HIDUPKATOLIK.COM – HENING. Kata ini menyimpulkan suasana Seminari Tinggi Santo Petrus (STSP), Sinaksak, Pematangsiantar kala pertama kali memasuki gerbangnya. Sejenak berpikir, apa mungkin karena rumah bagi para pendoa, sehingga suasananya begitu hening. Pikiran ini terbesit begitu saja karena lingkungan yang begitu luas terasa tak berpenghuni.
Dalam keraguan, langkah kaki ini berhenti di sebuah rumah kecil “pastoran 2” tepat di depan kampus Fakultas Filsafat Universitas Santo Thomas. Segera saya (penulis) disalamin seorang frater penerima tamu lantas mengantar saya menuju refter (ruang makan). Mata ini dibuat terkejut karena menyaksikan ratusan frater sedang makan siang. Dengan rasa hormat, saya berjalan melewati setiap meja makan para frater menuju meja makan staf pembina.
Sambil menyalami dan memperkenalkan diri kepada setiap pastor pembina, saya dipersilahkan mencicipi menu siang bersama mereka. Ragam cerita mengalir di sekeliling meja makan itu. Sambil bercerita, dengan malu-malu mulai mengambil nasi dengan lauk mujair goreng dan terong. Makan siang didampingi para pastor dan disaksikan ratusan frater rasanya tidak nyaman. Tetapi beberapa hari kemudian, semua terasa nyaman. Para pastor dan frater menerima kehadiran saya dengan hati lapang.
Budaya Toba
Dominan secara kuantitatif para frater dari tahun ke tahun berasal dari suku Batak, Nias, Jawa, dan Nusa Tenggara Timur. Sebagian dari keluarga petani yang tinggal di pedesaan. Fakta ini mengandaikan, mereka masih mewarisi kebiasaan atau tradisi kekatolikan yang kuat dari orang tua. Nilai-nilai yang mereka dapatkan saat bersama orang tua, menjadi modal dasar hidup bersama di seminari. Bedanya ada penambahan habitus baru dengan jadwal belajar, berdoa, bekerja yang semakin teratur. Setiap pergantian kegiatan tidak diatur oleh bel atau lonceng, tetapi kesadaran diri sendiri.
Pastor Yustinus Slamet Antono, pengajar di Sekolah Tinggi Filsafat Teologi St. Yohanes Pematangsiantar mengatakan, para frater berasal dari berbagai latar belakang kebudayaan tetapi mengalami perjumpaan dalam kebudayaan Batak Toba. Alasannya sederhana karena Pematangsiantar dan sekitarnya adalah lahan pastoral yang kebanyakan penutur bahasa Toba. Situasi ini didukung kehadiran para frater yang dominan berkebudayaan Toba. Mereka menjadi narasumber utama bagi para frater lainnya.
Sebut Pastor Slamet, di waktu senggang, mudah dijumpai para frater sedang berinteraksi satu sama lain, bercakap-cakap, sendau gurau, bernyanyi atau kegiatan akademis lainnya dengan menuturkan bahasa Toba. Dunia akademis yang ‘serius” pun tak luput dari kebudayaan Toba. Kegembiraan sebagai frater diekspresikan dalam mendengar dan berbicara tentang kebudayaan Toba.
Dalam sharing selama lima hari di STSP, para frater yang berasal dari enam keuskupan di Regio Sumatera memiliki cara tersendiri mengenal budaya Toba sekaligus belajar tentang kekhasan pastoral di keuskupannya. Informasi soal situasi keuskupan diperoleh dari rekoleksi, yaitu imam-imam dari keuskupan dihadirkan untuk membawa materi bagi para frater.
Bagi Pastor Slamet, ada banyak cara mengenal keuskupan masing-masing dan salah satunya lewat rekoleksi. “Idealnya, menimba pengalaman dari para pastor yang telah berkarya di keuskupan akan memberi inspirasi bagi para calon imam untuk merencanakan tindakan yang tepat atau membekali diri dengan pengetahuan dan keterampilan yang memadai,” ujar sosiolog ini.
Setia Mendampingi
Kesan yang ditampilkan dalam cerita-cerita bersama para frater dapat disimpulkan bahwa masalah terkait jarak tempuh pelayanan dari pusat masih menjadi kendala di semua keuskupan di Regio Sumatera. Beberapa keuskupan, jumlah imamnya terbatas sehingga waktu mereka tersedot dalam pelayanan sakramental. Fakta lain, sebagian besar umat di tinggal di pedesaan yang berarti hidup dari sektor pertanian. Sisi ini perlu mendapat perhatian lewat program pemberdayaan sosial ekonomi.
Dari sisi formator, kata Pastor Slamet, komposisinya dianggap cukup. Setiap keuskupan telah mengirimkan seorang pastor moderator. Mereka adalah imam-imam terbaik yang dikirim para uskup. Dengan cara dan kehadiran mereka, banyak frater merasa nyaman menjalani panggilan. Mereka menjadi role menuntun dan memberi contoh.
Tantangan utama dalam memberi contoh dan teladan tergambar pada kehadiran di setiap rutinitas. Ini tidak mudah bagi para staf yang punya kesibukan tinggi di luar komunitas. Mereka berusaha melakukan pembinaan yang komprehensif dan simultan, baik dalam kepribadian, kerohanian, intelektualitas, maupun kegembalaan.
Dalam arti ini, pendidikan dan pembinaan dilakukan melalui pendekatan personal dan kolektif seperti refleksi pribadi, correctio personalis (penilaian pribadi), correctio fraterna (penilaian persaudaraan), kelompok bina, kelompok minat, studi, serta pra-unio.
Akhirnya, lima hari menjadi “frater” di STSP mengingatkan saya akan refleksi Paus. “Berdiriya seminari menunjukkan tanggung jawab Gereja dalam melanjutkan misi perutusan Yesus di tengah dunia. Kehadiran Gereja sebagai communio tampak hidup dalam komunitas pembinaan di STSP. Maka process of making aware (proses penyadaran) bahwa pendidikan dan pembinaan para frater juga tanggung jawab Gereja umat Allah.
Tidak mudah bagi para frater dan pastor menghabiskan hari-hari dalam doa, belajar, dan bekerja. Jubah putih kebanggaan melekat erat di tubuh, tetapi hati mereka terkadang rapuh. Sebagai umat Allah, mari kita doakan. “Umatku yang terkasih, mari kita saling mendoakan. Mari kita sama-sama menjadi sahabat dalam perjalanan ini,” demikian tulisan tangan Mgr. Anicetus B. Sinaga, OFM Cap (alm), yang saya temukan di kamarnya, tempat istirahat selama di STSP.
Yustinus Hendro Wuarmanuk (Dari Sinaksak, Pematangsiantar, Sumut)
HIDUP, Edisi No. 15, Tahun ke-77, Minggu, 9 April 2023