HIDUPKATOLIK.COM – Armenia telah meminta bantuan Uni Eropa untuk membantunya menangani gelombang besar pengungsi dari Nagorno-Karabakh. Hampir seluruh 120.000 warga Armenia yang sebagian besar beragama Kristen yang tinggal di sana telah meninggalkan Nagorno-Karabakh setelah Azerbaijan merebut kembali daerah kantong tersebut pekan lalu dalam pertempuran yang menewaskan ratusan orang. Permintaan tersebut muncul ketika Paus Fransiskus menegaskan kembali seruannya untuk melakukan dialog antara negara-negara yang berkonflik.
Mereka sudah kekurangan makanan dan pasokan medis akibat blokade Azerbaijan.
Namun setelah pasukan lokal dikuasai dalam waktu 24 jam oleh militer Azerbaijan yang lebih kuat, yang didukung oleh Turki, orang-orang yang dilanda kepanikan ini memutuskan untuk pergi selamanya.
Para Pengungsi
PBB mengatakan lebih dari 100.000 pengungsi telah tiba di Armenia sejak Azerbaijan melancarkan operasi militer untuk merebut kembali kendali Nagorno-Karabakh.
Banyak yang telah tiba di ibu kota Armenia, Yerevan, tempat relawan bantuan Anais Sardaryan, seorang aktris terkenal di Armenia, mengorganisir operasi bantuan.
Sardaryan hampir menangis ketika ditanya bagaimana dia dan rekan kerjanya menangani para pengungsi yang tiba di Yerevan. “Saya sedih karena mungkin Anda melihat orang-orang dan bayi datang ke sini dan berkata: ‘Kami lapar dan tidak punya tempat berlindung.’ Tapi kami tidak bisa membantu mereka semua. Karena sekarang kami berkata: ‘Oke, tunggu. Kami punya daftar’,” katanya.
“Anda tahu, kami punya 100 relawan, tapi ada 120.000 orang yang datang. Kita tidak bisa membantu mereka dalam satu hari saja, ya?” Dia tidak menunggu jawaban. “Tetapi mereka menginginkannya, dan mereka menatap mata Anda dan berkata: ‘Bisakah Anda membantu bayi saya?’ Namun Anda tidak bisa mengatakan: ‘Ya, bayi Anda baik-baik saja, tetapi bayi itu tidak baik. Saya membantu Anda, tetapi bayi itu, saya tidak membantu’.”
Segerombolan pengunjuk rasa memenuhi jalan-jalan Yerevan.
Mereka menuntut pemecatan perdana menteri, yang menurut mereka tidak berbuat banyak untuk melindungi Nagorno-Karabakh, yang juga dikenal oleh orang Armenia sebagai Republik Artsakh. “Dalam kasus serupa, ada sanksi, ada politik nyata, ada tekanan nyata. Dalam kasus Armenia, dalam kasus Artsakh, kami tidak melihat hal itu dari siapa pun,” kata salah satu pengunjuk rasa.
Armenia yang miskin kini menghadapi tantangan sosial dan politik paling signifikan dalam beberapa dekade kemerdekaannya setelah runtuhnya Uni Soviet pada tahun 1991. **
Stefan J. Bos (Vatican News)/Frans de Sales