HIDUPKATOLIK.COM – Pada tahun 2000-an saat masih tinggal di Cakung, Jakarta Timur, saya dan keluarga cukup sering mengikuti Misa di Gereja St. Bonaventura, Pulomas, Jakarta Timur. Gereja ini memiliki tampak depan unik dengan bentuk atap “segitiga” yang menjulang tinggi. Sepintas mengingatkan saya kepada mitra (makhkota) uskup. Entah ada hubungan atau tidak, Santo Bonaventura pelindung gereja ini, semasa hidupnya memang seorang uskup. Patungnya menggambarkan sosoknya sebagai uskup berdiri gagah di sisi kanan halaman gereja.
Giovanni di Fidanza (Johanes Pembaptis) adalah nama kecilnya. Ia lahir di Kota Bargnorea, Italia pada tahun 1221. Sejarah Gereja mencatat, pada abad 13 hadir sebuah ordo yang masih sangat berperan hingga saat ini, yakni OFM (Ordo Fratum Minorum). Ordo yang didirikan oleh St. Fransiskus Asisi. OFM telah berkembang pesat saat Giovanni lahir. Dua orang suci ini sempat bertemu, saat Giovanni kecil yang sedang sakit keras, oleh orang tuanya dibawa kepada Fransiskus yang sedang berkunjung ke dekat kota mereka.
Fransiskus bersedia mendoakan dan seketika Giovanni sembuh. Fransiskus melihat benih baik dalam diri Giovanni, yang saat itu baru berusia 4 tahun. Spontan ia berkata, “O buona ventura, akan datang hal-hal baik dari anak ini”. Sejak saat itu, orang tuanya mengganti namanya menjadi Bonaventura. Nubuat Fransiskus terbukti. Bonaventura bertumbuh dengan berbagai keutamaan dan memancarkan nilai-nilai kebaikan. Ia cerdas, dianugrahi banyak bakat, serta takut akan Tuhan.
Pertemuan saat kecil dengan sang pendiri OFM sepertinya sangat berkesan dan berbekas mendalam, sehingga Bonaventura pada usia 22 tahun memutuskan bergabung dengan OFM. Bahkan 14 tahun kemudian tepatnya pada tanggal 2 Februari 1257 Bonaventura yang baru berusia 36 tahun dipercaya memimpin Ordo yang sudah berkiprah selama 48 tahun.
Masa itu, sungguh tidak mudah bagi Bonaventura menjadi nakhoda OFM. Terutama karena Bonaventura berkeras mempertahankan nilai-nilai keutamaan yang ditanamkan oleh Fransiskus, terutama hal kemiskinan. Selama memimpin Ordo, ia membagi biara-biara Fransiskan yang banyak tersebar di seluruh dunia dalam beberapa propinsi. Ia membuat peraturan-peraturan demi memelihara pelaksanaan anggaran dasar. Sebagai pemimpin, ia selalu meluangkan waktu mendengarkan suara saudara-saudara yang paling sederhana pun. Ia juga seperti Fransiskus, dengan sukacita melakukan pekerjaan-pekerjaan sederhana dalam biaranya. Semua pola laku ini membuatnya mendapat julukan Pendiri Kedua Ordo.
Tahun 1273, Paus Gregorius X mengangkat beliau menjadi Uskup Albano sekaligus sebagai Kardinal dengan tugas khusus mempersiapkan dan memimpin Konsili Lyon yang diselenggarakan pada 1274. Paus dan para peserta Konsili semua puas dengan apa yang disiapkan dalam Konsili Lyon ini. Selain itu sejarah mencatat, berkat upaya Bonaventura, Gereja Yunani yang telah memisahkan diri dari Roma, bersedia hadir dalam Konsili dan kemudian kembali bersatu dengan Gereja Roma.
Tanggal 14 Juli 1274, di tengah kesibukan penyelenggaraan Konsili, mungkin karena bekerja terlalu keras dan tak kenal waktu, Bonaventura jatuh sakit. Sri Paus sempat memberikan Sakramen Orang Sakit kepadanya. Namun tengah malam, saat kalender bertanggal 15 Juli, ia tak tertolong, Tuhan memanggilnya pulang dalam proses yang terbilang cepat. Semua orang terkejut dan bersedih. Beliau langsung dimakamkan di gereja Fransiskan di Lyon, Perancis, dengan prosesi pemakaman yang begitu meriah karena kehadiran begitu banyak orang yang mengasihinya. Sri Paus dan para Uskup peserta Konsili ikut hadir. Tentu tak ketinggalan para Saudara Ordo serta umat yang sangat mencintainya.
Selang dua ratus tahun kemudian, Gereja mengakui keutamaan Bonaventura saat Paus Sixtus IV memberi gelar Santo pada tanggal 14 April 1482. Gereja menetapkan tanggal 15 Juli sebagai Perayaan Wajib untuk mengenang beliau.
Kemudian pada tanggal 14 Maret 1588 Paus Sixtus V menganugrahkan gelar Sepharacus Doctor (Doktor Serafik) alias Pujangga Gereja. Ditengah kesibukannya sebagai pemimpin OFM, Bonaventura memang banyak menulis buku guna menyampaikan pikiran-pikiran besar terutama tentang kasih kepada Allah. Beberapa buku yang terkenal hingga saat ini adalah Commentaries on the Four Books of Sentences of Peter Lombard, Itinerarium Mentis in Deum, De Reductione Artium ad Theologiam, dan Breviloquium.
Ada beberapa pesan St. Bonaventura yang baik untuk kita renungkan. Beliau banyak meninggalkan warisan tentang kasih kepada Allah. Hendaknya kasih ini menjadi tujuan hidup sebagaimana perintah Yesus sendiri pada Mat. 22:37-38. Namun tidak berarti kita boleh mengabaikan keutamaan-keutamaan lainnya. Ia hendak mengatakan, tanpa kasih kepada Allah, maka keutamaan lainnya tidak akan menghantar kepada keselamatan.
Kasih kepada Allah sungguh tak ternilai, karena sanggup mengenyahkan semua dosa. Ia menyakini, semakin sempurna kasih kita kepada Allah, kita akan semakin menjauhi dosa. Menjauhi apa yang tak berkenan bagi Allah dan berusaha membuat hati kita nyaman bagi-Nya.
St. Bonaventura bersaksi bagaimana ia menimba kasih Allah. Ia senantiasa berusaha memandang salib dan merenungkan sengsara Yesus. “Luka-luka Yesus serupa anak panah yang sanggup menoreh hati yang paling keras dan serupa api menyala yang membakar jiwa-jiwa yang paling dingin sekalipun.” Siapapun yang merenungkan sengsara Yesus sang Penebus pada kayu salib, mustahil menyerah kepada dosa.
Sungguhkah kita telah mengasihi Allah?
Fidensius Gunawan (Kontributor, Tangerang Selatan)