HIDUPKATOLIK.COM – KETIKA suatu kali engkau menyempatkan diri berkunjung ke kota itu, mungkin engkau orang kesekian puluh yang tercengang oleh keadaannya. Engkau akan memasuki wilayah yang lebih dingin dibandingkan kota-kota di sekitarnya. Aku bicara tentang cuaca? Tidak. Dingin itu menguar dari penduduk yang memilih untuk tidak berkata-kata. Wajah-wajah mereka sedingin tembok-tembok yang mengelilingi kota. Wajah-wajah sayu dan merunduk itu menebarkan hawa dingin bagi orang yang berpapasan dengannya. Wajah-wajah itu tak terlalu tampak karena mereka berjalan begitu menunduk.
Tidak banyak yang berlalu lalang. Jumlah mereka bisa dihitung dengan jari. Mereka berjalan dalam diam dan menunduk. Orang muda melindungi kepalanya dengan sweater hoodie sambil memasukkan tangan di saku celana. Ibu-ibu yang melintas kebanyakan mengenakan kerudung atau pasmina. Sama seperti orang muda, meskipun tak ada panas matahari, mereka berjalan menunduk, seolah sangat takut dengan paparan sinar ultraviolet yang akan cepat membuat kulit mereka terbakar dan keriput. Mereka berjalan sambil menekuri jalanan meskipun bukan menghitung berapa langkah yang telah mereka lakukan atau berapa langkah lagi mereka akan sampai di tujuan.
Matahari tak pernah terang-terangan bersinar. Seharian nyaris penuh kabut seperti pandangan penderita katarak parah. Jarak pandang hanya beberapa puluh meter ke depan, selebihnya putih cukup pekat. Langit mendung dan kelabu, penuh awan nimbus di tiga perempat wilayah kota. Taman dan bangku-bangkunya menjadi tempat bertengger daun-kaun kering yang rontok dibawa angin. Bangku taman, perosotan, dan ayunan kehilangan balitanya. Para kanak-kanak itu berada di balik kelambu, di bawah ketiak ibunya, atau bermain seadanya di dalam rumah yang di banyak bagian dindingnya menampakkan susunan batu bata, tanda kerapuhan, serapuh suasana kota.
Rumah-rumah penduduk cukup berjarak satu sama lain. Ada halaman di sekeliling rumah dan sayangnya bunga-bunga yang ditanam layu dan mengering. Entah sudah berapa lama tanaman-tanaman itu tidak menikmati air. Pemiliknya mendekam di dalam rumah. Sesekali mereka keluar untuk membeli beberapa keperluan di toko dan warung kecil yang hanya terbuka ketika calon pembeli datang. Buka lalu tutup kembali cepat-cepat. Calon pembeli akan mengetuk pintu kayu yang buka tutup secara vertikal, warung terbuka sebentar, pembeli mengambil keperluannya, membayar lalu pergi tanpa kata. Mereka berkomunikasi dengan isyarat. Jemari bergerak menyatakan kehendak. Mulut berucap tanpa suara. Hening dan selalu begitu. Mereka tuli. Seluruh penduduk kehilangan pendengarannya meskipun bertelinga.
Ada tujuh kisah yang melatarbelakangi dan mengiringi ketulian mereka. Satu di antara kisah pilu itu begitu memedihkan hati. Kala itu langit biru cerah. Tanpa dinyana, segumpalan awan raksasa berwarna kelabu menyelimuti dibarengi dengan thathit, kilat yang merobek langit, lalu guntur yang menggelegar berulang-ulang. Gendang telinga mereka pecah. Ada robekan luas di membran timpani. Sejak peristiwa itu, kota kehilangan suaranya. Kegaduhan sempat terjadi karena di antara mereka tidak tahu cara berkomunikasi. Satu sama lain tidak saling mengerti. Selalu ada pesan yang tidak lengkap dan membingungkan. Banyak orang naik darah. Ketika ada yang darahnya benar-benar naik tak terkendali hingga muncrat dari kepalanya, orang-orang terdiam seketika. Mereka merasa percuma memaksakan pesannya sampai kepada orang lain. Menuntut orang paham adalah percuma belaka. Pembuluh darah jadi pecah, pesan pun terbelah. Orang-orang tak terhindar dari gundah. Komunikasi tetap saja tidak sesempurna ketika mereka masih bisa mendengar. Untuk sekian waktu, banyak pekerjaan tertunda dan terbengkalai. Mereka menjadi apatis dan memilih diam daripada harus sadis.
Sejak itu, kota berubah muram secara drastis. Sendu dan beku, kaku juga kelu. Penduduk lebih sering berada di dalam rumah. Perjalanan jarang ada. Taman-taman kota menjadi sunyi dan berdebu. Deretan pohon kiara payung di sepanjang trotoar dan pohon pucuk merah yang mengelilingi taman menggugurkan daunnya. Gugurannya menyerak di sana sini. Tanaman-tanaman hias merunduk dan layu. Serangga yang menumpukan hidupnya pada dedaunan pergi tak tahu ke mana. Capung dan kupu-kupu tak ada lagi. Burung dan kelelawar membisu. Laba-laba dan kumbang menghilang. Sekumpulan kepik berubah warna menjadi kusam. Mereka yang telah kusam, terbang dari daun tempatnya tinggal. Satu yang masih berkilau, seekor kepik emas. Dia bertahan di balik daun kangkung-kangkungan. Di sanalah tempatnya bertengger. Jenis perdu satu itu bertahan hidup. Habitatnya agak di pinggir kota, sebuah area tanah yang lebih rendah dan melandai, di sisi barat sebuah kapela semi terbuka, berbentuk balla lompoa dengan tiang-tiang penyangga dan atap sirap hitam tak pudar oleh cuaca.
