HIDUPKATOLIK.COM – PEMBARUAN terjemahan Alkitab dalam bahasa Indonesia adalah sebuah keniscayaan. Perkembangan sebuah bahasa dari tahun ke tahun menuntut perubahan dalam terjemahan sebuah teks. Tidak ada satu terjemahan pun yang akan berlaku sepanjang zaman.
Tanggal 9 Februari 2023 menjadi peristiwa bersejarah dalam penerjemahan Alkitab di Indonesia. Ketua Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Mgr. Antonius Subianto Bunjamin, OSC, Uskup Agung Jakarta, Ignatius Kardinal Suharyo, sejumlah pastor dan undangan dari gereja Katolik, bersama dengan perwakilan dari gereja-gereja Kristiani di Indonesia menyaksikan launching Alkitab Terjemahan Baru (TB) yang telah diperbarui (disingkat TB2) di Balai Sarbini, Jakarta Selatan.
Ini adalah penanda akhir dari sebuah proses panjang dan melelahkan akan sebuah pembaruan Alkitab terjemahan dalam bahasa Indonesia. Pertanyaannya sekarang, bagaimana perjalanan penerjemahan Alkitab TB ini? Nah, tulisan ini hendak menyajikan secara singkat sejarahnya.
Menuju Alkitab versi Katolik
Tahun 1955 merupakan tonggak penting dalam sejarah penerjemahan Alkitab dalam Gereja Katolik Indonesia. Sebab, di tahun ini, Pater Cletus Groenen OFM merencanakan proyek penerjemahan Perjanjian Lama ke dalam bahasa Indonesia. Rencana ini muncul mengingat tarekat SVD tidak berencana lagi untuk menerjemahkan Perjanjian Lama setelah Pater J. Bouma SVD menyelesaikan penerjemahan Keempat Injil dan Kisah Para Rasul dan sedang mengerjakan terjemahan kitab Perjanjian Baru lainnya. Pada saat yang sama, terjemahan Alkitab Protestan (Klinkert-Bode) sudah hampir tidak dapat dimengerti lagi.
Pater Groenen kemudian mengusulkan kepada Majelis Agung Waligereja Indonesia (sekarang KWI) agar memercayakan penerjemahan Alkitab kepada tim penerjemah Katolik. Sebagai tanggapan atas usul tersebut, dalam sidang MAWI tahun 1955 ditetapkan: “MAWI menugaskan pater-pater Fransiskan dan Pater J. Bouma SVD supaya melanjutkan terjemahan Kitab Suci yang sudah dimulai dan menyampaikan hasilnya kepada Panitia untuk Pendidikan dan Pengajaran Agama. Perjanjian Lama akan diterjemahkan jilid demi jilid.” (Himpunan Keputusan MAWI 1924-1980). Tim penerjemahnya waktu itu adalah P. C. Groenen OFM, P. Henricus Suasso de Lima de Prado SJ, P. R.Wahjosudibjo OFM, A. Adikarjono, Pr, P. Bernulf A. Schnijder OFM; untuk bagian bahasa Indonesia, P. Hardawiryana SJ dan P. Ismael Hardjowardojo OFM. Sebagai teks dasar, dipakai Biblia Hebraica, edisi ketiga, oleh R. Kittel – P. Kahle edisi Septuaginta oleh A. Rahlfs, dan ada kalanya edisi Perjanjian Baru oleh D.E. Nestle.
Saat dimulai penerjemahan tersebut, beberapa persoalan muncul. Apa pilihan bahasa Indonesia yang akan digunakan? Apakah “bahasa biasa” atau bahasa yang disukai di kalangan pendidikan? Pada saat itu, bahasa Indonesia sedang mengalami perkembangan yang cepat tetapi, belum sungguh menjadi bahasa rakyat.
Akhirnya, dipilih bahasa yang dipakai di kalangan pendidikan dengan konsekuensi terjemahan akan sulit dibaca orang biasa. Tetapi, keputusan itu memiliki alasan khusus: inilah terjemahan Alkitab pertama yang dibuat umat Katolik dalam bahasa Indonesia; maka teks asli harus diterjemahkan sesetia mungkin.
Persoalan lainnya, bagaimana terjemahan itu diterbitkan? Apakah teks lengkap dalam satu jilid dengan hanya sedikit catatan singkat, atau mengikuti cara Bible de Jérusalem, yang hanya menerbitkan satu atau beberapa kitab dalam satu jilid bersama pengantar yang luas dan banyak penjelasan dalam catatan-catatan kaki? Solusi terakhirlah yang dipilih.
Akhirnya, antara tahun 1961-1967, terbit Alkitab terjemahan versi Katolik, dengan delapan jilid yang agak tebal. Sebab, setiap kitab diawali pengantar yang cukup lengkap, dilengkapi dengan banyak catatan kaki, referensi ayat di pinggir halaman, dan keterangan kritis yang singkat tentang varian teks yang dipilih. Terjemahan versi Katolik ini, dinilai kurang praktis dan lebih cocok sebagai Alkitab untuk Studi.
