web page hit counter
Sabtu, 21 Desember 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Tampil Memberi Solusi

5/5 - (2 votes)

HIDUPKATOLIK.COM – BAGI sebagian besar umat beragama di Indonesia, moderasi beragama sudah tak asing lagi terdengar di telinga mereka. Mengapa? Karena istilah ini dicetuskan pertama kali oleh Lukman Hakim Saifuddin pada tahun 2019. Kala itu ia masih menjabat sebagai menteri agama, menapaki tahun terakhir sejak memulai masa jabatannya pada tahun 2014. Pencetusan istilah ini bertepatan dengan pencanangan Tahun Moderasi Beragama Kementerian Agama. Pada saat yang sama, Perserikatan Bangsa-Bangsa menetapkan Tahun Moderasi Internasional.

Apa yang telah dicetuskannya pun berlanjut. Dibawah kepemimpinan menteri agama saat ini, Yaqut Cholil Qoumas, moderasi beragama masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Oleh karena itu, gerakan moderasi beragama mulai digalakkan sejak 2020.

Belum lama ini, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Katolik (Ditjen Bimas Katolik) Kementerian Agama menyelenggarakan kegiatan “Orientasi Pelopor Penguatan Moderasi Beragama Bagi Penyuluh Agama Katolik PNS” pada 28-31 Maret 2023 di sebuah hotel di Surabaya, Jawa Timur. Lebih dari 30 penyuluh agama Katolik PNS dan TNI/POLRI dari sembilan provinsi yang ada di Pulau Jawa, Pulau Sulawesi, Pulau Papua, dan Kepulauan Maluku menghadiri kegiatan bertema “Kerukunan Umat Beragama untuk Indonesia Hebat” tersebut. Hadir pula perwakilan Pemuda Katolik dan Majalah HIDUP.

Peserta mengikuti setiap sesi dengan beragam materi yang dipaparkan oleh Tim Kelompok Kerja Moderasi Beragama. Tim ini beranggotakan tiga orang, yakni Casmini dan Dede Dwi Kuniasih, keduanya dari UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, serta Nur Hadi dari Universitas Nahdlatul Ulama Surakarta.

Beberapa materi yang disampaikan antara lain udar asumsi dan bangun perspektif, sketsa kehidupan beragama di Indonesia, skenario thinking, analisa sosial dengan perangkat analisa es dan proses “U,” moderasi beragama dalam perspektif teologi agama, nilai-nilai universal agama, bedah sembilan kata kunci moderasi beragama, konsep moderasi beragama Kementerian Agama, wawasan kebangsaan dan jati diri Kementerian Agama, sikap diri ASN Kementerian Agama, strategi penguatan moderasi beragama proses “U,” ekosistem moderasi beragama, membangun gerakan dan kepeloporan, serta refleksi dan evaluasi.

Baca Juga:  Rayakan 50 Tahun Imamat, Mgr. Petrus Turang: Selama Ada Kelekatan Diri Sendiri, Kita Akan Mengalami Kekecewaan

Peserta juga memperoleh penyegaran rohani setiap pagi melalui Perayaan Ekaristi yang dipimpin secara bergantian oleh Romo Adrian Adiredjo, OP dan Romo Rambang Ngawan, OP, masing-masing pastor kepala dan pastor rekan Paroki Redemptor Mundi Surabaya.

Penguatan

Kegiatan dibuka secara resmi oleh Pelaksana Tugas Ditjen Bimas Katolik Kementerian Agama, Albertus Magnus Adiyarto Sumardjono. Saat menyampaikan sambutan secara daring melalui Zoom, ia menegaskan bahwa Kementerian Agama berusaha menyikapi fenomena yang terjadi di tengah masyarakat melalui moderasi beragama. “Untuk membekali para penyuluh agar mampu tampil dan memberi solusi. Itu kata kuncinya dan kata yang paling tepat. Tampil memberikan solusi,” ujarnya.

Menurut Adiyarto, kegiatan semacam itu penting. Alasannya, kehidupan warga negara Indonesia tidak bisa dipisahkan dari nilai-nilai agama. Secara filosofis, Indonesia mengakui eksistensi agama dalam kehidupan bernegara. Selain itu, ada keragaman etnis, suku, budaya, bahasa dan agama. Berdasarkan fakta ini, setiap pemeluk agama berhak memeluk agamanya dan memiliki pandangan bahwa agama yang dianutnya adalah agama yang benar dan baik. Di sisi lain, setiap pemeluk agama juga harus menghargai hak pemeluk agama lain yang juga berpandangan bahwa agama yang dianutnya adalah agama yang benar dan baik.

