web page hit counter
Kamis, 26 Desember 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Ada Apa dengan “Body Shaming” dan “Flexing” Dilihat dari Perspektif Kitab Suci

5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.COM – DALAM kehidupan orang zaman sekarang, sedang trennya dua istilah yang kalau dinilai secara moral kedua-duanya memiliki nilai yang negatif. Dua istilah itu adalah body shaming dan flexing. Tidak bisa dipungkiri bahwa dalam kehidupan sehari-hari baik kehidupan orang muda maupun orang dewasa, sering terjadi perilaku body shaming dan flexing.

Perilaku body shaming lebih merujuk pada perbandingan fisik, biasanya mereka yang menjadi korban adalah mereka yang memiliki kekurangan secara fisik.

Sementara flexing lebih kepada tindakan mengagung-agungkan diri sendiri. Bahwa seseorang merasa lebih baik dari orang lain dan memandang rendah orang lain.

Saya bahkan secara pribadi pernah menjadi korban body shaming dan perilaku flexing. Ketika saya  dalam posisi menjadi korban, seringkali saya kehilangan kepercayaan diri. Contoh simpelnya adalah “ketika saya sedang nongkrong di Cafe dengan teman-teman untuk sekedar menghilangkan rasa bosan. Mereka sering menjadikan saya sebagai objek lelucon.” Saya sering mendapatkan ejekan dari teman yang walaupun itu hanya sekedar candaan sebagai seorang teman. Akan tetapi tindakan seperti itu tidak bisa dibenarkan dengan alasan apapun.

Body shaming adalah fenomena sosial yang merujuk pada perlakuan negatif, pem-bully-an, atau penghinaan terhadap seseorang berdasarkan penampilan fisiknya sementara flexing adalah tindakan membanggakan diri dengan cara memamerkan kemewahan atau prestasi diri. Praktik ini semakin meresahkan dan meluas dalam era media sosial dan standar kecantikan yang sering kali tidak realistis.

Baca Juga:  Kisah Natal yang Hangat : Kesederhanaan Natal Menginspirasi Mereka untuk Melihat Kasih Kanak-kanak Yesus dalam Diri Sesama

Rebecca Puhl (2012), seorang ahli psikologi dari Rudd Center for Food Policy and Obesity di University of Connecticut, telah mengkaji body shaming secara mendalam. Puhl menjelaskan bahwa body shaming dapat mengakibatkan stres, depresi, dan penurunan harga diri pada individu yang mengalaminya.

Crystal Abidin (2018), seorang ahli sosial media dari Curtin University, Australia, telah mengkaji fenomena flexing. Abidin mengungkapkan bahwa flexing adalah fenomena yang semakin umum terjadi di media sosial, di mana individu membanggakan diri dengan memperlihatkan kemewahan, prestasi, atau gaya hidup tertentu untuk mendapatkan pengakuan dan pujian dari orang lain.

Pandangan Kitab Suci 

Dalam perspektif Kitab Suci, terdapat prinsip-prinsip yang berkaitan dengan penghormatan terhadap tubuh dan sikap yang tepat terhadap diri sendiri dan orang lain. Kitab Suci mengajarkan pentingnya mengasihi dan menghormati sesama manusia tanpa memandang penampilan fisik sebagai penentu nilai seseorang.

Sebagai contoh, dalam Surat 1 Samuel 16:7, dinyatakan, “Tetapi TUHAN berfirman kepada Samuel: Janganlah memandang parasnya dan tinggi badannya, sebab Aku telah menolak dia. Sebab orang memandang apa yang ada di depan mata, tetapi TUHAN memandang hati.” Ayat ini menggarisbawahi bahwa Tuhan melihat ke dalam hati dan karakter seseorang, bukan hanya penampilan fisiknya.

Baca Juga:  Benarkah Misa Natal Saja Belum Cukup?

Selain itu, Kitab Suci juga mengajarkan agar tubuh dipandang sebagai tempat kediaman Roh Kudus. Dalam 1 Korintus 6:19-20, tertulis, “Atau tidak tahukah kamu bahwa tubuhmu adalah bait Roh Kudus yang diam di dalam kamu, yang kamu peroleh dari Allah, dan bahwa kamu bukan milikmu sendiri? Karena kamu sudah dibeli dan harganya telah lunas dibayar. Karena itu, muliakanlah Allah di dalam tubuhmu.”

Pengajaran ini menunjukkan bahwa tubuh adalah anugerah dari Tuhan dan harus dihormati serta dijaga dengan baik. Body shaming, yang merendahkan dan menghakimi penampilan fisik seseorang, bertentangan dengan prinsip ini. Kitab Suci mengajarkan untuk melihat orang lain dengan kasih sayang dan menghargai mereka sebagai ciptaan Allah yang unik dan berharga.

Selain itu, flexing juga dapat melanggar prinsip-prinsip kesederhanaan dan kerendahan hati yang diajarkan dalam Kitab Suci. Alkitab menekankan pentingnya fokus pada hubungan dengan Allah dan orang lain, bukan pada pameran diri dan kepuasan duniawi semata. Sikap yang membanggakan diri sendiri dengan memamerkan prestasi atau kemewahan bertentangan dengan nilai-nilai Kristiani yang mengajarkan kerendahan hati, pelayanan kepada sesama, dan pengabdian kepada Tuhan.

Evaluasi Moral

Dalam evaluasi moral dari perspektif moral dasar Kristiani,  body shaming dan flexing dianggap bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan, kasih, dan kerendahan hati yang diajarkan oleh Gereja Katolik. Umat Kristiani dipanggil untuk menghormati dan mengasihi sesama manusia tanpa memandang penampilan fisik, serta untuk menghindari kesombongan dan pengejaran kepuasan duniawi yang berlebihan. Dalam menghadapi fenomena ini, Gereja Katolik mendorong umatnya untuk mengembangkan sikap yang penuh kasih, rendah hati, dan adil dalam hubungan dengan sesama manusia.

Baca Juga:  Pesan Natal dari Stasi Binuang

Kitab Suci menekankan pentingnya mengasihi dan menghormati sesama manusia tanpa memandang penampilan fisik, serta menghindari kesombongan dan pengejaran kepuasan duniawi yang berlebihan. Kitab Suci juga mengajarkan untuk memandang tubuh sebagai tempat kediaman Roh Kudus yang harus dijaga dengan baik. Oleh karena itu, body shaming dan flexing bertentangan dengan prinsip-prinsip moral dasar yang diajarkan dalam Kitab Suci.

Melanggar prinsip kasih sayang?

Dari perspektif Kitab Suci dan ajaran moral dasar Kristiani, body shaming dan flexing melanggar prinsip-prinsip kasih sayang, penghargaan terhadap nilai setiap individu, serta memprioritaskan diri sendiri di atas hubungan yang baik dengan Allah dan sesama manusia.

Penting bagi umat Kristiani untuk melihat sesama dengan mata kasih tanpa memandang penampilan fisik, dan menghindari kesombongan dan kepuasan duniawi yang berlebihan. Dalam menghadapi fenomena ini, promosikan penghargaan terhadap martabat dan nilai intrinsik seseorang, serta utamakan hubungan yang sehat dengan Tuhan dan sesama manusia.

Agustinus Martin Samuel, Mahasiswa STF Driyarkara, Jakarta

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles