web page hit counter
Senin, 23 Desember 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Paskah, Natal, Isra Miraj dan Misteri Adikodrati

3/5 - (2 votes)

HIDUPKATOLIK.COM – Ratusan orang Indonesia yang terdiri dari para somo, ruster, mahasiswa dan pekerja di Kota Roma, Italia, Minggu, 29 April 2023 kemarin, berkumpul dan berdiaspora dalam perayaan pesta Paskah Bersama. Acara diadakan di Rumah Kongegrasi Societas Verbi Divini (SVD) di Via Dei Verbiti. Acara itu diselenggarakan oleh Ikatan Rohaniawan-Rohaniawati Indonesia di Kota Abadi (IRRIKA), didukung oleh Kedutaan Besar Republik Indonesia Untuk Tahta Suci Vatikan (KBRI-TSV).

Deni Iskandar berfoto bersama serdadu Swiss, penjaga Kota Vatikan.

IRRIKA merupakan sebuah organisasi atau paguyuban yang beranggotakan para romo, suster, biarawan-biarawati Indonesia, baik yang berkarya secara administratif di ordo mereka masing-masing, maupun yang tengah menempuh berbagai jenjang pendidikan lanjutan di Kota Abadi, Roma, Italia. Ada pula sebuah perhimpunan lain adalah OIKUMENE Italia yang merupakan wadah permimpunan masyarakat awam Katolik dan berbagai denominasi Protestan di Kota Roma.

IRRIKA bertalian erat dengan KBRI-TSV yang masyarakatnya terdiri dari para romo, bruder, dan suster asal Indonesia. Sedangkan OIKUMENE berkaitan erat dengan Kedutaan Besar Republik Indonesia untuk Italia, yang masyarakatnya terdiri dari kaum awam berbagai agama asal Indonesia. Setiap tahun IRRIKA melakukan kegiatan Paskah dan Natal Bersama dalam bentuk perayaan liturgi dan pesta, sebagai ajang silaturahmi atau perjumpaan orang-orang Indonesia di Kota Roma. Biasanya kedua perayaan bersama itu bukan saja dihadiri oleh umat Katolik, melainkan umat berbagai agama, terutama umat Islam. Hal yang sama terjadi juga pada Paskah Bersama tahun 2023 ini.

Paskah, Natal, Isra Miraj dan Misteri Adikodrati

Dalam perspektif iman Gereja Katolik, Paskah merupakan sebuah tradisi Gereja yang dirayakan setahun sekali. Paskah memiliki makna dan nilai historis-teologis yang merujuk pada ingatan kolektif umat Katolik tentang perjalanan sengsara, wafat dan kebangkitan Yesus yang bersumber pada Alkitab dan dogma-dogma terkait. Paskah juga merupakan sebuah peristiwa iman umat Kristiani yang menjadi landasan keberimanan umat Kristiani akan kuasa ilahi di dalam diri Yesus Kristus yang menang atas maut, sekaligus membawa nilai-nilai kehidupan lain seperti tanda kemenangan kehidupan manusia atas kematian, harapan akan kebangkitan pada hari kiamat, dan supremasi pengampunan atas dendam dan kebencian.

Nilai-nilai Paskah ini menjadi terang kuat yang melandasi dan menginspirasi berbagai pengajaran Gereja Katolik. Tentu semuanya berangkat dari kesaksian utama di dalam Kitab Suci Deutro Canonica (Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru) dan Ajaran-ajaran Magisterium Gereja, baik dokumen-dokumen Pra-konsili Vatikan II, keenambelas Dokumen resmi Konsili Vatikan II, maupun pasca-Konsili. Semua pengajaran resmi ini dikenal sebagai dogma yang keluar dari para Paus sepanjang sejarah sebagai penerus Rasul Santo Petrus, Paus pertama di dalam Gereja Katolik, yang adalah salah satu dari keduabeleas rasul Yesus.

Artinya, di dalam Gereja Katolik, Kitab Suci Deutro Canonica, ajaran Gereja, dan tradisi Gereja ini dijadikan sebagai sumber rujukan atau pedoman dasar iman umat Katolik di seluruh dunia. Begitu juga dengan perayaan Paskah yang dirayakan di penghujung Masa Puasa yang berlangsung selama empatpuluh hari. Momentum ini dirayakan secara serentak diseluruh dunia sebagai sebuah peristiwa agung yang isinya meneguhkan spirit kasih, keimanan dan harapan. Oleh karena itu, tidak berlebihan rasanya, bila saya menyebut bahwa Paskah di dalam Gereja Katolik dipahami sebagai persitiwa penting dan bernilai di samping Natal. Kedua peristiwa ini memiliki makna besar dan kuat di dalam Gereja Katolik.

Selain berkaitan dengan peneguhan iman, makna Paskah juga sangat berkaitan erat dengan ‘rekonstruksi’ ingatan kolektif umat Katolik dalam kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara. Berkaitan dengan ini, saya boleh mengatakan bahwa Paskah memiliki dua artikulasi nilai, yakni nilai eksoterik (lahiriah) dan nilai esoterik (ruhaniah). Hal ini menunjukan bahwa agama dan iman bukan saja merupakan perkara Surga, melainkan berkaitan dengan kehidupan nyata, kini dan di sini-nya manusia. Dimensi vertikal dan horisontal Paskah nampak kental, ibarat Salib yang juga memiliki bagian vertikal yang melambangkan keterkaitan erat antara Tuhan dan manusia, dan juga bagian horisontal yang melambangkan relasi penuh kasih antar sesama manusia.

Dalam pandangan Gereja Katolik atau umat Kristiani pada umumnya, peristiwa penyaliban Yesus yang mendahului kematian dan kebangkitan-Nya dimaknai sebagai sebuah proses dan sejarah keselamatan melalui penebusan doa umat manusia oleh karena kehendak Allah. Di sini konsep teologis tentang pengorbanan dan keselamatan yang menjadi sebuah fenomen universal di dalam berbagai agama terlihat jelas. Itulah sebabnya, ketika Yesus dibawa ke alun-alun di Yerusalem untuk diadili oleh karena tuduhan penistaan agama, Imam Agung Kayfas berkata: “Adalah lebih berguna jika satu orang mati untuk seluruh bangsa” (Injil Yohanes 18:14).

Baca Juga:  Uskup Pangkalpinang, Mgr. Adrianus Sunarko, OFM: Membawa Salam Damai

Setelah Yesus, juga sebagian besar murid-Nya mengalami pengejaran, penganiayaan dan diskriminasi, bahkan mati karena disalibkan. Mereka semua disebut sebagai para martir dengan nilai ketokoan di dalam bidang rohani yang sangat tinggi dan dijadikan model serta pendoa di dalam Gereja Katolik. Sejarah penderitaan dan kemartiran ini berlanjut hingga pada masa-masa awak kekristenan di Asia kecil hingga ke kota Roma sendiri pada awal-awal abad masehi. Kota Roma menyimpan sejuta cerita tentang penganiayaan dan pengejaran umat Kristiani perdana oleh karena dianggap sebagai kekuatan politik yang membahayakan status quo pemerintahan Romawi kuno.

Kebanyakan orang tentu mengenal cerita kambing hitam dari Kaisar Nero pada awal-awal abad Masehi. Nero membakar kota Roma dan menuduh umat Kristiani sebagai pelaku. Kemudian dijadikan sebagai tuduhan kolektip terhadap umat Kristiani dan dijadikan alasan besar untuk membunuh semua umat Kristiani. Roma memilik banyak ruang bawah tanah yang disebut dengan Katakombe, yang adalah tempat persembunyian umat Kristiani perdana.

