HIDUPKATOLIK.COM – MEMBUMIKAN moderasi beragama terus menjadi perhatian. Menguatnya benih-benih intoleransi, radikalisme, dan terorisme menjadi argumen yang paling mendesak mengapa gerakan moderasi perlu penguatan.
Kementerian Agama (Kemenag) menggalakkan moderasi ini di tengah masyarakat luas sejak tahun 2020. Bahkan, Tahun 2023 ditetapkan sebagai Tahun Moderasi Beragama. Untuk itu, baru-baru ini, melalui Direktorat Bimbingan Masyrakat Katolik (Ditjen Bimas Katolik), Kemenag mengumpulkan para penyuluh agama Katolik untuk mengikuti acara “Orientasi Pelopor Penguatan Moderasi Beragama bagi Penyuluh Agama Katoik PNS”.
Para penyuluh ini bersentuhan langsung dengan masyarakat akar rumput. Selain diberi materi untuk memperkaya horizon dan pengetahuan, para peserta diberi kesempatan untuk berbagi pengalaman dalam ‘mengedukasi’ masyarakat di tempat mereka berkarya. Dirasakan, kurangnya pemahaman akan kemajemukan bangsa kerap menjadi pemicu terjadinya gesekan di tengah masyarakat. Belum lagi, masuknya pihak-pihak tertentu yang ingin menggiring masyarakat pada pamahaman sempit mengenai keanekaragaman (pluralitas) bangsa ini.
Kegiatan formal seperti ini patut diapresiasi. Mengapa? Pemerintah di level mana pun memang perlu terus mengupayakan pelbagai macam kegiatan semacam ini. Karena, moderasi beragama, di satu sisi, perlu dibicarakan atau didiskusikan agar semua pihak memahami esensinya. Tidak terjebak pada formalistik semata. Di sisi lain, moderasi beragama perlu ‘didagingkan’ dalam pelbagai perjumpaan, dialog karya, kerja sama nyata di lapangan.
Semisal, gotong-royong membangun sarana prasarana bersama di lingkungan terkecil. Kerja bakti di tingkat RT/RW tanpa perlu diembel-embeli dengan predikat yang muluk-muluk. Bahkan, menggiatkan anak remaja dan orang muda untuk olah raga bersama bisa menjadi jembatan untuk saling bertemu dan mengenal.
Dengan demikian, sejak dini, para remaja dan orang muda tersebut diberi fontasi yang kuat tentang semangat kebersaman, nilai-bilai sportifitas sebagai warga bangsa. Mereka memahami bahwa keberadaan kita yang beraneka-ragam ini bukanlah penghalang untuk hidup dan berjalan bersama. Perbedaan ini adalah kekayakan yang harus dirawat menjadi kekuatan bangsa kita. Bhinneka Tunggal Ika tak sekadar sasanti, tapi realitas yang dengannya kita ada dan bertumbuh dan berkembang.
Gerakan moderasi juga telah diperlihatkan oleh para pemimpin dunia. Kita bisa menyebut Deklarasi Abu Dhabi tahun 2019. Paus Fransiskus dan Imam Besar Masjid Al-Alzar Ahmed al-Tayep bertemu dan sepakat untuk menggalang dan menciptakan kehidupan bersama sebagai insan manusia.
Beberapa waktu lalu, gemanya menguat kembali dalam penganugerahan gelar Doktor Honoris Causa kepada Kardinal Miguel Ayuso dari Vatikan oleh Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga di Yogyarta Februari 2023. Peristiwa ini dilanjutkan dengan kunjungan Kardinal Ayuso ke pesantren dan madrasah. Contoh lain yang pantas disebut adalah pelaksanaan Pesparani Katolik tingkat nasional, baik di Maluku tahun 2018 maupun di Kupang, NTT tahun 2022 lalu. Pada Pesparani di NTT, Ketua Umum Pelaksana malah seorang Muslim.
Sekali lagi, kegiatan yang diselenggarakan oleh Kemenag pantas dihargai. Namun, kita sekaligus mendorong agar pemerintah secara lebih masif menggalakkan moderasi beragama ini sebagai gerakan bersama.
HIDUP, Edisi No. 17, Tahun ke-77, Minggu, 23 April 2023