HIDUPKATOLIK.COM – Bangsa Indonesia tak lama lagi akan melakukan pesta demokrasi, yakni pemilu untuk memilih Presiden dan anggota DPR. Orang menyebut tahun 2024 adalah tahun politik. Sudah menjadi tradisi sebelum pemilu, tepatnya pada masa kampanye, para calon ini akan menebar janji-janji manis. Faktanya banyak politisi kita yang hanya pandai berbicara manis namun saat telah terpilih, tak sanggup atau bahkan tak ingat lagi untuk mewujudkannya.
Kita bersyukur, walau jumlahnya sangat sedikit, tetap masih ada politisi bersih dan bermoral baik. Mereka berjuang dengan hati nurani membela kepentingan rakyat. Mereka menghembuskan angin segar di tengah kabar-kabar miris. Sangat mungkin mereka berlaku benar, karena mereka takut akan Tuhan. Mereka menjunjung tinggi ajaran agama yang mereka anut.
Kabar gembiranya, telah lama Gereja Katolik memiliki seorang politisi sekaligus negarawan yang diakui sebagai orang kudus. Namanya adalah Thomas More. Ia hidup sebagai awam dengan pencapaian karir yang luar biasa hingga dipercaya menjadi penasihat (high counsellor) Raja Henry VIII pada abad 15 di Inggris. Gereja Katolik memperingati secara fakultatif setiap tanggal 22 Juni sebagai martir. Bersamaan dengan Uskup Yohanes Fisher, sahabat Thomas More.
Lahir di London pada tanggal 7 Februari 1478. Ayahnya, Sir John More seorang pengacara sukses. Ibunya bernama Agnes. Thomas lahir sebagai anak kedua dari enam bersaudara. Karena berasal dari keluarga mampu, tak heran Thomas memperoleh pendidikan yang baik, bahkan di salah satu sekolah terbaik di Inggris, St Anthony’s School. Kemudian pada tahun 1492 saat berusia 14 tahun ia melanjutkan pendidikan di Universitas Oxford selama dua tahun untuk memperdalam Bahasa Latin dan Yunani. Ini berkat dorongan dan bantuan Uskup Agung Canterbury John Morton, yang menyakini potensi besar dalam diri Thomas.
Thomas More kecil dan remaja memang dekat dengan kehidupan gereja. Bahkan selama sekitar dua tahun, 1490-1492 ia melayani Uskup John Morton dengan membantu mengurus rumah tangga. Rupanya ini telah menumbuhkan minat masuk biara. Lima tahun kemudian, setelah ia berhasil menyelesaikan pendidikan sebagai ahli hukum, sesuai kehendak ayahnya, ia ingin menguji kesungguhan minatnya. Ia memutuskan hidup di dekat Biara Kartusian untuk mengikuti rutinitas dan latihan rohani para rahib, selama sekitar satu tahun. Namun akhirnya ia mengambil pilihan hidup sebagai awam namun sepanjang sisa hidupnya ia meneruskan kebiasaan bangun subuh untuk doa pagi, melakukan olah puasa, serta selalu mengenakan pakaian kasar yang terbuat dari rambut hewan. Thomas menjadi anggota Ordo Ketiga Fransiskan.
Setahun kemudian, 1505 ia menikahi Jane Colt yang baru berusia 22 tahun. Mereka dikarunia empat orang anak, Margaret, Elizabeth, Cicely, dan John. Malangnya, Jane meninggal saat melahirkan si bungsu. Hanya berselang 30 hari kemudian, Thomas menikah dengan Alice Harpur Middleton, seorang janda yang usianya jauh lebih tua. Alice membawa putrinya, yang oleh Thomas diperlakukan sama seperti anak sendiri. Menurut Erasmus, sahabatnya asal Belanda yang pernah diajak tinggal di rumahnya, Thomas sangat mengasihi keluarganya. Ia menjadi sumber sukacita dalam keluarga. Selain itu, walau sudah ada lima anak yang menjadi tanggung jawabnya, Thomas dengan penuh kasih menjadi wali bagi Anne Cresacre (kelak menjadi istri dari si bungsu John) dan Margareth Clement (kelak menjadi satu-satunya saksi saat eksekusi mati Thomas More). Salah satu bukti kasih sayang kepada anak-anaknya, ia memberi pendidikan yang sama baik kepada semua anaknya, walaupun saat itu tak lazim anak perempuan diberi pendidikan. Langkah ini menjadi teladan bagi keluarga bangsawan lain.
Perjalanan karier Thomas More sungguh moncer. Mulai dari pengacara, menjadi anggota parlemen, sampai akhirnya menjadi Lord of Canchellor yang adalah tangan kanan Raja. Sampai suatu kejadian, di mana Raja Henry VIII bermaksud menceraikan istrinya Chaterine dari Aragon guna menikahi Anne Boleyn. Tentu saja niat ini tidak mendapat restu dari Gereja. Maka Raja Henry VIII memutuskan hubungan dengan Roma, mengangkat diri sebagai Kepala Gereja Inggris. Semua pihak yang menentang dianggap sebagai penghianat.
Thomas More termasuk yang tidak setuju dengan apa yang dilakukan oleh Raja, sehingga memutuskan mundur dari jabatannya pada 16 Mei 1532. Dia setia pada Gereja Katolik Roma. Kesetiaan ini berujung pada hukuman mati baginya. Ia menjadi martir pada 6 Juli 1535 dengan cara dipenggal. Sebelum meninggal ia menyatakan dirinya sebagai “the king’s good servant, and the God’s first” (pelayan yang baik bagi Raja, namun Tuhan adalah yang utama). Konon sebelum dipenggal, Thomas More sempat mendaraskan Mazmur 51 suatu doa mohon ampun kepada Tuhan.
Paus Leo XIII pada 29 Desember 1886 memberi gelar Beato kepada Thomas More, Yohanes Fisher (Uskup) dan 52 martir lain. Lalu pada 19 Mei 1935 Paus Pius XI menganugerahkan gelar Santo kepada Thomas More dan Yohanes Fisher. Sejak 1970, kedua Santo ini diperingati setiap tanggal 22 Juni (tanggal dimana Yohanes Fisher dihukum mati). Paus Yohanes Paulus II pada tanggal 31 Oktober 2000 menyatakan Santo Thomas More sebagai pelindung para negarawan dan politikus.
Semoga semakin bertambah banyak para politisi kita, lebih-lebih mereka yang Katolik, bersedia meneladan Thomas More. Setia kepada kepentingan rakyat, setia kepada kehendak Allah dan Gereja, serta tak lupa memberi cinta kepada keluarga.
Fidensius Gunawan (Kontributor, Tangerang Selatan)