HIDUPKATOLIK.COM – Pastor yang terkasih, saya pernah dengar cerita dari orang tua saya. Kejadiannya sudah sangat lama, tetapi masih sangat menbekas di benak saya. Waktu itu orang tua saya ingin melayani sebagai prodiakon. Namun ada penolakan dari sebagian umat wilayah karena ada mualaf di keluarga saya. Tapi saat ini saya lihat ada juga prodiakon yang memiliki situasi yang mirip dengan situasi orang tua saya saat itu. Apakah ada syarat untuk menjadi prodiakon? Dan apa yang bisa menghambat umat untuk melayani sebagai prodiakon?
Katharina, Solo
Salam kasih, Katharina. Prodiakon adalah sebutan untuk umat awam yang dilantik secara resmi untuk membantu imam membagikan Komuni Suci dalam Gereja, mengantarkan Komuni kepada orang-orang sakit atau membantu dalam ibadat-ibadat sabda yang lainnya. Aturan tentangnya terdapat dalam Kitab Hukum Kanonik (KHK) No. 230 §3 sebagai berikut: “Bila kebutuhan Gereja memintanya karena kekurangan pelayan, juga awam, meskipun bukan lektor atau akolit, dapat menjalankan beberapa tugas, yaitu pelayanan sabda, memimpin doa-doa liturgis, menerimakan baptis dan membagikan Komuni Suci, menurut ketentuan-ketentuan Hukum.” Selain itu KHK No. 910 §2, mengatakan: “Pelayan luar biasa komuni adalah akolit dan juga orang yang ditugaskan sesuai ketentuan kan. 230 §3.”
Sebutan prodiakon mau mengatakan bahwa tugasnya mirip dengan diakon tertahbis. Karena itu dulu sering disebut diakon awam. Sekarang ini lebih tepat disebut “pro-diakon” sehingga status diakon sebagai bagian dari imamat (klerus) dan awam tidak campur aduk. Prodiakon sangat membantu banyak paroki, karena pelayanan yang tidak terjangkau akibat kurangnya imam dapat dilaksanakan melalui mereka ini.
Syarat utama untuk menjadi prodiakon tentulah bahwa ia dikenal sebagai orang baik, memiliki cinta kasih dan iman yang patut diteladani. Harus dijamin bahwa ia tidak akan menjadi batu sandungan dalam menjalankan tugasnya. Romo Martasudjita dalam bukunya “Kompendium tentang Prodiakon” menyebut tiga syarat: 1) memiliki nama baik sebagai pribadi ataupun keluarga, 2) diterima umat, dan 3) memiliki penampilan yang layak (lih. Martasudjita, 2010, 19). Itu berarti selain memahami iman seorang prodiakon hendaknya dapat mempraktekkan iman secara nyata dan berbuah. Hendaknya ia adalah seorang ayah atau ibu yang baik. Atau bila belum menikah, ia sudah menampakkan kepribadian dan buah iman yang baik. Prodiakon juga harus tampil berwibawa di depan umum, sehat, dapat mewartakan Sabda Tuhan dengan jelas.
Menjadi prodiakon adalah anugerah suci yang diterima dengan syukur dan tanggung jawab disertai kesediaan untuk terus belajar. Biasanya paroki menyediakan program-program pendalaman iman dan peningkatan ketrampilan bagi para prodiakon. Dengan demikian cinta akan Gereja dan Ekaristi bertumbuh, sehingga ia dapat melaksnakan tugas suci ini dengan giat dan tulus.
Pertanyaan Katharina menyentuh pengalaman. Prodiakon juga tidak luput dari permasalahan, bahkan bisa sangat berat sehingga berefek pada kepercayaan diri prodiakon tersebut dan pada penerimaan umat. Namun demikian, kita tidak boleh terlalu mudah menyalahkan prodiakon tersebut. Ada banyak sekali faktor, sehingga tidak serta-merta membatalkan anugerah dan tugas prodiakon. Mungkin saja ada kelalaian, sehingga mengakibatkan anggota keluarganya meninggalkan iman Katolik. Atau bisa saja bahwa anggota keluarganya memutuskan sendiri dengan kebebasan hati nuraninya, pilihan yang harus dihormati. Tentulah prodiakon sendiri harus belajar mendengarkan Roh Kudus, sehingga bisa memahami keadaan diri dan umat secara jujur. Itu juga bagian dari hidup imannya.
Biasanya prodiakon ditugaskan untuk jangka waktu tertentu, bukan seumur hidup. Di situlah ada evaluasi dari pastor paroki dan pimpinan umat dengan memperhatikan syarat-syarat di atas. Sekali lagi, satu faktor saja tidak bisa langsung membatalkan tugas suci ini. Justru karena tugas ini suci, maka harus diputuskan dalam iman dan cinta kasih.
Pengasuh: Pastor Gregorius Hertanto, MSC, Ketua Sekolah Tinggi Filsafat Seminari Pineleng, Sulawesi Utara
Pastor yang baik..
Saya pernah membaca artikel konsultasi iman tentang pernikahan, dikatakan bahwa sakramen pernikahan bisa dipimpin oleh awam (penganti imam). Argumentasinya adalah karena hal yang fundamental dalam pernikahan adalah cinta kedua mempelai dan cinta itu sendiri adalah anugerah Tuhan.. sehingga tugas imam hanya merestui, yang bisa dilakukan oleh awam. Juga itu sudah pernah terjadi. Bagaimana tanggapan Romo?
Pejelasan lebih mendalam akan diulas di Majalah HIDUP secara lebih mendalam.
Maaf Pastor, bagaimana jika seorang Prodiakon melawan Ketua Lingkungan di Lingkungannya, dan mengakibatkan perpecahan umat, apakah dia bisa dipecat dari Prodiakon, dan siapa yang berhak mengadilinya ?