HIDUPKATOLIK.COM – Madiha Shah, seorang ilmuwan sosial Pakistan, menekankan pentingnya berinvestasi dalam pendidikan generasi muda sebagai solusi yang mungkin untuk masalah kawin paksa di kalangan gadis muda.
“Jika seorang gadis tidak stabil secara finansial, dia bergantung pada keluarganya, dan sangat sulit baginya untuk mengambil langkah seperti itu.”
Madiha Shah, seorang ilmuwan sosial muda dari Pakistan, yang tinggal di perbatasan dengan Afghanistan, mempresentasikan masalah perjodohan dan pernikahan paksa di negaranya berdasarkan serangkaian data yang dikumpulkan sebagai bagian dari studi gelar sarjananya.
Pernikahan yang diatur dan dipaksakan
“Saya melihat pendapat anggota keluarga tentang perjodohan,” jelas Ms. Shah. Secara khusus, ia mewawancarai perempuan yang dipaksa menikah dan beberapa dari mereka yang akhirnya bercerai.
“Yang paling umum adalah perjodohan, di mana orangtua, atau anggota keluarga yang lebih tua, memutuskan dengan siapa anak laki-laki atau perempuan itu akan menikah,” tegas peneliti ini.
Ada juga pernikahan sepupu, “di mana anggota keluarga yang lebih tua memutuskan dengan siapa anak perempuan atau laki-laki akan menikah di dalam keluarga itu sendiri.”
Minoritas dan daerah pedesaan
Praktik kawin paksa terutama melibatkan gadis-gadis muda yang merupakan bagian dari kelompok minoritas. Misalnya, “Kristen, Hindu, Ahmadiyah, atau Kalash,” biasanya tinggal di “pedesaan”.
Jika seorang pria ingin menikahi seorang gadis “tanpa izinnya, tetapi juga orangtuanya, dia mengambilnya dan mengubahnya menjadi Islam.”
“Hal ini terjadi karena banyak alasan,” tetapi terutama karena “laki-laki itu ingin punya anak, yang akan menjadi pekerja” begitu mereka dewasa.
Implementasi hukum
Menurut Ms. Shah, Pakistan memiliki undang-undang tentang pernikahan paksa dan bahkan pemaksaan pindah agama.
Namun, undang-undang ini tidak memiliki implementasi di daerah pedesaan di negara itu.
Pendidikan dan kesadaran diri
Solusinya adalah “meningkatkan kesadaran tentang topik semacam ini di berbagai bagian Pakistan, melalui dialog agama” tetapi juga mengandalkan pendidikan dan “pelatihan kesadaran diri.”
Sangat mendasar, menurut peneliti, “melibatkan generasi muda” dan menjelaskan kepada mereka mengapa kawin paksa “menjadi masalah besar di negara ini.”
Kemandirian finansial
Sementara itu, perempuan muda dapat mencari bantuan dalam kelompok feminis, yang juga memberikan kerangka dan data konkret mengenai “ribuan gadis muda yang diubah dan dipaksa menikah di Pakistan.”
Namun, kadang-kadang, mencari bantuan pun sulit. “Jika seorang gadis tidak stabil secara finansial dan bergantung pada keluarganya, maka sulit baginya untuk mengambil langkah seperti itu,” tegas Shah. **
Moritz Dapper/Edoardo Giribaldi (Vatican News)/Frans de Sales