HIDUPKATOLIK.COM – Minggu, 24 September 2023 Hari Minggu Biasa XXV Yes.55:6-9; Mzm.145:2-3, 8-9, 17-18; Flp.1:20c-24, 27a; Mat.20:1-16a
SANTO Fransiskus Assisi, dalam petuahnya mengenai menghindari dosa iri hati, mengatakan demikian: “Karena itu, siapa yang iri hati terhadap saudaranya karena Tuhan mengatakan dan mengerjakan yang baik dalam diri saudara itu, ia terkena dosa hujatan karena ia iri hati kepada Yang Mahatinggi sendiri, yang mengucapkan dan mengerjakan semua yang baik.” Selain itu, kenyataannya, tidak sedikit orang yang menjalani hidupnya dengan batin tertekan, tidak bahagia, bermuka muram sepanjang hari lantaran ia tidak bisa menerima kenyataan bahwa orang lain memperoleh keberuntungan dan kebaikan lebih dari dirinya. Senang melihat orang lain susah, susah melihat orang lain senang. Mentalitas ini tampaknya sudah ada sejak zaman dulu. Karena itu, tidak mengherankan jika dalam Injil Matius (Mat 20:1-16), Yesus menyinggung mentalitas ini dalam sebuah perumpamaan tentang orang-orang upahan di kebun anggur.
Perumpamaan Yesus ini berbicara tentang Kerajaan Surga. Kerajaan Surga adalah konsep dasar ajaran Yesus tentang pemerintahan dan kekuasaan Allah yang melahirkan kedamaian, kasih, dan keadilan. Ini adalah sebuah realitas spiritual yang dapat dialami oleh siapa saja yang mencarinya dengan semangat rendah hati dan penuh pertobatan.
Dalam perumpamaan ini, Allah digambarkan sebagai seorang pemilik kebun anggur. Ia memberi pekerjaan kepada pekerja upahan supaya mereka bisa menafkahi keluarganya. Kepada sekelompok pekerja, ia sudah sepakat dengan upah sedinar sehari, untuk pekerjaan yang dilakukan dari pagi sampai sore. Kepada sekelompok pekerja lainnya, yang diminta bekerja secara mendadak karena mungkin si pemilik kebun anggur ini merasa kasihan karena mereka menganggur, ia tidak membuat kesepakatan besarnya upah. Hanya dikatakan kepada mereka, “upah yang adil akan kuberikan kepadamu.”
Bagi pekerja harian pada zaman Yesus (abad pertama masehi), tidak mendapat pekerjaan sehari berarti sebuah bencana. Sebab, jika mereka tidak mendapat uang untuk sehari, mereka tidak tahu apa yang akan dimakan keluarganya esok hari. Jadi, berapapun upahnya, mereka pasti akan menerimanya.
Ketika tiba saatnya membagi upah harian bagi para pekerja, protes muncul dari kelompok pekerja pertama. Mereka tidak terima jika upah yang bekerja seharian sebanding dengan yang bekerja belakangan, bahkan yang hanya dua jam. Namun, mereka sebenarnya tidak berhak memprotes karena itu sudah menjadi kesepakatan sejak awal. Dalam hal ini, pemilik kebun anggur telah bertindak adil. Sementara itu, kepada pekerja yang lain, ia memberi upah dengan kemurahan hati. Apa alasan di balik pemberian upah kepada para pekerja yang terakhir, tidak ada petunjuk sama sekali dalam perumpamaan ini.
Sebagaimana kita tidak tahu apa motif kemurahhatian si pemilik kebun anggur dalam perumpamaan itu, kita juga tidak akan pernah tahu mengapa Allah bermurah hati kepada orang tertentu daripada yang lain. Ada orang yang selalu lancar memperoleh rejeki sementara yang lain selalu seret. Ada yang selalu beruntung, sementara yang lain merasa sial. Sekilas, orang akan berpikir, hidup ini tidak adil, Allah itu tidak adil. Benarkah demikian?
Penting disadari, kita adalah manusia, salah satu ciptaan dari sekian banyak hal yang diciptakan Allah. Kita tidak pernah mengetahui sepenuhnya kehendak dan rencana Allah dalam diri setiap manusia. Nabi Yesaya pernah mengatakan “Seperti tingginya langit dari bumi, demikianlah tingginya jalan-Ku dari jalanmu dan rancangan-Ku dari rancanganmu” (Yes. 55:9). Kita tidak berhak untuk mengatur Allah dan kehendak-Nya. Allah-lah yang mengatur kita. Jika Allah bermurah hati terhadap tetangga, kenalan, atau bahkan saingan atau musuh kita, itu adalah urusan Allah dengan mereka. Jika kita iri hati karena kemurahan hati Allah kepada mereka, apakah itu benar?
Iri hati sering merenggut kedamaian dan kebahagian kita, serta menjauhkan diri dari Kerajaan Allah. Allah adalah sumber kemurahan hati. Jika kita belum merasakan kemurahan hati-Nya, mungkin karena belum waktunya bagi kita atau kita tidak menyadarinya atau kita telah melukai Allah dengan perbuatan dosa kita.
“Seperti tingginya langit dari bumi, demikianlah tingginya jalan-Ku dari jalanmu dan rancangan-Ku dari rancanganmu”
Majalah HIDUP, Edisi No. 39, Tahun Ke-77, Minggu, 24 September 2023