanyak di Asia dan kasus intoleransi di Indonesia seringkali dipicu dari berita-berita hoax. Kami pun mengusulkan pembentukkan divisi Public Relations yang berfokus pada pengolahan media sosial, promosi, dan koneksi antar anggota. Usulan ini kami buat setelah mempertimbangkan latar belakang dan kemampuan kami. Kami ingin mempublikasikan berita-berita serta konten yang dapat mempromosikan perdamaian dan komunitas YCS secara global. Kami juga mau membangun koneksi yang penuh rasa persaudaraan dengan teman-teman kami dari berbagai negara dan bekerjasama untuk meraih tujuan bersama yaitu kedamaian.
Usulan kami disambut dengan baik oleh delegasi lainnya. Salah satu delegasi YCS Indonesia yaitu Christaline, mendapatkan kedudukan istimewa di YCS Asia sebagai Southeast Asia Representative yang mewakili YCS regio Asia Tenggara sekaligus Coordinator Staff Public Relationship Division. Ide, aksi, dan posisi yang kami dapatkan akan kami jaga dan konsisten kami wujudkan demi Indonesia dan Asia yang lebih baik.
Sekian petualangan kami, delegasi YCS Indonesia pada pertemuan YCS Asia ke-15 di Chiang Mai, Thailand. Begitu banyak hal berharga kami dapatkan selama seminggu berproses bersama. Semangat kasih, persaudaraan, dan ikatan persahabatan yang kami dapatkan di sana membuat kami semakin mantap dalam menjalankan visi dan misi bersama.
Namun tanpa kerja sama dan aksi nyata bersama, kami tidak akan dapat mewujudkan visi tersebut. Maka dari itu, mari bersama kita tumbuh menjadi pribadi yang peka dan penuh kasih kepada sesama dan sekitar dengan mengimplementasikan see-judge-act dalam kehidupan kita sehari-hari. Jangan biarkan ujaran kebencian membuat kita lupa dengan saudara-saudari kita diluar sana. Bukalah mata dan hati akan warna keberagaman di sekitar kita, sadari akan kasih persaudaraan yang ditanamkan oleh Yesus dalam diri kita. Buatlah aksi positif dari gerakan-gerakan kecil kita setiap harinya. Ayo kita lawan arus intoleransi bersama. Karena kita YCS Indonesia. We are MAD, and we are making a difference!