HIDUPKATOLIK.COM – Minggu, 27 Agustus 2023 Minggu Biasa XXI. Yes.22:19-23; Mzm.138:1-2a, 2bc-3,6,8bc; Rm.11:33-36; Mat.16:13-20
DALAM sebuah interview dengan seorang jurnalis dari Rome Reports, dalam rangka 100 tahun Pontifical Biblical Institute (2009), Pater Stephen Pisano, SJ selaku rektor saat itu, mengatakan, “Bagi kita, Kitab Suci atau agama kita, bukanlah sebuah agama Kitab, tetapi agama seorang pribadi, pribadi Yesus Kristus.” Pernyataan beliau menyadarkan kembali bahwa sebenarnya fondasi agama, tradisi, dan cara hidup orang Kristiani adalah Yesus yang diimani sebagai Kristus.
Kristus (dalam bahasa Yunani) atau Mesias (dalam bahasa Ibrani) atau Almasih (dalam bahasa Arab) berarti Dia-yang-diurapi. Sebagai orang Kristiani, karena menyandang nama Kristus juga, kita sejatinya adalah orang-orang yang diurapi oleh Roh Kudus atas dasar kepercayaan kepada Yesus sebagai Kristus yang diutus Allah.
Sebagaimana dikisahkan dalam Injil Matius (16:13-14), tampaknya Yesus sudah dikenal luas oleh banyak orang sebagai figur penting dan diperhitungkan dalam masyarakat Yahudi. Bahkan, Ia disejajarkan dengan para nabi besar dalam sejarah Israel seperti Yeremia dan Elia. Mereka yang mungkin hanya melihat dan mendengar sepintas tentang Yesus, mengakui-Nya sebagai orang besar. Lantas, bagaimana dengan pengakuan para murid yang sehari-hari hidup bersama dengan Yesus?
Yesus bertanya kepada mereka, “Menurut kamu, siapakah Aku ini?” Petrus sebagai juru bicara para murid menjawab, “Engkau adalah Mesias, Anak Allah yang hidup.” Mesias atau Kristus adalah orang yang sungguh-sungguh dipilih oleh Allah. Dalam Perjanjian Lama, gelar mesias umumnya ditujukan kepada raja Israel, yang diyakini sebagai wakil Allah atau manusia yang diadopsi sebagai anak oleh Allah sendiri, yang kemudian diberi mandat untuk menggembalakan umat-Nya.
Para raja Israel mendapat pengurapan, sementara tidak semua nabi memperoleh pengurapan. Jika Petrus mengakui Yesus sebagai Mesias, Anak Allah, tampaknya ia telah mencapai pengetahuan dan kesadaran bahwa karakter orang yang diurapi dan dipilih oleh Allah terlihat jelas dalam diri Yesus. Hidup bersama dengan Yesus, berbincang-bincang dan mendengarkan pengajaran dari Yesus, Sang Guru, rupanya telah membawa Petrus pada pencerahan seperti itu. Dan Yesus pun menilai pengakuan Petrus itu sebagai anugerah dari Allah (Bapa) sendiri.
Yesus selanjutnya menubuatkan, di atas batu karang ini, Gereja sebagai komunitas umat Kristiani, akan didirikan. Apakah yang dimaksud dengan ‘batu karang’ ini? Apakah pribadi Petrus (Petros dalam bahasa Yunani berarti ‘batu karang’) atau pengakuan Petrus bahwa Yesus adalah Kristus atau malahan Kristus sendiri sebagai fondasi Gereja yang tak tergoyahkan? Ada banyak tafsiran mengenai ayat ini. Namun, yang penting untuk disadari, iman Petrus bahwa Yesus adalah Kristus, Anak Allah, seharusnya juga merupakan iman kita sebagai pengikut Kristus pada zaman ini.
Gereja yang telah dibangun di atas ‘batu karang’ iman akan Yesus Kristus, sekarang ini telah menjelma sebagai komunitas orang Kristiani sekaligus menjadi salah satu institusi yang paling besar, kuat, dan disegani di atas muka bumi. Terlepas dari kekurangan dan kelemahan yang ada di dalamnya, perkembangan Gereja tentu tak lepas dari peran Roh Kudus yang bekerja secara diam-diam.
Berbangga atas pencapaian Gereja ini tentu tidak dilarang, tetapi kita sebagai anggotanya perlu selalu bertanya secara kritis, apakah perkembangan dan kemajuan Gereja ini masih tetap selaras dengan visi, tujuan, dan ajaran Yesus Kristus atau tidak? Apakah Gereja masih tetap setia dengan iman akan Yesus sebagai Kristus atau justru sibuk dengan urusan lain, yang malahan dapat mengabaikan pribadi Yesus Kristus sebagai role model umat Kristiani.
Ada banyak kegiatan Gereja yang memberikan sukacita, dogma dan tulisan teologi yang tak terhitung jumlahnya, serta upacara keagamaan yang meriah. Apakah semuanya ini sudah efektif untuk menguatkan fondasi iman kita akan Yesus Kristus? Apakah sudah mendorong kita untuk mencerminkan wajah Kristus di masyarakat sekitar kita?
Dengan menyandang predikat “Kristiani”, sekali lagi kita adalah orang yang diurapi. Namun, ini bukan semata-mata hadiah dari Allah, sebaliknya ini adalah tugas berat bagi kita, untuk menunjukkan diri sebagai pengikut Kristus yang sejati. Sebagai orang Kristiani, tujuan mengikuti Kristus adalah menjadi serupa seperti Kristus.
“Menyandang predikat “Kristiani” bukan semata-mata hadiah dari Allah, sebaliknya ini adalah tugas berat bagi kita.”
Majalah HIDUP, Edisi No. 35, Tahun Ke-77, Minggu, 27 Agustus 2023