Moderasi beragama sangat diperlukan dalam konteks keragaman ini. Ia lalu menyinggung soal kecenderungan pengamalan ajaran agama yang melampaui batas sehingga sering menyisakan klaim kebenaran secara sepihak.

Baca Juga:  Vitamin dan Suplemen untuk Lansia: Apa yang Perlu Diperhatikan?

Meski demikian, ia mengaku terus mencari istilah baru untuk mengaktualisasikan moderasi beragama. Bahkan sehari menjelang kegiatan tersebut, ia bertemu dan berdiskusi dengan menteri agama. Saran yang diperolehnya adalah memahami moderasi beragama sebagai pengendalian diri demi penghormatan terhadap hak orang lain.

Ciri Khas

Ada empat ciri khas orang moderat menurut Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Jawa Timur, Husnul Maram. Pertama, komitmen kebangsaan. Kedua, antikekerasan. Ketiga, toleransi. Keempat, adaptasi dengan budaya lokal. “Kalau keempat ini sudah kita pegang, maka kita semua bisa dikatakan profesional dan moderat,” katanya dalam sambutan.

Ia meyakini bahwa para pemimpin agama besar di dunia telah memberi teladan terkait moderasi beragama, sebuah cara pandang, sikap dan perilaku seorang warga negara Indonesia sesuai dengan esensi ajaran agamanya. Dalam agama Islam, misalnya, Nabi Muhammad mengajarkan penghormatan terhadap agama-agama lain.

Begitu pula agama Katolik. Dalam hal ini, para penyuluh agama Katolik PNS berperan penting dalam menguatkan moderasi beragama, khususnya di kalangan umat Katolik. Menurut Husnul, mereka adalah garda terdepan. Namun profesionalisme tetap menjadi hal yang utama.

Perlu Perwujudan

Dalam sambutannya, Vikaris Jenderal Keuskupan Surabaya, Romo Yosef Eko Budi Susilo, mengatakan, moderasi beragama bukan sekadar teori yang hanya disampaikan melalui seminar, melainkan sebuah konsep yang perlu diwujudkan oleh semua umat beragama di Indonesia.

Beberapa tahun lalu, ia dan beberapa tokoh agama di Jawa Timur mengunjungi sejumlah pondok pesantren untuk menjalin silaturahmi saat Hari Raya Idul Fitri. Kala itu istilah yang umum dipakai adalah dialog antarumat beragama.

Baca Juga:  Mengambil Makna di Balik Kemeriahan HUT Ke-75 RS Brayat Minulya Surakarta

“Sebenarnya sejak saya kecil, negara kita adalah negara yang aman, damai, tenteram. Pada dasarnya kita adalah umat beragama yang saling tolong-menolong, rukun, toleran. Tapi karena mungkin ada sesuatu hal dalam kehidupan ini, entah dari mana penyebabnya, akhirnya ada ketidakrukunan karena ada provokasi-provokasi yang saya tahu. Tapi pada hakikatnya masyarakat kita ini rukun,” tuturnya.

Perpanjangan Tangan

Turut memaparkan materi adalah Direktur Urusan Agama Katolik Ditjen Bimas Katolik Kementerian Agama, Aloma Sarumaha, dan Kepala Sub-Direktorat Penyuluhan Direktorat Urusan Agama Katolik Ditjen Bimas Katolik Kementerian Agama, A.H. Yuniadi.

Dalam paparannya, Aloma menyinggung kembali empat indikator moderasi beragama yang sebelumnya disampaikan oleh Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Jawa Timur.

“Komitmen kebangsaan yaitu penerimaan terhadap prinsip-prinsip berbangsa yang tertuang dalam UUD 1945 dan regulasi di bawahnya. Toleransi yaitu menghormati perbedaan dan memberi ruang orang lain untuk berkeyakinan, mengekspresikan keyakinannya, dan menyampaikan pendapat. Anti-kekerasan (artinya) menolak tindakan seseorang atau kelompok tertentu yang menggunakan cara-cara kekerasan, baik secara fisik maupun verbal, dalam mengusung perubahan yang diinginkan. Penerimaan terhadap tradisi yaitu ramah dalam penerimaan tradisi dan budaya lokal dalam perilaku keagamaannya sejauh tidak bertentangan dengan pokok ajaran agama,” jelasnya.

Ia lantas menyebut penyuluh agama Katolik sebagai salah satu “perpanjangan tangan” pemerintah untuk terus menggaungkan pesan moderasi beragama dan, lebih jauh lagi, merealisasikan empat indikator moderasi beragama langsung di tengah kelompok binaannya dan juga masyarakat.

Katharina Reny Lestari (dari Surabaya, Jawa Timur)

HIDUP, Edisi No. 17, Tahun ke-77, Minggu, 23 April 2023

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles