Fr. Agustinus Budi Tjenggunawan
“PAGI, Bu Mar! Nasi kuningnya satu ya!” ucap Clara riang menyapa ibu penjual nasi kuning di depan gereja.
“Halo, Cantik! Siaap, sebentar ya… nih,” ujar Bu Mar tak kalah ceria seraya menyerahkan sebungkus nasi kuning.
“Uang pas ya Bu, makasih!” seru Clara sambil menyerahkan lembaran ungu yang masih mulus.
“Sama-sama!”
Bu Maryam, atau akrab dipanggil Bu Mar, adalah seorang perempuan paruh baya baik hati yang berjualan nasi kuning di trotoar depan gereja setiap hari Minggu. Nasi kuning Bu Maryam telah lama melegenda di kalangan misdinar, lektor, OMK, maupun umat paroki tersebut. Selain karena harganya yang murah, rasanya juga lezat. Bayangkan saja sekotak penuh nasi kuning ditambah irisan telur dadar, orek tempe, bihun, dan tiga buah ketimun hanya dijual sepuluh ribu, siapa sih yang tidak tergoda?
Hari itu adalah Hari Minggu Prapaskah kelima. Seperti layaknya misdinar di paroki mana pun, misdinar di paroki Clara pun tengah sibuk-sibuknya mempersiapkan diri untuk bertugas saat Pekan Suci nanti. “Ayo teman-teman, serius ya latihannya! Waktu kita semakin menipis!” begitu pesan Kak Anton setiap minggu, yang selalu terngiang-ngiang di telinga Clara. Maka pagi itu, seusai bertugas Misa kedua, seperti biasa Clara membeli nasi kuning Bu Mar. Gadis itu membutuhkan asupan yang banyak untuk latihan Tri Hari Suci hingga sore nanti, apalagi tadi pagi ia tidak sempat sarapan.
***
Satu minggu pun berlalu. Minggu Palma tiba, para pengurus misdinar semakin gencar mengingatkan jadwal latihan Tri Hari Suci. Kali ini Clara bertugas Misa pertama. Karena jarak rumahnya jauh, ia memutuskan menunggu saja di gereja hingga Misa kedua selesai. Sambil menunggu, ia pun melangkah ke depan gereja. Lagi-lagi perutnya lapar membayangkan kelezatan nasi kuning Bu Mar.
Namun, pagi itu berbeda dari biasanya. Lahan yang biasa dipakai Bu Mar berjualan, hari ini kosong melompong. Clara celingak-celinguk kebingungan. Kakinya menelusuri trotoar depan gereja, dari ujung ke ujung. Akan tetapi, dari deretan penjual bakpao sampai tukang soto, ia tetap tak melihat batang hidung Bu Mar. Menyerah, ia pun mengeluh tertahan sambil memutuskan bergabung ke antrean tukang batagor yang cukup panjang. Tentu saja antrean batagor lebih lama, karena harus dibuat dulu. Berbeda dengan nasi kuning yang sudah dibungkus rapi, tinggal diserahkan kepada pembeli.
Clara kembali ke halaman gereja dengan wajah terlipat. Batagor harganya dua belas ribu, porsinya sedikit pula. Tak cukup untuk memuaskan rasa laparnya. Dengan lesu ia menjatuhkan tubuhnya di sebuah kursi di dekat taman gereja, lalu mulai menghabiskan batagor itu.
Tak lama kemudian, Gita, yang juga habis bertugas misdinar tadi pagi, duduk di samping Clara sambil membawa sekantong siomay dengan wajah cemberut.
“Ra, Bu Mar ke mana sih?” tanya Gita begitu Clara menoleh ke arahnya.
“Enggak tahu tuh, kayaknya enggak jualan. Kan aku jadi mesti ngantre beli batagor,” jawab Clara.
“Sama, aku jadi beli siomay. Enggak kenyang nih, mestinya nasi kuning!” protes Gita.
“Ah, mungkin karena baru saja masuk bulan puasa, ya? Makanya Bu Mar tidak berjualan,” tebak Clara.
Gita hanya mengangkat bahu.
Kemudian mereka berdua terdiam murung sambil menghabiskan jajanan masing-masing, sementara lagu “Bapa Kami” mulai berkumandang dari dalam gedung gereja.
***
Hingga dua minggu setelahnya, masih belum terlihat tanda-tanda Bu Mar berjualan. Clara dan teman-temannya mulai gelisah. Jika Bu Mar memang berhenti berjualan, kesejahteraan perut umat paroki—terutama misdinar—bisa terancam. Jajanan lain memang banyak tersedia, tentu saja, tetapi nasi kuning Bu Mar sungguh tak tertandingi. Oleh karena itu, siang itu setelah selesai pertemuan, Clara dan beberapa temannya memutuskan mencari tahu lebih lanjut tentang absennya Bu Mar dari barisan penjual makanan di paroki mereka.
