web page hit counter
Senin, 23 Desember 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

St. Matiya Mulumba Kalemba: Katekis Istana Berujung Kematian  

Rate this post

HIDUPKATOLIK.COM – Bagi Matiya, kematian Yesus adalah jalan kemuliaan, sedangkan kematiannya merupakan pelunasan atas dosa-dosanya.

UGANDA Croydon Catholic Community (UCCC), sebuah gerakan Caritas terkenal di Uganda. Gerakan ini, selain pada pemberdayaan ekonomi masyarakat, fokus pada bidang pendidikan. Ketangguhan dan keberlanjutan anak-anak Uganda di bidang pendidikan adalah urgensi bagi Gereja Uganda. Intervensi pendidikan Gereja lewat UCCC membuat banyak anak muda Uganda bisa bersekolah hingga luar negeri. Menariknya, UCCC ini sudah membantu 121 orang menjadi imam dari berbagai tarekat di Uganda.

“UCCC hadir untuk mengenyangkan perut masyarakat Uganda pada umumnya, dan menyelamatkan masa depan anak muda Katolik di Uganda. Kerja sama dalam persaudaraan lewat berbagai kegiatan, telah melahirkan ekosistem kristiani yang dewasa, efektif dan berdaya guna di Uganda,” ujar Uskup Agung Mbarara, Uganda, Mgr. Lambert Bainomugsiha dalam sebuah perayaan hari jadi UCC.

“Berjalan dalam kekuatan” adalah visi keberpihakan UCCC. Sementara spirit pelayanan mereka berpusat pada satu orang kudus Uganda yang terkenal karena pencarian hidupnya, St. Matiya Mulumba Kalemba. Seorang pribadi yang bebas dengan pilihan hidup. Pikirannya tidak terkontaminasi berbagai kenikmatan duniawi saat mendengar suara Tuhan. “Matiya memberi contoh tentang kekuatan iman pada salib,” ujar Uskup Agung Kampala, Mgr. Paul Ssemogerere.

Para pelajar Uganda yang mendapat beasiswa dari UGANDA Croydon Catholic Community, komunitas yang menggunakan semangat St. Matiya Mulumbu/https://ugandacroydoncatholiccommunity.org/

Makna Salib

Matiya bukan tipikal anak muda yang tinggi hati. Ayah angkatnya adalah Magatto, kanselir Raja Mwanga II Mukasa (pengganti Raja Muteesa) yang membenci Kekristenan. Hidupnya tidak terbebani oleh kelimpahan harta istana. Sebaliknya, ia begitu dekat dengan siapa pun termasuk para pekerja belia di lingkaran istana. Mereka ini yang kelak mati di ujung tombak atau dibakar sebagai martir Kristus.

Dalam kebencian yang mendalam kepada orang Kristen, Raja Mwanga memerintahkan agar kegiatan keagamaan dihilangkan. Sikap raja keras kepada para misionaris membuat banyak orang takut keluar dari persembunyian. Di saat mencekam itu, Matiya menemukan jalan panggilannya. Kedekatannya dengan beberapa pekerja di istana seperti Santo Joseph Mukasa, Santo Mbaga Tuzinde, dan Santo Denis Ssebuggwawo membawanya memeluk agama Katolik.

Baca Juga:  Uskup Pangkalpinang, Mgr. Adrianus Sunarko, OFM: Membawa Salam Damai

Dalam pertemanan itu, para sahabat istana memanggilnya omwana wa katonda (anak dari Tuhan). Sebutan ini untuk menjelaskan asal-usul Matiya. Seisi istana tidak mengetahui persis ayahnya. Ia tiba di istana ketika dirinya ditangkap dalam pelarian bersama ibunya. Sang ibu juga tak banyak menjelaskan profil sang ayah. Anak-ibu lantas dibawa ke istana – sang ibu menjadi pembantu istana kemudian menikah lagi dengan Magatto.

Meski sebutan “anak dari Tuhan” disematkan kepadanya, tetapi sebenarnya maknya tidak sebatas generologis. Uskup Ssemogerre menyebutkan, Matiya adalah titipan Tuhan bagi istana Mwanga yang penuh dengan kenistaan dan kecemaran lahiriah. “Ia diutus Tuhan untuk menyembuhkan luka-luka Mwanga yang ternganga lebar karena dosa. Mwanga adalah seorang yang tercemar hartinya karena mempertahankan kepercayaan pagan, praktik pedofil, beristri banyak, dan berbagai perzinahan lainnya,” ujarnya.

Dalam relasi dengan para martir belia di istana, Matiya yang beranjak dewasa belajar tentang makna salib. Refleksinya tentang salib membuat dirinya dianggap sebagai mistikus sejati di istana Uganda. Dia menemukan bahwa salib adalah cara terindah menemukan jalan hidup. Tidak ada kesaksian seagung penderitaan Kristus di salib. Dalam sebuah diskusi internal tentang Katekismus, Matiya berujar, “Kematian terindah manusia adalah ketika jiwa abadi bersama Kristus yang tidak tampak.”

Beberapa kali Matiya dihadapkan pada berbagai persoalan. Ia mendapat kepercayaan belajar berperang dan berburu. Tidak semua keturunan istana mendapat hak istimewa ini. Ia juga belajar tentang kebudayaan dan aturan-aturan istana yang baginya tak sesuai ajaran Kristus. Ia menyebutkan Mwanga bukan Tuhan, meski dia berkuasa di dunia. Mwanga adalah raja bagi dirinya, sukunya dan bagi istananya saja. Orang Kristen memiliki Sang Raja sejati yaitu Kristus.

