HIDUPKATOLIK.COM – “AKU gak fokus ni, Bang! Masih berapa tema lagi sih?” bisik Hana kepada Ambros, kekasihnya.
“Puyeng, tau! Kamu gak ngrasain apa yang kurasakan si?”
“Sssst, sabarlah. MRT kan wajib. Kalau enggak, kita gak bisa nikah, Sayang!”
“Yang di dalem ini, Sayang. Kamu kan gak ngrasain!”
Hana betul-betul tidak fokus mengikuti acara Membangun Rumah Tangga (MRT),[1] sebagai salah satu tahapan menuju pernikahan yang ia harapkan segera terjadi. Benak Hana dipenuhi peristiwa-peristiwa yang sangat melukainya. Dimulai setahun yang lalu saat ia dan Ambros baru berpacaran.
“Kamu boleh pergi dari rumah ini, Hana. Kamu tidak mematuhi kehendak Ayah!” bentak ayahnya saat itu. Ayahnya baru saja berpindah agama, dan menganut keyakinan layaknya kaum radikal. Saat itu bagi Ayah, kalau anggota keluarganya tidak mengikuti jalannya, pilihannya hanya satu: keluar sebagai anggota keluarga. Ibunya pun tak kuasa menahan kehendak sang ayah. Ia hanya diam dan mengikuti jalan suaminya.
“Baik, Yah. Aku mau tetap mengimani Kristus. Aku mau tetap katolik. Beri Hana waktu, untuk mencari kontrakan!” jawab Hana dengan terisak.
Untunglah Ambros banyak membantunya. Akhirnya mereka menemukan rumah kontrakan, yang cukup jauh dari kantor Hana, namun dekat dengan rumah keluarga Ambros. “Biar aku bisa banyak menemanimu!” alasan Ambros.
“Tetaplah di sisiku, Sayang!” bisik Hana saat urusan rumah selesai. “Aku tidak punya siapa-siapa lagi. Aku sudah dibuang!”
“Kamu gak boleh bersikap begitu, mereka tetap orang tuamu. Sesekali nanti aku antar kamu pulang.”
“Minggu lalu sudah kucoba, Sayang. Namun pintu tidak terbuka untukku. Ibu juga hanya menurut Ayah. Dia bukan tipikal perempuan yang berani!” keluh Hana.
“Jangan berprasangka begitu terhadap ibumu, Sayang. Kita doakan Ibu, dan juga Ayah.”
Tiba-tiba Hana mencubit paha Ambros. Keras sekali.
“Aduh! Sakit!” keluh Ambros. Ia sangat terkejut karena sedang fokus memperhatikan uraian fasilitator MRT.
“Aku lebih sakit. Hatiku penuh luka, Sayang!” wajah Hana tampak suram.
“Sabarlah, aku kan selalu ada di sisimu! Yuk, kita fokus ke materi MRT dulu…”
“Gombal ah kamu. Uuuh, ini baru tema 4 ya. Lama bener si. Emang berguna semua buat kita nanti? Mending kamu urus admin biar kita bisa segera nikah. Beres. Anak kita aman!”
“Tu kamu berprasangka buruk kan. Materinya kita perlukan banget, Sayang! Tadi, tema pertama misalnya, kita kan jadi lebih mengenal siapa kita…besok ada soal pengaturan keuangan, anak..kita perlu!”
“Iya, tapi anak kita ini kan gak bisa menunggu lama…”
“Nanti lah kuurus semua…” bisik Ambros, yang tak menyangkal bahwa masih ada kebingungan dalam dirinya, apa yang harus dilakukannya setelah ini. Ia berharap paling tidak sebulan lagi mereka bisa menikah.
Perlahan, Hana mulai fokus. Romo Joko yang membawakan materi Pernikahan Sakramental banyak menyelipkan kisah-kisah humor. Materi yang begitu serius dibawakan Romo dengan segar.
Saat break makan siang, Ambros keluar ke serambi aula. Ia tampak melamun. Benaknya berkecamuk. Ia ingat saat ia abai mendampingi Hana untuk lapor ke ketua lingkungan tempat Hana berdomisili. Sang ketua lingkungan menolak Hana, karena rumah kontrakan Hana berada di perbatasan paroki, bahkan termasuk berada di paroki tetangga.
Seorang fasilitator yang sejak pagi tampak hanya mondar-mandir saja, sampai Ambros berprasangka kalau fasilitator tersebut hanyalah petugas pencatat, mendekatinya.
“Mas Ambros, mana Hana?” tanya sang fasilitator dengan senyum cerah.
“Lagi ke toilet, Pak.” Jawab Ambros. Ia tiba-tiba terhenyak. Wajah ramah dan sikap hangat Pak Jati, sang fasilitator itu, membuatnya terdiam, ingin mengumbar isi hatinya. Lalu, “Pak, kami ada masalah!”
Ambros pun menceritakan semua masalahnya,”Jujur, Pak, Hana sudah hamil 5 bulan!”
Pak Jati tersenyum. “Pertama, Hana harus mendaftar di lingkungan paroki tetangga!”
“Gak bisa masuk ke paroki sini ya Pak. Hana sudah mencoba, tapi ditolak.”
“Ah, masa ditolak! Para kaling di sini sudah dibekali tentang semangat pelayanan gembala baik, lho…tapi cobalah sesuai batas teritorial dulu.”