Sampai hari ini katakombe-katakombe itu masih ada sebagai saksi sejarah kelam Kekristenan abad-abad perdana hingga muncul Kaisar Konstantinus pada abad ke-4 Masehi yang mengalami hidayah dan memeluk agama Kristiani. Dibawah Kaisar Konstaninus agama Kristiani mulai bertumbuh pesat dan berkembang serta ikut membesarkan Kekaiseran Roma hingga agama ini menyebar pesat ke seluruh dunia hingga hari ini. Demikian cerita Romo Leo Mali kepada penulis.

Dalam perspektif Paskah, umat Katolik merayakan kemenangan Tuhan Yesus atas segala kejahatan manusia yang dialami-Nya selama hidup-Nya di Israel bersama kedua belas rasul-Nya. Artinya Tuhan umat Katolik adalah Tuhan yang hidup, bukan Tuhan atas kematian. Dia adalah Tuhan Mahakasih dan Mahapengampun, bukan berpihak pada kebencian, dendam dan kekerasan. Ajaran ini dimanifestasikan di dalam kehidupan mereka. Kasih, pengharapan dan pengampunan mengambil bagian sentral di dalam hidup mereka. Seluruh ajaran dan kesaksian hidup Yesus mereka simpulkan di dalam tiga jenis kebajikan utama yakni iman, harap dan kasih.

Dalam tradisi Islam, bisa jadi peristiwa ‘kebangkitan’ Yesus dari alam maut ini, secara konseptual disebut sebagai peristiwa “Khawariqul ‘Adat”. Secara umum, istilah “Khawariqul ‘Adat” ini adalah peristiwa luar biasa yang terjadi pada diri manusia, dan peristiwa ini sangat sulit dipahami oleh nalar umat manusia, dan bersifat misteri. Selanjutnya, peristiwa ini juga tidak umum terjadi dan tidak dialami oleh setiap orang.

Adapun yang bisa menerima peristiwa “Khawariqul ‘Adat” ini hanyalah orang-orang pilihan seperti para nabi dan para rasul. Selanjutnya kejadian adikodrati tersebut hanya akan dialami selama satu kali saja. Contohnya, peristiwa “Khawariqul ‘Adat” dalam tradisi Islam yang notabene diriwayatkan juga di dalam Kitab Keluaran umat Kristiani, yakni pembelahan Laut Merah oleh nabi Musa dengan sebatang tongkat saat dikejar-kejar oleh Fir’aun. Peristiwa yang sama juga terjadi pada nabi Nuh yang bisa membaca tanda zaman, dimana ia bersama umatnya membuat perahu di atas gunung pada saat musim kemarau, dan setelah perahu itu selesai, datanglah banjir bandang yang menghanyutkan semua orang. Kisah ini pun tertulis di dalam Alkitab.

Persitiwa yang sama juga dialami oleh Nabi Muhammad SAW saat Isra Mi’raj (perjalanan dari al-haram ke al-aqso, dalam waktu satu malam). Hasil dari peristiwa Isra Mi’raj itu, Nabi Muhammad menyerukan kepada umatnya agar menjalankan solat 5 waktu, padahal sebelumnya praktik solat yang dilakukan oleh umat Islam adalah 50 waktu.

Peristiwa-peristiwa luar biasa yang disebutkan di atas itu sangat sulit dipahami oleh rasio dan itu bisa disebut irasional (di luar nalar). Baik peristiwa saat Musa membelah laut dengan sebatang tongkat, peristiwa nabi Nuh membuat perahu di atas gunung, Muhammad SAW melakukan Isra Mi’raj hingga peristiwa ‘Kebangkitan Tuhan’ yang di manifestasikan dalam pribadi Yesus setelah wafat di kayu salib; semuanya masuk dalam ranah iman yang tidak membutuhkan penjelasan akal manusia.