Proyek ini juga memakan waktu lama lantaran tak satu pun anggota tim yang dapat memberikan diri secara purna waktu untuk proyek ini. Mereka bekerja hanya dalam selang waktu di antara banyak tugas lain. Pada saat yang sama, terjemahan dari Pater Bouma SVD untuk Perjanjian Baru masih dapat dipakai. Sayangnya, terjemahan Alkitab versi Katolik, yang dicetak oleh percetakan Nusa Indah, harga jualnya melampaui daya beli umat.
Menuju Alkitab Terjemahan Baru 1
Pada tahun 1950-an, Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) dari Gereja Protestan juga memulai suatu penerjemahan baru Alkitab ke dalam bahasa Indonesia modern. Menariknya, kedua tim penerjemah ini, para Fransiskan di Cicurug dan tim Lembaga Alkitab di Bogor, hanya berjarak 30 km saja. Meski ada sedikit kontak, ide untuk membangun kerjasama dalam penerjemahan belum muncul dalam benak mereka. Dalam perkembangannya, P. Groenen OFM bersama P. Schnijder OFM, berniat untuk mengakhiri “kegilaan” dengan adanya dua terjemahan ini.
Lembaga Biblika Saudara-Saudara Dina, yang nantinya menjadi Lembaga Biblika Indonesia (1971), tim penerjemah Katolik, dan PWI-Ekumene dengan sekretaris MAWI, yang diketuai oleh Mgr. N. Geise OFM, mengusulkan kepada presidium MAWI (1967) untuk menerima terjemahan Lembaga Alkitab yang sudah mendekati tahap penyelesaiannya. Usul tersebut didasarkan pada kepentingan ekumenis sekaligus ekonomis. Biaya pencetakan dan penerbitan bersama dianggap akan lebih murah dan berkualitas daripada jika gereja Katolik mencetak sendiri.
Presidium MAWI mendukung proposal tersebut, yang kemudian disetujui oleh sidang pleno para uskup (1968). Keputusan ini berbunyi demikian: “Berhubung dengan gerakan Ekumene, MAWI menyetujui terjemahan Alkitab oleh Lembaga Alkitab Indonesia (dari pihak Kristen-Protestan) diambil alih oleh Gereja Katolik. Kerjasama akan diurus oleh PWI Ekumene dan Lembaga Biblika Katolik” (Himpunan Keputusan MAWI 1924-1980).
Beberapa bulan sebelumnya, Lembaga Biblika Katolik (P C.Groenen OFM) bersama Sekretariat KWI (Mgr. N. Geise OFM dan P. G. Zegwaard, MSC) telah mengajukan proposal itu kepada Gereja-gereja Protestan dalam Konsultasi Nasional di Cipayung (10-22 Juni 1968). Dalam proposal itu, intinya, para Uskup bersedia mengadopsi terjemahan baru Alkitab ke dalam bahasa Indonesia yang sedang dipersiapkan oleh LAI dan yang sedang mendekati penyelesaian, dengan syarat selain edisi “Protestan” diterbitkan pula edisi yang memuat kitab-kitab Deuterokanonika. Proposal ini jelas merupakan suatu kejutan besar dan akhirnya diterima dengan aklamasi.
Dalam pertemuan tersebut, diambil beberapa keputusan yang penting dan berdampak bagi kerjasama LAI dan LBI di kemudian hari. Pertama, pihak Katolik akan mengadopsi terjemahan Kitab Suci dalam bahasa Indonesia modern, yang sudah mulai dikerjakan LAI. Kedua, pihak Katolik dan Protestan bersama-sama menyelesaikan terjemahan tersebut dan menyempurnakan terjemahan yang sudah selesai. Dalam sebuah laporan dari Pater Groenen tentang LBI (1972), kerjasama ini digambarkan demikian:“Kerjasama dengan LAI terdiri atas ini: semua naskah terjemahan baru, diperiksa oleh sejumlah ahli Katolik (ekseget dan ahli bahasa), sedangkan LBI mengerjakan terjemahan Deuterokanonika, yang diperiksa oleh LAI.” Ketiga, LAI juga akan menerbitkan Kitab Suci dengan kitab-kitab Deuterokanonika, yang naskahnya sedang disiapkan oleh Lembaga Biblika. Sedangkan Lembaga Biblika tidak akan menerbitkan terjemahan resmi lainnya. Ini berarti mengorbankan pekerjaan untuk mengadakan terjemahan Katolik yang sudah berlangsung bertahun-tahun itu. Pengorbanan itu rupanya meninggalkan kesan mendalam bagi Gereja-gereja lain.