Setelah bertanya kesana-kemari, akhirnya mereka menemukan jawaban dari penjual minuman yang ternyata bertetangga dengan Bu Mar. Penjual minuman itu mengatakan bahwa Bu Mar sedang mengalami musibah. Tiga minggu lalu rumahnya mengalami kebakaran akibat korsleting listrik. Syukurlah Bu Mar sekeluarga selamat, tetapi untuk sementara waktu mereka harus mengungsi di rumah saudara yang jaraknya agak jauh sehingga Bu Mar tidak bisa berjualan di gereja. Mendengar berita itu, Clara dan kawan-kawannya segera menyusun suatu rencana di ruang rapat gereja.
“Bagaimana teman-teman, apa sebaiknya kita memberi bantuan?” tanya Clara membuka diskusi.
“Ayo kita bantu, selama ini Bu Mar kan banyak berjasa untuk kita,” usul Gita.
“Caranya gimana? Cari dana?” celetuk Dio.
“Boleh sih, tapi memangnya banyak yang mau nyumbang? APP kan sudah lewat,” tanya Hanes.
“Ya kan menolong orang enggak harus karena APP. Masa Prapaskah selesai bukan berarti berbuat baiknya selesai juga, dong!” kata Dio berargumen.
“Ya sudah, kita coba tanya pendapat Romo yuk,” ujar Clara memberi solusi.
Mereka pun pergi mengetuk pintu pastoran. Beruntung, romo paroki mereka sedang senggang sehingga dapat ditemui.
“Wah, ide bagus itu. Meskipun Bu Mar bukan beragama Katolik, tetapi dia juga sesama kita yang harus kita bantu. Saya setuju, silakan kalian menggalang dana. Nanti saya komunikasikan juga dengan PSE supaya mereka turut membantu,” kata Romo.
Singkat cerita, Clara dan teman-teman berjuang mengumpulkan dana dari hasil berjualan serta berbagai usaha kreatif lainnya. Sebulan kemudian, dana yang terkumpul dirasa sudah cukup banyak. Berbekal alamat dari penjual minuman kemarin, mereka bersama-sama mengunjungi kediaman sementara Bu Mar dan keluarga.
Hari itu hari Sabtu. Setelah nyasar beberapa kali, akhirnya Clara dan teman-temannya tiba di depan pintu rumah yang mereka tuju. Kebetulan saat itu hanya Bu Mar yang sedang ada di rumah. Anak-anaknya sedang les, sementara penghuni rumah yang lain pergi bekerja. Begitu mendengar ketukan di pintu, Bu Mar segera menjawab dan tak lama kemudian membukakan pintu.
“Eh…? Ternyata kalian. Ayo, masuk dulu! Kok bisa sampai ke sini?” ujar Bu Mar terkejut begitu melihat wajah-wajah yang cukup ia kenal.
Beberapa menit berlalu, Clara mewakili teman-temannya menyampaikan maksud kedatangan mereka dan memberikan sebuah amplop yang cukup tebal kepada Bu Mar. Sesaat Bu Mar terlihat ragu, matanya mulai berkaca-kaca.
“Ini… ini serius untuk saya?” tanyanya dengan suara parau.
“Iya Bu, supaya Ibu bisa ngontrak di sekitar rumah Ibu. Nanti tim dari gereja akan bantu untuk biaya bangun rumah Ibu,” kali ini Gita yang menjelaskan sambil tersenyum, juga mata yang ikut berkaca-kaca.
“Alhamdulillah, terima kasih ya Nak… Ibu enggak bisa balas apa-apa, biar Tuhan yang balas kebaikan hati kalian,” kata Bu Mar yang kini semakin tidak dapat mengendalikan tangisnya.
“Amin, Bu. Ibu yang tabah ya,” ucap Clara. Kemudian mereka semua memeluk tubuh Bu Mar yang tampak mungil jika dibandingkan dengan besar tubuh mereka.
Percakapan mereka berlanjut hingga beberapa menit setelahnya. Setelah itu, Clara dan teman-temannya berpamitan pulang.
Sebelum melangkah ke mobil, Clara menghampiri lagi Bu Mar sambil tersenyum-senyum.
“Kenapa, Nak? Ada yang tertinggal?” tanya Bu Mar.
“Bu Mar, nanti kalau sudah jualan lagi, harganya dinaikkan saja, ya. Enggak apa-apa kok. Eh, tapi naiknya sedikit saja, Bu,” gurau Clara.
Bu Mar tertawa kecil dan mengangguk, sambil sekali lagi mengusap pelupuk matanya penuh haru.
Oleh Fr. Agustinus Budi Tjenggunawan
HIDUP, Edisi No.20, Tahun Ke-77, Minggu, 14 Mei 2023