HIDUPKATOLIK.COM – SIAPA yang tidak kenal Ananda Sukarlan. Pianis dan komponis kenamaan yang mendapat pengakuan komunitas internasional ini sangat populer berkat Rapsodia Nusantara, sebuah karya yang dikembangkan dari lagu-lagu tradisional Indonesia. Ia telah menghasilkan 39 nomor hingga saat ini.
Nomor terakhir akan ditampilkan secara khusus dalam konser amal pada tanggal 12 Agustus 2023. “Lagu asli Nusa Tenggara Timur, ‘Oras Loro Malirin.’ Saya hilangin kata-katanya supaya bisa dimainin dengan piano saja dan untuk tangan kiri saja,” ujar pria kelahiran 10 Juni 1968 ini kepada HIDUP.
Ia juga akan memainkan piano dari puisi berjudul “Invictus” karya William Ernest Henley, seorang penyair asal Amerika Serikat (AS). “Itu untuk soprano, selo, dan piano. Itu saya bikin karena dari dulu saya senang dengan puisi itu. Puisi itu selalu menginspirasi saya kalau saya lagi down. Puisinya tentang dunia yang gelap ini. Akhirnya puisinya bilang bahwa I am the master of my fate, I am the captain of my soul,” imbuhnya.
Ananda mengenal piano pada umur lima tahun. Awalnya sang kakak ikut les piano dan mengajarkannya kepada adik-adiknya di rumah. Di rumah ada sebuah piano bekas. Tetapi ternyata Ananda lebih cepat menguasai kemampuan bermain piano ketimbang sang kakak, yang perhatiannya tersita untuk pendidikan. Akhirnya sang kakak berhenti les piano dan digantikan olehnya.
Setelah tamat SMA, pada tahun 1986, bungsu dari tujuh bersaudara ini melanjutkan studi piano melalui program beasiswa di University of Hartford, AS. Ia menyelesaikan studi S1 dan melanjutkan studi S2 di Royal Conservatoire The Haque, Belanda. Di sini ia meraih gelar master dengan predikat summa cum laude.
Di usia 28 tahun, ia didiagnosa menderita Sindrom Asperger. Saat itu ada orang dari Mensa International, sebuah kelompok orang-orang jenius, menghampirinya setelah ia memberi sebuah seminar. Orang ini mengira bahwa ia jenius dan menyarankan agar ia mengikuti tes. “Saya ke tempat dia, ikut tes seharian. Ternyata IQ saya tidak sampai 160, tapi saya mengidap Asperger Syndrome,” kenangnya.
Nama Ananda, yang menetap di Indonesia dan Spanyol, lebih dikenal di kalangan musik klasik. “Saya nulis dengan partitur tanpa instrumen. Jadi sebetulnya berhubungan dengan struktur, harmoni. Itu art music, kita bilang classical music,” ujarnya.
Ia mulai menciptakan musik piano satu tangan untuk anak-anak difabel pada tahun 2006 saat berada di Spanyol, bekerja sama dengan Fundacion Musica Abierta. Pada tahun 2009, ia mendirikan Yayasan Musik Sastra Indonesia.
Hingga saat ini, Ananda telah mengantongi sejumlah penghargaan, antara lain Eduard Elipse Award di Belanda (1988) dan Outstanding Musicians of the 20th Century (2000). Ia juga adalah pianis Indonesia pertama yang tercatat dalam The International Who’s Who in Music Book.
Meskipun Sindrom Asperger pernah membuatnya dirundung di masa lalu, kini ia mampu membungkamnya dengan karya-karyanya. “Saya punya kekurangan dan kelebihan. Dan, yang penting saya bisa membuktikan bahwa Tuhan pasti memberi sesuatu kalau mengambil sesuatu,” ujarnya.
Katharina Reny Lestari
Majalah HIDUP, Edisi No. 33, Tahun Ke-77, Minggu, 13 Agustus 2023