HIDUPKATOLIK.COM – Minggu, 26 Maret 2023 Minggu Prapaskah V Yeh.37:12-14; Mzm. 130:1-2, 3-4b, 4c-6, 7-8; Rm.8:8-11; Yoh.11:1-45 (panjang) atau Yoh.11:3-7, 17, 20-27,33b-45 (singkat).
BERANGKAT dari pengalamannya sebagai penyintas holocaust Yahudi, Elie Wiesel, seorang novelis, filsuf, humanitarian, dan penerima nobel perdamian (1986) pernah berucap demikian: “Sama seperti keputusasaan hanya dapat datang kepada seseorang dari manusia lain, harapan juga dapat diberikan kepada seseorang hanya oleh manusia lain.” Di sini, Wiesel menegaskan, orang lain adalah saluran yang bisa membawa keputusasaan sekaligus harapan, penderitaan sekaligus kebahagiaan.
Namun, apa yang penting sesungguhnya adalah bagaimana orang bisa bangkit dari penderitaan menuju kebahagiaan, dari keputusasaan menuju pengharapan. Dalam Alkitab, ada dua figur yang telah mendorong orang untuk bangkit dari keputusaasan menuju pengharapan, yaitu nabi Yehezkiel dan Yesus Kristus.
Nabi Yehezkiel berkarya di tengah orang Yehuda yang mengalami pembuangan ke Babel untuk pertama kalinya (597 SM). Lantaran ia sendiri termasuk kaum buangan, Yehezkiel mampu merasakan penderitaan dan keputusaan yang dialami mereka. Pembuangan ini menyebabkan mereka krisis iman.
Kiranya mereka bertanya: mengapa Tuhan membiarkan umat-Nya menderita? apakah sabda-Nya masih dapat dipercaya? masihkan Tuhan layak untuk diandalkan lagi? Mereka meragukan, janji, kesetiaan, dan kekuasaan Tuhan. Bagi mereka, pembuangan ibarat kubur dan kematian yang melenyapkan harapan mereka: “Tulang-tulang kami sudah kering dan pengharapan kami sudah lenyap; putuslah hidup kami” (Yeh. 37:11)
Di tengah bangsanya yang berputus asa ini, Yehezkiel hadir sebagai manusia yang membawa harapan. Ia tidak memberi harapan dengan pertunjukkan mukjizat atau ceramah motivasi diri. Tetapi, ia datang dengan membawa pesan ilahi: Tuhan, Sang Pembebas dan Pencipta akan datang untuk membawa mereka pulang ke tanah Israel sekaligus membangkitkan semangat mereka dengan Roh-Nya sendiri.
Janji Allah ini baru terwujud 60 tahun kemudian. Yang jelas, harapan yang dibawa oleh Yehezkiel ini membuat kaum buangan ini mampu bertahan hidup di tanah asing dalam kurun waktu yang lama.
Selain nubuat Yehezkiel, tema tentang bangkitnya harapan juga muncul dalam kisah Lazarus dalam Injil Yohanes. Yesus datang ke Betania, tempat tinggal para sahabat-Nya, Maria, Marta dan Lazarus (Ibrani: Eleazar, Allah menolong). Awalnya, Ia ingin mengunjungi Lazarus yang sakit. Namun, ternyata Lazarus telah meninggal dunia.
Kematian Lazarus membuat Maria dan Marta sangat bersedih hati. Mungkin Lazarus adalah tulang punggung keluarga ini sehingga kematiannya adalah kehilangan yang besar. Yesus sadar akan situasi mereka. Maka, Dia memberikan harapan kepada mereka: “Saudaramu akan bangkit” (Yoh. 11:23) sambil menegaskan diri-Nya, “Akulah kebangkitan dan hidup. Barangsiapa percaya kepada-Ku, ia akan hidup walaupun sudah mati; dan setiap orang yang hidup serta percaya kepada-Ku, tidak akan mati selama-lamanya” (Yoh.11:25). Dan, setelah Lazarus keluar dari kubur, hidup kembali dari kematian, Maria, Marta, dan orang-orang Yahudi yang menyaksikannya, kemudian percaya kepada Yesus.
Kisah Lazarus ini menempatkan Yesus sebagai orang yang berempati kepada mereka yang menderita, menjaga harapan mereka supaya tetap bernyala dan membangkitan semangat mereka yang telah meredup karena kesusahan dan penderitaan. Yesus adalah saluran pengharapan manusia kepada Allah.
Kisah ini cukup menantang kita, para murid Kristus sekarang ini. Mengapa? Sebab, kita dapat mencerminkan dua figur, yaitu atau Lazarus atau Yesus atau keduanya. Banyak Lazarus dewasa ini. Mungkin termasuk kita juga. Mereka seperti orang mati, bukan dalam arti fisik, tetapi dalam arti mental dan rohani. Tandanya, makin banyak yang kehilangan harapan. Tidak sedikit yang hidup di bawah bayang-bayang kekuatiran dan ketakutan. Situasi politik dan ekonomi yang tidak stabil adalah salah satu biang keladinya. Apakah kita hanya berhenti dan menyerah pada situasi ini atau membuka pintu harapan kepada Allah? Allah adalah sumber harapan terakhir manusia. Dan seperti Lazarus, harapan dan semangat hidup akan bangkit jika percaya kepada-Nya.
Atau kita sebenarnya dipanggil untuk seperti Yesus. Datang, mengunjungi para “Lazarus” sekarang ini, membangkitkan harapan dan optimisme mereka seraya menunjukkan “aku adalah kebangkitan dan hidup” bagi kalian. Tutur kata yang menguatkan, uluran pertolongan, bantuan material yang kita berikan adalah saluran pengharapan juga. Inilah tugas kita sebagai murid Kristus, membawa para ‘lazarus’ itu bangkit dalam pengharapan kepada TUHAN.
“Kisah Lazarus ini menempatkan Yesus sebagai orang yang berempati kepada mereka yang menderita, …”
HIDUP, Edisi No. 13, Tahun ke-77, Minggu, 26 Maret 2022