HIDUPKATOLIK.COM – Jumat Agung merupakan satu-satunya hari dimana Gereja Katolik tidak merayakan Ekaristi. Hal ini dilakukan karena pada Jumat Agung, pusat ibadah umat Katolik bukan pada Perayaan Ekaristi, melainkan pada sengsara dan wafat Yesus Kristus (salib). Itulah sebabnya tidak tepat jika kita mengatakan Misa Jumat Agung, yang tepat adalah Liturgi (Ibadat) Jumat Agung.
Liturgi Jumat Agung terdiri dari tiga proses penting, yaitu Ibadat Sabda, Penghormatan Salib dan Komuni. Warna liturgi yang digunakan saat Jumat Agung adalah merah, untuk melambangkan kemartiran (darah yang tercurah) dan kematian Yesus. Pada umumnya Liturgi Jumat Agung dilakukan pada jam 3 sore (sesuai dengan saat kematian Yesus), namun setiap gereja boleh menyesuaikannya dengan kebutuhan dan keadaan setempat.
Ibadat Sabda
Pada awal Ibadat, kita akan menemukan suasana yang sangat berbeda di dalam gereja. Tabernakel dalam keadaan terbuka dan kosong serta lampu abadi tidak dinyalakan. Altar kosong tanpa taplak, tanpa lilin, tanpa bunga atau hiasan apapun. Dalam Liturgi Jumat Agung juga tidak dibunyikan lonceng atau bel dan tidak dimainkan musik dari organ sampai malam Paskah.
Imam dan para pelayannya pun akan memasuki gereja dengan sangat hening. Tidak ada lagu pembukaan. Setibanya di depan altar, imam akan tiarap dan umat berlutut. Keheningan total ini mau mengungkapkan kesedihan karena Kristus telah wafat.
Bacaan yang dipilih adalah dari Yesaya (52:13 – 53:12). Dalam bacaan ini Nabi Yesaya menunjukkan bahwa penderitaan dan kematian bukanlah hukuman dari Tuhan, sebaliknya Tuhan justru menampakkan kesetiaan pada orang yang taat. Lewat penderitaan, sengsara dan kematian, Tuhan mengaruniakan kebangkitan dan hidup kekal.
Dilanjutkan dengan bacaan dari Surat Rasul Paulus kepada jemaat di Ibrani (4:14-16; 5:7-9). Lewat bacaan ini menjadi jelas bahwa Yesus Kristus dapat merasakan kelemahan kita sebagai manusia karena Dia juga dicobai dan menderita, hanya Dia tidak berbuat dosa. Yesus telah belajar menjadi taat dari apa yang telah dideritaNya.
Sedangkan pembacaan kisah sengsara Yesus (passio) diambil dari Injil Yohanes. Dalam pembacaan Injil ini juga tidak disertai lilin, dupa, salam dan pembuatan tanda salib. Passio dilagukan oleh beberapa orang. Setelah passio, disusul dengan homili dan Doa Umat Meriah yang terdiri dari 10 doa untuk Gereja, dunia dan mereka yang perlu didoakan.
Penghormatan Salib
Tindakan simbolis penghormatan salib mengundang kita untuk memberikan jawaban atas apa yang kita dengar dalam teks-teks alkitabiah.
Ketika sebuah salib didirikan atau diletakkan di muka altar dan dihormati oleh umat beriman dengan membungkuk, berlutut atau mencium, ini bukan hanya tanda kasih sayang dan duka. Itu adalah tindakan pengakuan dan kepercayaan kepada Tuhan yang telah bangkit.
Ini tentang pemuliaan Yesus Kristus dan bukan tentang pemuliaan penderitaan (instrumen). Di saat penghormatan salib, koor boleh menyanyikan lagu-lagu pengiring yang membantu umat untuk semakin menghayati penderitaan Yesus dan sungguh menyembah Yesus.
Komuni
Setelah penghormatan salib, barulah altar ditutup dengan taplak putih dan digelar juga corporal (kain putih bujur sangkar yang digunakan imam untuk alas meletakkan bejana-bejana suci hosti dan anggur) serta disiapkan Buku Misa. Lalu imam dengan mengenakan velum (mantol yang digunakan imam saat membawa Sakraman Mahakudus) dan disertai dua misdinar yang membawa lilin mengambil sibori berisi hosti yang telah dikonsekrasi pada hari sebelumnya (Perayaan Ekaristi Perjamuan Malam Terakhir Yesus – Kamis Putih) untuk dibawa ke altar. Saat inilah baru ada lilin menyala di altar.
Komuni ini diawali dengan Doa Bapa Kami dan berakhir saat berkat penutup. Imam mengangkat dan merentangkan tangan saat memberikan berkat. Kemudian imam beserta seluruh asistennya meninggalkan gereja dengan suasana hening (tidak ada lagu penutup) dan diikuti seluruh umat yang juga meninggalkan gereja dalam keadaan hening.
Sr. Bene Xavier, MSsR dari Wina, Austria