Rasio bisa mencoba menjelaskan iman, tetapi selalu ada batasnya. Iman di pihak lain berkaitan dengan hal-hal ghaib dan transendental yang tidak mudah dipahami. Iman membutuhkan keterbukaan hati untuk menerima dan meyakininya oleh karena kepatuhan dan kepasrahan pada kuasa Ilahi. Ternyata peristiwa di luar nalar (irasional) manusia itu memiliki pesan simbolik penuh nuansa rohani yang harus dimaknai oleh umat manusia di muka bumi ini. Di antaranya, bahwa ada fakta kekuatan supranatural atau kekuatan yang maha besar di luar kendali umat manusia. Kekuatan ini tidak dapat dijangkau dan tidak bisa dipikirkan oleh manusia yang penuh dengan keterbatasan ini. Umat Islam dan umat Kristiani memiliki keyakinan yang sama tentang hal ini.

Baca Juga:  Ketua Yayasan Brayat Minulya Sr. M. Carola Sugiyanti, OSF: 75 Tahun RS Brayat Minulya Surakarta: Dalam Pelukan Keluarga Kudus

Di dalam agama Kristiani, bukan saja persitiwa ‘Kebangkitan’ Yesus (Paskah) yang bersifat supranatural. Natal yang adalah peristiwa kelahiran Yesus, juga memiliki karakter adikodrati yang sama. Dia lahir di palungan hina tetapi sekaligus dinobatkan oleh Allah sebagai PuteraNya sesuai nubuat para nabi Perjanjuan Lama. Secara umum, konsep kelahiran manusia setelah Adam dan Siti Hawa, selalu terjadi dari hasil persetubuhan antara laki-laki dan perempuan. Ini adalah rangkaian dari hukum kehidupan, dan agama mengamini hukum kehidupan itu sebagai sebuah anugerah yang datang dari Tuhan. Sekaligus segala yang tidak masuk akal pun merupakan anugerah dari Tuhan. Di dalam kacamata iman kita melihat kedua-duanya sebagai hukum atau ketetapan Tuhan.

Di dalam konteks ini, bisa dikatakan bahwa peristiwa kelahiran Yesus secara biologis yang terjadi dalam situasi dan kondisi luar biasa itu juga terjadi di luar kebiasaan dan jangkauan nalar manusia. Hal ini tidak terlepas dari pada hukum dan ketetapan Tuhan dalam menjelaskan kehadiran-Nya kepada umat manusia agar mereka paham. Tuhan ingin mengatakan kepada manusia bahwa Dia selalu ada di antara mereka dan turut merasakan setiap suka dan duka hidup mereka.

Dalam pandangan Gereja Katolik, Prof. Thomas Joseph White, OP menjelaskan bahwa, Firman (Logos) adalah Tuhan sendiri yang bersifat kekal, abadi, hidup dan bersatu secara adikodrati dengan kehadiran Yesus di dunia. Yesus sebagai manusia, lahir di luar hukum kebiasaan dan Gereja Katolik sungguh meyakini hal tersebut. Tuhan yang disebut Allah Bapa adalah Maha Kuasa yang bisa melakukan apa saja, sekalipun manusia tidak bisa memahaminya, selain harus mengimani.

Lebih lanjut, Joseph White menjelaskan bahwa Yesus dilahirkan ke dunia tidak di dasarkan pada hukuman biologis atau persetubuhan antara laki-laki dan perempuan pada umumnya. Ia (Yesus) diciptakan dari Firman (Logos) seperti yang dikisahkan di dalam Injil Yohanes (Pasal 1). Tuhan berkarya dalam bentuk ruh yang kudus (Holy Spirit) di dalam rahim Maria yang pada saat itu seorang gadis (perawan). Oleh karenanya, bisa disimpulkan bahwa, kelahiran Yesus ke dunia ini bukan hanya sebuah peristiwa kelahiran seorang manusia biasa, akan tetapi merupakan perwujudan firman Tuhan yang kekal, abadi, dan hidup dalam wujud manusia.

Oleh karena itu, Gereja Katolik memaknai peristiwa Paskah atau ‘Kebangkitan’ ini juga secara antitesis sebagai peristiwa kekalahan segala bentuk kejahatan manusia oleh karena keangkuhan, egoisme, perasaan paling berkuasa, paling benar, paling jago, karena kemunafikan dan bahkan merasa diri sebagai Tuhan di muka bumi ini. Padahal secara hakikat, manusia yang hidup di kolong langit (bumi) ini, bukan-lah apa-apa dan bukan siapa-siapa. Dia ibarat sebatang rumput yang hari ini ada, besok sudah hilang dibawa oleh badai.

Konsepsi terkait Firman (Logos) Tuhan yang kekal, abadi dan hidup diakui juga di dalam tradisi Islam. Peristiwa Isra Mi’raj yang dialami oleh Muhammad itu adalah peristiwa puncak dari segala peristiwa yang terjadi dalam keberlangsungan peradaban umat manusia, yang sifatnya kekal, abadi, hidup sekaligus menjelma menjadi sebuah hukum. Dimana peristiwa Isra Mi’raj yang dialami oleh Muhammad ini adalah perpaduan antara Asma (Nama) Sifat (karakter ilahi) dan Af’al (tindakan) Tuhan yang menuntun Muhammad sebagai seorang ‘Abdun’ (hamba) untuk kemudian disampaikan kepada seluruh umat manusia di muka bumi ini.

Paskah IRRIKA 2023

Pesta Paskah 2023 yang diselenggarakan tanggal 30 April 2023 lalu, bagi saya sangatlah mempunyai arti dan bermakna tertentu. Sebab, dalam Pesta tersebut, semua orang yang hadir adalah orang Indonesia. Tentu saja, saya merasa bangga bisa bertemu dengan ratusan orang Indonesia dari berbagai latar belakang suku, budaya dan agama yang berbeda, tanpa mempermasalahkan sedikit pun perbedaan yang ada. Sebaliknya, yang dibicarakan oleh orang-orang Indonesia di kota Roma adalah tentang pentingnya hidup bersama dan pentingnya menjaga kedaulatan, kedamaian dan kerukunan sebagai putera-puteri bangsa dan negara di negeri orang.

Kesadaran yang dewasa itu terlihat dari cara sambutan yang diberikan oleh seorang romo bernama Markus Solo Kewuta, SVD. Ia mengatakan bahwa, “Prinsip-prinsip dasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ini, yang harus terus disuarakan adalah tentang pentingnya hidup bersama (Living Together). Salah satu elemen yang bisa menunjang kehidupan bersama yang rukun, damai, dan penuh suka cita itu adalah makan bersama”.

Baca Juga:  Uskup Pangkalpinang, Mgr. Adrianus Sunarko, OFM: Membawa Salam Damai

 

Pastor Markus Solo Kewuta, SVD dengan latar-belakang Rumah Keluarga Abraham di Abu Dhabi. (Foto: Dokpri)

Lanjutnya, “Kita dalam konteks Indonesia ini punya budaya tentang makan bersama sebagai salah satu bentuk silaturahmi (budaya perjumpaan), termasuk yang hari ini kita lakukan (Pesta Paskah). Ini perlu kita kembangkan dan kita jaga”.

Katanya lagi, kegiatan yang diselenggarakan oleh IRRIKA ini adalah sarana untuk mewujudkan budaya silaturahmi yang sudah tertanam di dalam darah dan daging Republik Indonesia.

Pada konteks ini, saya sepakat dengan pemikiran Romo Markus Solo di atas yang saat ini menjabat sebagai salah satu Official dan Vice President Yayasan Nostra Aetate pada Dicastery for Interreligious Dialogue di Takhta Suci Vatican. Bahwa ‘Hidup Bersama’ adalah kunci dan spirit penting bagi umat manusia di Indonesia untuk bisa mewujudkan kemajuan bangsa dan negara secara bersama. Di mana mulai dihidupkan budaya tembok, di sana umat manusia terpecah belah dan tentu tidak bisa bekerjasama untuk kemajuan bersama.