Baca Juga:  Ketua Yayasan Brayat Minulya Sr. M. Carola Sugiyanti, OSF: 75 Tahun RS Brayat Minulya Surakarta: Dalam Pelukan Keluarga Kudus

Katekis Istana

Cerita tentang asal-usul Matiya kiranya bisa didapatkan dalam kisah lisan sang ibu. Ia lahir dari pasutri dari wilayah Bunya (Klan Lugave) Kerajaan Busoga, Uganda. Di usia 10 tahun, ia ditangkap bersama ibunya lalu dibesarkan oleh ayah angkatnya Magatto dari Klan Musu. Agama asalinya adalah Islam, sesuai agama sang ayah. Ibunya seorang pagan yang kemudian hari menjadi Katolik saleh.

Di istana, Matiya tinggal bersama Buzibwa, saudara dari ayah angkatnya. Keistimewaan sebagai “orang dalam” istana, ia dipercaya sebagai pengawas atau kepala rumah tangga di daerah Ssinggo – di bawah kekuasaan Ddumba. Setelah kematian Ddumba, ia kemudian di tarik ke istana Mwanga.

Pertemuan dengan Kekristenan berawal dari kehadiran para misionaris Anglikan dan Misionaris Afrika (White Fathers), sebuah kongregasi imam yang didirikan Kardinal Martial Allemand Lavigerie yang membantu misi di Afrika. Ia belajar menjadi seorang katekumen pada 31 Mei 1880, lalu dibaptis pada tanggal 28 Mei 1882 oleh Pater Ludovic Girault, bersama beberapa martir belia di istana.

Sejak dibaptis, Matiya lalu menjadi katekis di kalangan istana bersama Santo Nowa Mawanggali dan Santo Lukka Baanabakintu. Bila dibandingkan umur, Matiya lebih tua 20 tahun dari para martir belia itu. Meski begitu, hatinya sangat mencintai para pengikut Kristus. Perannya di istana tidak isapan jempol biasa. Pada tanggal 25 Mei 1886, sebagai asisten rumah tangga, ia membangun kembali istana Mwanga yang pernah terbakar.

Keutamaan hidup Matiya digambarkan oleh St. Lukka Baanabakintu. Matiya bersama Lukka sering berjalan kaki dari Desa Mityana ke Desa Nalukolonga dengan jarak 64 kilometer setiap minggu untuk mengikuti Misa. Sepanjang jalan mereka menggunakan skapulir pemberian para misionaris dan tak lupa memberi pengajaran iman kepada siapa pun yang mereka jumpai. Tahun 1886, ia bahkan mengantar puluhan orang untuk dibaptis Pater Girault. Umurnya yang cukup tua tidak menjadi alasan baginya mengunjungi setiap umat dengan berjalan kaki.

Baca Juga:  Uskup Pangkalpinang, Mgr. Adrianus Sunarko, OFM: Membawa Salam Damai

“Ia tidak kenal lelah. Ia mewartakan Injil Tuhan dari desa ke desa. Sepanjang perjalanan ia akan mengumandangkan kidung Maria. Dia ingin menginap di desa-desa terjauh hanya untuk bertemu Tuhan,” cerita Lukka sebagaimana dilansir dari buku Para Martir Uganda, 2012.

Kematian Sempurna

Matiya tidak takut bahkan kerapkali didapati berdoa di depan Mwanga. Ia selalu berusaha mengajak raja bertobat dari paganisme tetapi usaha itu sia-sia. Sang ibu akhirnya memeluk Kekristenan meski harus menghadapi bahaya maut oleh prajurit kerajaan. Intensitas pelayanan di sektor istana yang dilakukan sebagai misionaris awam bawah tanah membuat Mwanga begitu marah.

Beberapa hari sebelum penangkapannya, ia mendengar rekan-rekannya, Lukka dan Charles Lwanga ditangkap. Keduanya dihukum mati dengan cara dibakar. Sementara beberapa dari mereka, termasuk Matiya dikirim ke Namugongo. Di sana Raja Mwanga memerintahkan untuk membunuh semua orang Kristen termasuk para martir di istana.

Matiya meninggal dunia secara tragis. Ia meminta agar tubuhnya tidak dibakar oleh para algojo tetapi dipotong-potong kemudian dipanggang. Tubuhnya tak tersisa, hanya tinggal debu. “Ia ingin mati dengan cara yang lebih tragis dari Kristus. Ia mengimani kematian Yesus sebagai jalan kemuliaan, sementara kematiannya sebagai jalan pelunasan dosa-dosanya,” ujar Mgr. Paul Ssemogerere.

Matiya meninggal pada usia 50 tahun, tepatnya 27 Mei 1886). Meskipun kematiannya di mata manusia adalah kebodohan, tetapi ia diangkat mulia sebagai orang kudus. Paus Benediktus XV membeatifikasinya pada 1920. Paus Paulus VI mengangkatnya sebagai santo pada 18 Oktober 1964. Ia dianggap sebagai pelindung bagi para kepala keluarga atau kepala rumah tangga. Perayaannya setiap 3 Juni bersama 20 martir Uganda lainnya.

Yustinus Hendro Wuarmanuk

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles