HIDUPKATOLIK.COM – RAPAT warga RT02 masih berlangsung. Terdengar suara datar bertempo cepat Pak Pol, sekretaris RT menyampaikan data detil kesepakatan warga,“Kesepakatan tentang parkir mobil milik warga sudah terjadi pada zaman Pak RT Ahmad, tahun 2018. …..,”
“Cukup Pak Sekjen!” potong Pak RT.
“Cukup Pak Sekjen!” ulang Pak Pol.
Tepuk tangan membahana.
“Pak Sekjen top!” seru Pak Asraf sambil mengacungkan jempol.
“Pak Sekjen top!” ulang Pak Pol, panggilan akrab Pak Paulinus Yudistira.
“Belum ada sekjen di RW kita yang punya daya ingat fotografis seperti Pak Sekjen!” timpal Pak Zaenuddin..
Pak Pol mengulangi ujaran Pak Zaenuddin dua kali.
Pak Paulinus Yudistira adalah penyandang gangguan Autism Spectrum Disorder (ASD), dengan kelebihan memiliki kemampuan mengingat data secara luar biasa, bahkan boleh disebut ber-“ingatan fotografis”. Saat Pak Maulana, yang sering ditokohkan di RW, terpilih menjadi Ketua RT02, ia memilih Pak Pol sebagai sekretarisnya. Tanpa ragu. Apakah warga RT02 ada yang meragukan? Tidak! Mereka merasa yakin, meski memiliki kekurangan, Pak Pol adalah tetangga yang tak pernah marah, pendengar jempolan, tulus, dan tak punya “musuh”. Mereka memaklumi Pak Pol, yang bersuara senantiasa datar, mengulang ujaran lawan bicara, tanpa memandang mata. Warga RT02 menyayangi Pak Pol.
Semenjak jadi sekretaris RT Pak Pol rajin berkunjung ke warga. Update data, jangan tanya!
Warga juga bertepuk tangan, saat setiap mengakhiri rapat RT, Pak Pol menutupnya dengan kalimat yang ia ulang 3 kali,”Mari kita saling mengasihi sesama tetangga, seperti kita mengasihi diri sendiri!” Tak ada yang menyebutnya sebagai “kristenisasi”. Warga RT02 sungguh menyayangi Pak Pol.
Suatu ketika, Pak Maulana diajak Pak Maulana RT untuk rapat RW. Mereka yang belum kenal, biasanya melakukan “bisikan ejek” saat melihat wajah Pak Pol yang datar, dengan tatapan yang tak fokus. Situasi tersebut dibiarkan oleh Pak RT Maulana. Saat giliran RT-nya menyampaikan laporan,… “Ssst, Pak Sekjen,”bisik Pak Maulana,”Perkenalkan diri lebih dahulu!”
“Saya, Paulinus Yudistira, boleh dipanggil Pak Pol atau Pak Sekjen!” tutur datar Pak Pol. “Saya mengalami gangguan Autism Spectrum Disorder, atau disingkat ASD. Autisme bukanlah penyakit, melainkan kondisi di mana otak bekerja dengan cara yang berbeda dari orang normal. Warga RT02 meminta saya menjadi sekjen RT. Demikian! Demikian. Demikian!”
Hening di pendopo RW. Lalu… Pak RW mengajak pengurus RW dan RT bertepuk tangan. Apalagi saat Pak Pol menyampaikan laporan data update, secara sangat rinci, meski disampaikan dengan intonasi datar…..tepuk tangan kembali membahana.
Tak heran, pada rapat-rapat RW berikutnya, konyolnya, bermodalkan ujaran “Dear Pak Sekjen…”, nyaris hampir semua sekretaris RT “menumpang menyimpan data” di benak Pak Pol, agar saat mereka mendapat giliran menyampaikan laporan, mereka mendapatkan konfirmasi akurat dari Pak Pol.
Dua bulan sebelum Paskah, Bu Lidwina mulai rutin mengikuti latihan paduan suara wilayah. Wilayah mereka mendapat tugas pada Misa Vigili Paskah pertama. Saat hendak berangkat latihan kesekian, ketika pamit, Pak Pol sudah berpakaian rapi.
“Lho, Mas, biar aku sendiri aja!”
“Aku mau temani, Dik. Temani. Temani!”
Di rumah Pak Ambros, mereka disambut hangat, apalagi tumben, Bu Lidwina “diantar suami”. “Waah, Bu Lid lagi manja, minta diantar Pak Sekjen!”
Latihan dimulai, Pak Pol duduk di belakang. Pak Sihol, sang dirigen, sangat detil dalam mengharmoniskan paduan suara. “Catatan untuk Lagu Hallelujah Hendel,” ujar beliau di penghujung latihan. “Untuk sopran, pada bagian ‘..and Lords of Lords..saat nada mi tinggi menuju fa, tetap jaga, jangan sampai memakai suara depan. Akan terdengar berteriak nanti! Bass tetap dijaga kekhasannya sebagai pondasi. Tenor, hayoo, pada bagian ‘..and He shall reign’ perhatikan tempo..”
Gemuruh tertawa, menertawakan diri sendiri.
“Buat semua, ingat! Ini bukan keras-kerasan, tapi harmoni, maka sambil nyanyi, tetap dengarkan suara kelompok lain!” tutup Pak Sihol.
Pada latihan berikutnya, sebelum latihan dimulai, pesan Pak Sihol diulang, persis, oleh Pak Pol yang kembali mengantar istrinya. “…tetap dengarkan suara kelompok lain…!” ulangnya dua kali. Sejak itu, semua catatan Pak Sihol di akhir latihan, diulang persis oleh Pak Pol. Pak Sekjen Pol, pun jadi maskot paduan suara tersebut. Pada saat Misa Vigili Paskah, Romo memuji paudan suara tersebut..