Kepik emas bertahan mati-matian dari musim yang berganti. Ia menolak berubah menjadi coklat kusam seperti kerabatnya. Warna emasnya tidak pudar. Kutikelnya tak sempat termasuki cairan lembab penghapus kilau keemasannya. Ia mengeraskan diri dari serangan musim, juga suasana kota yang memuram. Tinggal beberapa habitat tumbuhan keluarga Convolvulaceae seperti ubi kentang manis, kembang pagi, dam bindweeds yang membantu menjaganya dari kepunahan. Cukuplah yang ada di sekitarnya untuk bertahan hidup bagi makhluk mungil 7 mm itu sejauh tetumbuhan tidak ikut meranggas dan bersedih melayu, juga berbagi dengan kerabatnya yang telah jadi kusam.
Paskah baru saja berlalu. Ini baru pekan ketiga sesudah Paskah meski tidak semua umat mengingatnya. Pekan Suci lalu hanya serba sahaja. Malam vigilinya membunyikan lonceng sunyi ketika Gloria diangkat pastor. Cungkup lonceng terayun-ayun membentur batang besi tetapi tak ada seorang pun mendengarnya. Misdinar lelah bergantian menggoyangkan lonceng gemerincing di tangannya sepanjang Gloria mengalun, tapi mata beberapa umat mencari-cari suara. Mereka menerka-nerka pastor bicara apa. Hanya karena gerakan, mereka paham sampai mana ritus misanya. Umat yang tak tahan dengan ketuliannya sendiri merasa percuma berlama-lama di gereja. Ia mencermati setiap gerakan orang-orang di sekitarnya, lalu menyelinap pulang saat yang lain berusaha mendengar dengan keterbatasannya.
Rangkaian Pekan Suci semula hendak dijadikan sarana membangunkan umat, menghidupkan kembali kota yang tertidur dalam lelap panjang. Betapa kapela kecil itu rindu kehadiran orang-orang muda yang penuh semangat, anak-anak yang ceria bermain, dan remaja-remaja gembira bercanda di pelatarannya. Sekian waktu, kapela hanya terisi manula. Mereka berjalan tertatih dibantu tongkat kaki tiga, terengah-engah dalam napas tua, menekuri biji rosario sebelum Ekaristi, dan tidak kuat berdiri selama Bapa Kami. Jumlah umat nyaris tidak bertambah. Pertambahannya lamban, selamban jalan para opa oma.
Dari kapela, 3 novis bernyanyi sicut oculi servorum. Meski suara terbata-bata, jelas-jelas mereka melafalkan Sicut oculi servorum in manibus Dominorum suorum : ita oculi nostri ad Dominum Deum nostrum, donec misereatur nostri : miserere nobis Domine, miserere nobis. Terulang-ulang dalam ritme sama lambatnya dalam versi acapella.
Nyanyian tanpa iringan 30 tombol register organ pipa itu membangunkan kepik emas dan membuatnya murung. Ia teringat kembali ketika kota ini masih hijau, segar, dan asri. Ia membayangkan kembali ketika anak-anak bermain di taman dengan riuh, berlari-larian, bermain perosotan. Ibu mereka mengejarnya sambil menyodorkan mangkuk bubur. Ia merindukan bapak-bapak bersemangat bekerja, anak-anak bersekolah dengan gembira. Terbayang jalanan berseliweran kendaraan, truk towing melintas mengangkut mobil-mobil baru pesanan orang. Miserere nobis, Domine, miserere nobis, kasihani kami, Tuhan, kasihani kami.
Bayangannya buyar ketika dua orang asing berboncengan meledakkan diri di halaman kapela. Umat bubar seketika dalam kepanikan luar biasa. Mereka berlarian, tersandung-sandung, terpelanting dan tersungkur. Jerit parau bersahut-sahutan menyaksikan dua orang tercerai berai tubuhnya. Sepotong lengan di dekat pintu, satu tungkai di bawah palem, kepala menggelinding di bawah tangga kapela. Ada percikan api yang merambat ke kapela. Merambat dan makin cepat.
Nyanyian sicut oculi servorum kian menyayat dan menyeret-nyeret dalam aduh yang pedih. Api menjalar, girang memakan segala kayu-kayu tiang, penyangga-penyangga uzur, dan kain-kain penghias altar. Suara keretik-keretik api melahap bagian demi bagian mendekati altar.
Kepik emas tertegun. Ketika kerabat-kerabatnya telah lebih dulu terbang meninggalkannya, bermigrasi ke lain kota, ia belum juga mengembangkan sayapnya, terbang mengikuti kepik lainnya. Biarlah aku menjadi kepik emas terakhir yang menyaksikan kota ini menjadi abu, batinnya.
Oleh Lidwina Ika