“Waktunya mendesak, Pak. Deg degan saya!”
“Ya, sudah, setelah selesai MRT, kamu ketemu saya ya. Sama Hana juga. Saya dampingi sampai tuntas!” senyum Pak Jati.
“Baik Pak. Terima kasih banyak!” Lega hati Ambros mendengar kalimat “Saya dampingi …”.
Di hari kedua, segala prasangka buruk Ambros tentang Pak Jati pupus semua. Ternyata ia adalah fasilitator di tema terakhir. Ia bersama istrinya memberi uraian dengan gaya yang menyegarkan. Seusai berfoto ria, Ambros mengajak Hana bertemu Pak Jati. Hana tak sanggup memberi penjelasan panjang lebar ke Pak Jati. Ia lebih banyak menangis. Kabar kurang baik terdengar dari ponsel Pak Jati yang terus berupaya menelepon ketua dan sekretaris lingkungan paroki tetangga.
Masalah mereka menjadi berat karena, seminggu setelah MRT Ambros mendapat tugas keluar Jawa selama dua minggu.
“Ambros, kalian pulanglah. Kamu jaga betul Hana ya. Nanti saya hubungi kalian, kalau sudah mendapat jalan. Saya akan berupaya dari rumah. Percayalah, kalian akan saya dampingi sampai tuntas.”
Di rumah, setelah berdiskusi dengan Bu Tatiek, istrinya, Pak Jati akhirnya memutuskan untuk memohon bantuan ketua lingkungan Ludovicus II, lingkungan di parokinya, yang paling dekat dengan tempat tinggal Hana. “Bendahara lingkungan paroki sebelah, tadi bilang, ia tak diberi wewenang dan surat-surat oleh ketua lingkungan dan sekretaris yang keduanya pergi ke luar kota. Mereka sulit dihubungi, kata pak bendahara!” tutur Pak Jati pada Bu Tatiek.
Muncul pesan w.a dari Ambros. “Pak, bagaimana? Ada jalan? Saya sudah sampai di rumah kontrakan Hana. Dia nangis lagi.”
Pak Jati langsung menelepon Ambros, “Kamu jaga Hana, kalau sudah tenang, pulang ya. Nanti saya kabari kalau sudah ada jalan.”
“Pak Jati pun menelpon Bu Katrin, Ketua Lingkungan Ludovikus II. Bu Katrin ternyata adalah adik kandung Pak Hendri, sahabat Pak Jati. Relasi seperti ini membuat Pak Jati lebih nyaman untuk berdiskusi dengan Bu Katrin.
“Pak Jati…, bukannya saya gak mau bantu, Pak. Anak itu cuma w.a singkat, seperti menyuruh saya, gitu lhooo…lha saya gak kenal dia sama sekali…makanya saya kesal. Saya langsung bilang, kalau Hana itu bukan dari paroki sini. Uh, banyak umat datang ke kaling kalau ada kepentingan aja!” Keluh Bu Katrin.
Pak Jati pun menjelaskan keterdesakan pasangan Ambros – Hana kepada Bu Katrin. Lalu kendala dari lingkungan di paroki tetangga. “Saya akan minta mereka datang ke rumah Ibu. Sowan….”
“Pak Jati, saya tu selalu ingat pesan Romo untuk pegang prinsip pelayanan gembala baik. Saya pasti bantu umat semampu saya, meski secara teritorial dia bukan paroki kita. Kalau ketemu kan lebih enak. Saya jadi kenal mereka. Saya mau bantu kok. Saya paling akan minta Hana surat keterangan belum menikah, kan ya Pak?” tutur Bu Katrin.
“Wah, luar biasa Ibu!” puji Pak Jati.
Pak Jati pun segera menelepon Ambros. Namun muncul masalah baru: Hana pesimis bisa menemui ibunya untuk meminta surat keterangan belum menikah.
“Kalian sowan orangtua Hana ya. Jangan berprasangka dulu. Tuhan pasti beri jalan!” ujar Pak Jati.
“Hana takut, Pak. Tapi saya akan coba dampingi.”
Tekad yang kuat kerap menyelamatkan. Ibu Hana mau memberikan surat pernyataan tersebut. Kasih ibu memang melampaui segala batas.
“Mukjizat ini, Pak. Saya bersyukur!” ujar Ambros kepada Pak Jati.
“Ya sudah. Segera janjian sama bu Katrin!” tutur Pak Jati. “Ketemu di rumahnya. Ikuti waktu luang beliau. Minta maaf terlebih dahulu. Cerita dulu kenapa sampai Hana tidak tercatat di lingkungan mana pun. Baru kalian minta bantuan beliau. Beliau baik hati kok!”
“Padahal dulu kami sudah berprasangka, dia tak pantas jadi ketua lingkungan!”
“Lagi-lagi prasangka buruk! Payah kamu!” canda Pak Jati. “Setelah ke Bu Katrin, kalian jalan sendiri ke sekretariat paroki untuk mengajukan permohonan penyelidikan kanonik. Oke?”
“Iya, Pak. Ini pelajaran yang berharga buat kami. Prasangka tidak menyelesaikan masalah. Saya janji, setelah menikah, akan cari rumah kontrakan di lingkungannya Bu Katrin!”
“Itu urusan kalian! Hahaha…”
Oleh Aloisius Eko
Majalah HIDUP, Edisi No. 37, Tahun Ke-77, Minggu, 10 September 2023