Sesuai dengan Guidelines for Common Bible Translations, (Asas-asas penuntun bagi Kerja sama Interkonfesional dalam Menerjemahkan Alkitab) sebuah teks yang disusun dan ditandatangani oleh United Bible Societies dan Vatikan, (10 Januari 1968), maka diputuskan: Pertama, Alkitab diterbitkan dalam dua edisi, yaitu Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru tanpa kitab-kitab Deuterokanonika; dan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru dengan kitab-kitab Deuterokanonika; kedua, kitab-kitab Deuterokanonika ditempatkan di antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru; ketiga, edisi tersebut dilengkapi dengan logo Lembaga Alkitab Indonesia dan imprimatur Konferensi Waligereja Indonesia, (yang berbunyi: “Terjemahan ini diterima dan diakui oleh Konferensi Waligereja Indonesia”)
Pada Juni 1970, manuskrip terjemahan bersama selesai dan diserahkan oleh tim penerjemah (termasuk yang Katolik) kepada Lembaga Alkitab yang segera mempersiapkan pencetakannya dengan melibatkan juga suatu percetakan Katolik. Pada 1971 terbitlah Perjanjian Baru Terjemahan Baru (TB), sedangkan Alkitab TB lengkap (Perjanjian Lama dan Baru) tanpa Deuterokanonika diterbitkan pada 1974, Alkitab TB dengan Deuterokanonika pada 1975.
Menuju Alkitab Terjemahan Baru 2
Dalam perjalanan waktu, disadari bahwa perkembangan bahasa Indonesia berjalan sangat cepat, baik dari segi kosa kata, maupun dari segi tatabahasa dan ejaan. Begitu pula dengan cara penulisan yang terus disempurnakan.
Kata-kata baru mendesak yang lama. Makna sebuah kata mengalami perubahan juga. Sebagian besar generasi milenial mungkin agak asing dengan beberapa kata Indonesia dalam Alkitab. Inilah yang membuat LAI terdorong untuk memperbarui terjemahan Alkitab TB2. Sama halnya, dari pihak Gereja Katolik, LBI juga terdorong untuk memperbarui terjemahan kitab-kitab Deuterokanonika yang sudah “usang” terjemahannya.
Selain itu, perkembangan ilmu tafsir dan penelitian naskah-naskah kuno serta sarana-sarana mutahir dalam penafsiran teks Kitab Suci (seperti, leksikon Alkitab, komentar-komentar update Alkitab), serta perkembangan ilmu penerjemahan yang mencakup ilmu linguistik, arikeologi, dan kajian interkultural, juga turut mendorong upaya pembaruan terjemahan Alkitab TB1. Proyek pembaruan terjemahan ini berlangsung cukup lama. Paling tidak memakan waktu antara 20-an tahun. Revisi terjemahan Perjanjian Baru mulai pada 1986 dan terbit 1997, revisi terjemahan Perjanjian Lama mulai pada 1998 dan terbit pada 2023, dan revisi terjemahan kitab-kitab Deuterokanonika mulai pada 2002 dan terbit pada 2022.
Dalam semangat ekumenis
Alkitab TB2 ini merupakan wujud nyata semangat ekumenis dalam gereja-gereja Indonesia. Sebab, Alkitab TB2 ini dipergunakan oleh semua umat Kristinai dari berbagai denominasi, termasuk gereja Katolik. Dan tidak sedikit ahli Kitab Suci Gereja Katolik yang berperan dalam proses pembaruan Alkitab TB2 ini. Alkitab TB2 ini sangat penting bagi gereja Katolik. Sebab, sebagaimana ditegaskan dalam Konsili Vatikan II, Sabda Allah dalam Kitab Suci “merupakan tumpuan serta kekuatan, dan bagi putera-putera Gereja menjadi kekuatan iman, santapan jiwa, sumber jernih dan kekal hidup rohani” (Dei Verbum 21).
Selain itu, pembaruan Alkitab TB ini turut membantu Gereja Katolik dalam mewujudkan amanat Konsili Vatikan II agar “jalan menuju Kitab Suci harus terbuka lebar-lebar” (DV 22). Kerja sama dan kemitraan yang dibangun dengan Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) dalam mengerjakan proyek pembaruan Alkitab TB ini dan akhirnya menerbitkannya, secara tidak langsung mewujudkan amanat Konsili Vatikan II: “Bila terjemahan-terjemahan itu – sekiranya ada kesempatan baik dan pimpinan Gereja menyetujuinya – diselenggarakan atas usaha bersama dengan saudara-saudara terpisah, maka terjemahan-terjemahan itu dapat digunakan oleh semua orang kristiani” (DV 22).
Kita berharap, dengan diterbitkannya Alkitab TB2 ini, umat Kristiani, khususnya umat Gereja Katolik, semakin mencintai Sabda Allah dalam Kitab Suci dan dapat meneguk inspirasi di dalamnya sehingga hidup rohani umat semakin tertuntun dalam terang Sabda Allah dan umat semakin mengenal Allah dan Kristus yang berkarya dalam sejarah keselamatan manusia. Akhirnya, bersama dengan Petrus kita mengamini, “Semua yang hidup adalah seperti rumput dan segala kemuliaannya seperti bunga rumput, rumput menjadi kering, dan bunga gugur, tetapi firman Tuhan tetap untuk selama-lamanya” (1 Ptr. 1:24-25).
Pastor Albertus Purnomo, OFM
Ketua Lembaga Biblika Indonesia
HIDUP, Edisi No.14, Tahun ke-77, Minggu, 2 April 2023