HIDUPKATOLIK.COM – Terowongan Silaturahmi yang menghubungkan Masjid Istiqlal dengan Gereja Katedral akan menjadi ikon baru toleransi antar umat beragama di Indonesia. Selain itu, terowongan sepanjang 33,8 meter, tinggi 3 meter, lebar 4,5 meter dengan total luas 339,97 meter persegi ini akan memperkuat peradaban tinggi dan modal sosial yang kini hadir di Jakarta.
Sebagai ‘wajah negara’, Jakarta tak hanya harus maju di berbagai sektor, utamanya sektor transportasi dan pariwisata, namun juga maju dalam peradaban dengan fondasi pentingnya silaturahmi, saling komunikasi dan berbicara dari hati antar warga bangsa. Hal ini sejalan dengan tema dan spirit Hari Komunikasi Sosial sedunia tahun ini yang ditetapkan oleh Bapa Suci Paus Fransiskus dengan tema “Berbicara dari Hati”.
Karena itu, Terowongan Silaturahmi ini sama pentingnya dengan MRT yang beberapa tahun lalu telah hadir lebih dulu di Jakarta dan pembangunan sejumlah infrastruktur modern lainnya di Jakarta khususnya maupun Indonesia umumnya. Bila MRT yang menjadi penanda kemajuan sektor transportasi mempercepat akses antar wilayah di Jakarta dan meningkatkan aktivitas city tour, maka Terowongan Silaturahmi akan membuka kebuntuan komunikasi relung hati yang tersekat-sekat karena prasangka buruk, iri hati dan perbedaan agama serta keyakinan. Hal itu akan ‘membangun jembatan’, bukan tembok yang memisahkan, semakin memperkuat modal sosial yang menjadi pondasi pembangunan perekonomian bangsa.
Robert Putnam menjabarkan modal sosial sebagai seperangkat asosiasi antar manusia yang bersifat horisontal yang mencakup jaringan dan norma bersama yang berpengaruh terhadap produktivitas suatu masyarakat. Modal sosial meliputi hubungan sosial, norma sosial, dan kepercayaan (Putnam 1995). Modal sosial juga diartikan sebagai serangkaian nilai atau norma informal yang dimiliki bersama di antara para anggota suatu kelompok yang memungkinkan terjalinnya kerja sama.
Pada peresmian Moda Raya Terpadu (MRT) pertengahan Maret 2020, Presiden Jokowi menyatakan perlunya seluruh masyarakat membangun peradaban baru, mulai dari mengantri, bagaimana masuk ke MRT dan tidak terlambat, tidak terjepit pintu. Pun halnya dengan adanya Terowongan Silaturahmi ini, akan membuka tali silaturahmi yang kemudian akan membuka hati setiap orang melalui perjumpaan dan komunikasi di terowongan bawah tanah yang menghubungkan dua ikon tempat ibadah bernilai sejarah tinggi di Indonesia ini.
Pernyataan kepala negara tersebut seakan mengingatkan betapa membangun peradaban baru tersebut tidaklah mudah, khususnya menyangkut pembiasaan perilaku-perilaku baru di masyarakat. Di awal-awal beroperasinya MRT, pernah beredar foto viral di sosial media, perilaku pengguna MRT yang tidak tertib dan memanfaatkan stasiun MRT tidak pada tempatnya.
Tradisi mengantri dan memanfaatkan hasil pembangunan dengan cara yang pantas, merupakan elemen pokok yang teramat penting bagi peradaban bangsa. Ketiadaan budaya mengantri berdampak negatif di kehidupan sosial, terjadinya kecelakaan lalu lintas dan jatuhnya korban yang selayaknya tidak perlu terjadi. Salah satu bukti fatal ketiadaan budaya mengatre pada kecelakaan maut kereta api (KA) beberapa tahun lalu.
Penyelidikan tabrakan KA 1131 dengan truk tangki B 9265 SEH yang menyebabkan tujuh orang tewas dan lebih dari 70 orang terluka karena truk tangki menyerobot pintu lintasan KA. Manajemen KAI tengah melakukan transformasi mendasar menuju perusahaan jasa (Service company) yang mengubah orientasi dari orientasi produk ke konsumen (consumer oriented). Upaya tersebut seakan luluh lantah oleh sikap dan mentalitas masyarakat.
Pentingnya mentalitas baru yang terkoneksi dengan peradaban baru mensyaratkan kemauan masyarakat untuk belajar dengan tata aturan baru, khususnya dengan bijak menggunakan kemajuan infrastruktur. Dalam penggunaan Jalan Tol misalnya, dibutuhkan kesadaran untuk berkendara dengan kecepatan yang sesuai aturan, pengecekan kesiapan kendaraan sebelum melintas, termasuk kesiagaan pengendara.
Kebiasaan ini untuk membangun peradaban baru tersambungnya semua daerah di Jawa dalam Tol Trans Jawa sepanjang lebih dari 1.000 km. Ketidaksiapan membangun kebiasaan baru menyisahkan beberapa persoalan yang seharusnya tidak terjadi. Kecelakaan maut terjadi berulang kali di Tol Trans Jawa.
Demikian pula kebuntuan komunikasi untuk berbicara dan mendengar dari hati yang mereduksi rasa saling percaya dan ikatan emosional sebagai sesama warga bangsa, memuncak dalam aksi ngeri serangan tempat beribadah, pelarangan dan pembatasan beribadah, dan ibarat api dalam sekam, terpeliharanya prasangka dan kebencian dapat sewaktu-waktu menghanguskan dan merobek persatuan. Pembiasaan berbicara dari hati untuk menyapa, melihat dan berinteraksi antara umat beragama sangatlah penting. Sama pentingnya membiasakan dan membudayakan antri, saling sapa dan senyum menjadi bahasa manusiawi yang universal yang patut didesain agar secara alami terbentuk pada banyak ruang-ruang publik di negeri ini.
Membangun peradaban MRT dan komunikasi antar umat beragama di Terowongan Silaturahmi merupakan pembelajaran bersama membangun mentalitas berperadaban maju. Pemerintah terus berpacu melakukan pembangunan infrastruktur yang berkualitas dan berstandar internasional, seperti airport, sarana transportasi (salah satunya MRT), akomodasi hotel, tempat perbelanjaan dan sarana rekreasi, rumah sakit, keamanan dan kebersihan, dan sebagainya.
Kini, kehadiran Terowongan Silaturahmi menjadi energi baru untuk menghadirkan persatuan, gotong royong, persaudaraan sejati, keadilan sosial. Secara mendasar menjadi tanda hadirnya habitus berbicara dari hati pada anak negeri.
Dewa Gde Satrya, Dosen Fakultas Pariwisata, Universitas Ciputra Surabaya