Kehidupan warga RT 02 berlangsung hangat, … hingga ada kejadian pada suatu malam, di sebuah rumah di RT02, yang baru seminggu dimasuki oleh pengontrak. Suara teriakan.
“Apa-apaan ini!”teriak Pak Zain, si pengontrak. “Kamu keluar dari rumah saya!! Saya baru seminggu pindah, didatangi oleh orang sekonyol kamu! Keluar! Kalau petugas sensus datang, jangan malam-malam dong. Gak pakai surat tugas pula!”
“Saya bukan petugas sensus Pak!” jawab Pak Pol datar. “Saya bukan petugas sensus…”
“Kamu saya laporkan ke polisi ya!! Kamu keluar!” teriak Pak Zain.
“Kamu keluar! Kamu keluar!” ulang Pak Pol sambil berbalik. Ia keluar dari rumah Pak Zen dengan kedua tangannya melakukan gerakan mengibas ke sana ke mari.
Para tetangga mulai mengerubungi TKP. Mereka berupaya melindungi Pak Pol.
“Pak, bapak orang baru di sini!” tegur Bu Syarifah. “Belum kenalan dengan tetangga kanan kiri, marahnya diduluin!”
“Itu urusan saya! Orang itu datang nyelonong ke rumah. Nanya-nanya, boro boro ramah, kalo ngomong gak liat ke orang maka saya usir! Ini rumah saya!” pekik Pak Zein.
“Tuu, pindah gak kenal Sekretaris RT,”teriak Bu Dewi.
Kerumunan warga yang melindungi Pak Pol pun menjauh dari rumah Pak Zein yang masuk rumah sambil membanting pintu. “Bruaak!”
Ponsel Pak Pol berbunyi saat ia masih syok di tengah warga. Telepon dari Pak RT.
“Dear Pak Sekjen!” suara Pak Maulana RT yang di-speaker oleh Pak Pol terdengar lembut perlahan. “Saya minta maaf ya …karena menugaskan Pak Sekjen menemui tetangga baru itu. Habis sudah seminggu tinggal, belum kunjung lapor. Mestinya saya lebih sabar, menunggu saya pulang dari luar kota, dan kita mendatangi tetangga baru tersebut berdua. Sampai ada kejadian gak enak seperti barusan. Saya minta maaf ya pak Sekjen. Juga para warga RT02…”
“Saya minta maaf ya Pak Sekjen, juga para warga RT02. Saya minta maaf ya Pak Sekjen, juga para warga RT02…”ulang Pak Pol.
“Maas Pol, ada apaaa…,” seru Bu Lidwina yang baru pulang dari mengajar kursus di kelurahan. Wajahnya tampak sedih. Ia menghampiri suaminya di tengah kerumunan warga. Bu Lidwina segera menggandeng suaminya dan berjalan cepat berdua…pulang.
Di rumah. “Peluk aku Dik. Peluk aku Dik!” pinta Pak Pol dengan kedua tangan menggapai-gapai udara.
“Aku peluk, Mas! Sini. Aku peluk!” balas Bu Lidwina sambil menahan air mata.
“Aku peluk, Mas. Sini. Aku peluk…” ulang Pak Pol.
Bu Lidwina tahu betul, penderita ASD yang tengah mengalami peristiwa ekstrim membutuhkan pelukan. Pelukan cinta. Cintanya kepada Pak Pol yang pertama ia kenal saat sedang mengajar anak-anak berkebutuhan khusus di SLB-nya.
Saat Pak Maulana pulang dari luar kota, ia langsung mengajak Pak Pol ke rumah Pak Zein. Warga baru RT02 pun memilih memeluk lutut Pak Pol saat mengetahui kesalahannya. Pak Maulana mencegahnya. Ia khawatir Pak Pol syok lagi. Di kemudian hari, malah Pak Zein yang sering berkunjung ke Pak Pol, dan curhat habis-habisan di sana. Pak Zein yang sangat emosional itu ternyata punya banyak masalah keuangan, maka ia memilih untuk mengontrak rumah berpindah-pindah.
Malam itu, seusai rapat RW untuk menjadi saksi terhadap seorang pencuri yang tertangkap basah di wilayah RW tersebut, Pak Pol pulang dengan gerakan-gerakan mengibas-ngibas di udara. Ia pulang diantar Pak RT. Bu Lidwina segera memeluk lama suaminya.
“Aku takut pencuri dipukuli tadi. Aku takut pencuri dipukuli tadi. Sebagai saksi, aku salah kalau dia dipukuli. Sebagai saksi aku salah kalau dia dipukuli…”kalimat tersebut diulangnya berkali-kali. Bu Lidwina mempererat pelukannya.
Setelah tenang, makan malam, dan leyeh-leyeh di depan teve, Pak Pol mengajak Bu Lidwina masuk kamar, lalu ia menjulurkan kedua tangannya minta dipeluk.
“Sini Mas, aku peluk lagi!” balas Bu Lidwina.
Mereka berpelukan.
“Lah, jangan cuma peluk, Dik!”
“Kata Mas, pelukanku selalu bikin adem!”
“Iya, Dik, tapi sekarang jangan cuma peluk!”
“Ya ampun, Dear Pak Sekjeeen!” canda Bu Lidwina setelah menyadari sesuatu, “Besok ya, malam ini aku capek!”
“Malam ini aku capek. Malam ini aku capek. Ya, Dik!” tutup Pak Pol sambil mematikan lampu kamar.
Oleh Aloisius Eko
HIDUP, Edisi No. 16, Tahun ke-77, Minggu, 16 April 2023