Paus Fransiskus selalu berbicara tentang pemajuan budaya jembatan, dan bukan budaya tembok. Budaya silahturahmi adalah salah satu cara handal untuk memajukan budaya jembatan ini. Bukan saja antarumat segama dan seiman, tetapi juga lintas iman dan agama. Kerukunan hidup bersama juga bisa dijadikan barometer yang mengukur makmur tidaknya dan sehat tidaknya sebuah masyarakat. Demikian pernah dikatakan Paus Fransiskus dalam sebuah kesempatan.

Saya yakin, jika konsep ‘Hidup Bersama’ ini sudah menjadi spirit dan budaya dalam berbangsa dan bernegara, maka bangsa kita akan bisa naik level dari predikat ‘Annas’ dan ‘Basar’ menjadi ‘Insan’ (Manusia sempurna dalam nuansa kolektip) yang mampu menjalankan visi kebanian dan ketuhanan. Sejatinya, kualitas ‘Insan’ itu adalah kemampuan manusia dalam melihat manusia lain sebagai ciptaan dan bukan sebagai musuh atau saingan. Sebagai sesama ciptaan, bisa dikatakan bahwa semua manusia adalah saudara dan saudari dari keterciptaannya, yang sama-sama rapuh dan satu dalam berbagai nasib sebagai ciptaan.

Dalam agama-agama abrahamic (Monoteisme) seperti Islam maupun Kristiani, dalam hal ini Gereja Katolik, konsep Hidup Bersama ini secara eksplisit dan normatif tertera dan tertulis dalam Alkitab. Islam dalam Al-quran misalnya, bicara soal pentingnya konsep saling mengenal di antara satu bangsa dan satu suku. Sebaliknya, dalam Gereja Katolik, spirit umat manusia untuk hidup berdampingan dan saling tolong menolong itu juga disinggung dalam berbagai bentuk dan versi di dalam Bible (Alkitab).

Pada konteks Ke-Indonesia-an, kualitas ‘Insan’ ini adalah konsep bangsa yang dewasa dalam berpikir, bertindak dan juga bernegara. Manusia dengan kualitas ‘Insan’ itu mampu memaknai dan bersifat bijaksana. Sebab, agama hadir ke dunia ini sebagai petunjuk jalan, umat manusia untuk memiliki kehidupan yang tebih terarah dan teratur di dalam relasi dengan Tuhan dan sesama. Semua yang ada dan tercipta, tidak lepas dari ‘Kalamu Allah’ atau ‘Logos’ (firman) Tuhan yang sejatinya menjelma menjadi prinsip-prinsip hukum kehidupan.

Dunia dan seisinya ini adalah gumpalan dari Asma (Nama ilahi), Sifat (karakter ilahi) dan Af’al (tindakan ilahi) Tuhan yang esa. Dengan demikian, jika misalnya bangsa ini tidak bisa melihat manusia sebagai ciptaan, maka bangsa ini akan menjadi bangsa yang ‘urakan’ yang mudah menilai orang lain salah, sesat, wajib dijajah, dan akhirnya berpuncak pada kehancuran kehidupan bersama. Misalnya, pembuatan sebuah patung sebagai ekspresi seni dan budaya atau bentuk penyaluran iman memiliki proses yang panjang dan melelahkan. Patung mempunyai nilai seni karena manusia bisa memaksimalkan pikiran dan kreativitasnya yang juga diberikan oleh Tuhan. Mengakhiri tulisan yang sporadis ini, saya ingin mengatakan bahwa “jangan pernah lelah mencintai dan menjaga Indonesia, dan kibarkan selalu Merah Putih”. Agama apapun di bumi Nusantara tidak pernah lepas tangan dari Indonesia. Sebaliknya selalu memiliki rasa cinta yang besar terhadap bangsa dan negara ini. Saya sendiri menyaksikannya dalam perayaan Paskah bersama umat Katolik di Kota Abadi, Roma, Italia. Wasalam

Deni Iskandar
Alumni UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta 2019/
Peraih beasiswa di Student of Nostra Aetate Foundation, Vatican 2023

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles