HIDUPKATOLIK.COM – PERDAGANGAN manusia merupakan serangan mengejutkan terhadap martabat manusia dan pelanggaran berat hak asasi manusia. Konsili Vatikan II menegaskan, “Perbudakan, pelacuran, penjualan perempuan dan anak, serta keadaan kerja yang buruk, di mana manusia diperlakukan lebih sebagai alat laba daripada sebagai orang bebas dan bertanggung jawab, adalah tindakan kekejian yang meracuni masyarakat, merendahkan pelaku kejahatan dan merupakan penghinaan terbesar terhadap Pencipta…” (GS 27).
Keadaan seperti itu merupakan hantaman terhadap nilai-nilai asasi manusia di berbagai belahan dunia. Peningkatan perdagangan manusia yang mengkhawatirkan merupakan satu dari masalah politik, sosial, dan ekonomi dan ancaman serius bagi harkat dan martabat manusia.
Paus Yohanes Paulus II dalam Audiensi Umum di Lapangan Vatikan, 15 Mei 2002 menyerukan, “Eksploitasi seksual terhadap perempuan dan anak merupakan aspek paling menjijikkan dari perdagangan manusia. Harus diakui sebagai pelanggaran intrinsik martabat manusia serta hak-haknya. Manusia tidak lagi dianggap sebagai subjek tetapi objek industri bisnis.”
Peran Gereja
Ketua Komisi Keadilan-Perdamaian dan Migran Perantau Konferensi Waligereja Indonesia, Mgr. Dominikus Saku menegaskan Gereja Katolik sudah lama mengutuk kejahatan ini. Gereja amat prihatin pada korban yang paling banyak terluka sebagai contoh kebiadan manusia terhadap sesama. Banyak kongregasi religius, organisasi Katolik, kelompok awam, dan relawan khususnya yang bergerak di bidang kemanusiaan, sungguh melibatkan diri dalam memerangi kejahatan ini.
Mgr. Domi, sapaannya, menambahkan perdagangan manusia dengan segala masalahnya hanya meninggalkan luka yang mendalam. Sebenarnya, perpindahan orang baik lintas negara maupun domestik karena persoalan urbanisasi dan pekerjaan yang baik bukanlah sesuatu yang ditolak Gereja. Apalagi urbanisasi itu didasari pada pertimbangan mencari kehidupan yang lebih baik.
“Persoalannya muncul ketika ada pihak-pihak yang dengan sengaja memanfaatkan kesempatan untuk mencari keuntungan,” ujarnya.
Mengutip pernyataan Paus Fransiskus dalam sidang PBB tahun 2015, Mgr. Domi menegaskan ketika tujuan mulia mencari kehidupan untuk kesejahteraan sudah disusupi kepentingan cukong, pengepul, atau makelar maka sudah tentu akan menimbulkan masalah seperti kekerasan yang berujung kematian.
Melihat persoalan ini, Mgr. Domi mengatakan Gereja memiliki peran penting untuk mengatasi persoalan ini. Gereja mempunyai tanggung jawab pastoral untuk memajukan martabat pribadi manusia yang mengalami eksploitasi. Gereja perlu mendukung dalam segi ekonomi, memberi edukasi dan membela hak legitim para korban.
Selain itu, Gereja harus secara profetis menolak ketidakadilan dan kekerasan terhadap para tenaga kerja migran. Gereja harus mengundang semua orang yang berkehendak baik untuk melibatkan diri mendukung martabat manusia.
“Perlu pembaharuan solidaritas dalam Gereja di antara kongregasi religius, gerakan kaum awam, lembaga, dan asosiasi lainnya untuk meningkatkan reksa pastoral yang lebih bagus. Di antaranya membuat program pelatihan bagi petugas pastoral agar terlibat secara nyata dalam kehidupan konkrit para korban,” paparnya.
Menurut Mgr. Domi, satu hal yang harusnya menjadi perhatian Gereja adalah memulihkan kembali para penyintas perdagangan manusia di tengah masyarakat.
“Ini bukan persoalan sederhana, mengingat trauma yang mereka alami. Tugas pekerja kemanusiaan dan sosial khususnya Gereja adalah untuk memberikan sambutan kepada mereka sebagai gambar Allah, menyediakan kehangatan dan kemungkinan membangun kembali hidup baru. Sebab ada banyak kebutuhan mereka mulai dari persoalan fisik, psikologis, dan spiritual; mereka perlu sembuh dari trauma, stigma, dan isolasi sosial. “Mereka itu citra Allah yang sedang meminta solidaritas dan pertolongan, mendesak membutuhkan pengertian dan kebaikan hati Gereja,” Mgr. Domi menjelaskan.
Jalan Salib
Hal yang sama disampaikan Pastor Feliks Kosat, SVD Vikaris Yudisial Keuskupan Atambua. Aktivis HAM ini menjelaskan Gereja dan negara, tentu saja aktivis HAM menolak perdagangan manusia karena disebut sebagai modern slavery (perbudakan modern). Melihat angka, banyak orang diperdagangkan untuk forced labor (kerja paksa) dan juga untuk eksploitasi seksual.
Lebih khusus NTT persoalan ini menjadi lahan subur karena banyak faktor khususnya kemiskinan. Bicara human trafficking, maka fokus pada tiga wilayah besar yaitu Sumba, Timor, dan Flores. Tiga tempat ini secara ekonomi termasuk kabupaten miskin. Pendapatan per bulan sangat tidak mencukupi standar sejahtera. Perbedaan kemiskinan dapat dilihat di desa-desa di Kupang. Banyak orang meninggalkan desa dan mencari kehidupan di Kota Kupang. Padahal Provinsi NTT kaya dengan hasil-hasil hutan seperti jati, cendana, hasil tambang, hasil laut, tetapi pengembangan ekonominya belum bagus.
Situasi demikian membuat banyak orang lebih tertarik bekerja di luar negeri seperti Malaysia, Singapura, Taiwan dengan iming-iming gaji yang lebih tinggi. Satu hal lagi, walaupun pemerintah telah membuka ragam akses seperti akses komunikasi di NTT tetapi persoalan klasik lain curah hujan sedikit menjadi penyebab kekeringan. Situasi ini membuat gagal panen dan masyarakat tetap pada situasi miskin. Belum ada terobosan untuk menyelesaikan persoalan ini.
Pastor Feliks menambahkan, di NTT, Gereja dan lembaga, serta aktivis kemanusiaan telah melakukan ragam aksi untuk menolak human trafficking. Tahun 2015, pernah diadakan Jalan Salib dari satu gereja ke gereja lain di Keuskupan Agung Kupang dengan tema, “Jalan Salib Melawan Perdagangan Manusia.”
Para frater Seminari Tinggi St. Mikhael Penfui, Kupang melakukan proses Jalan Salib Yesus dengan merenungkan kisah-kisah perdagangan manusia yang terjadi selama ini di NTT. Sebab selama ini, wanita-wanita NTT telah menjadi korban kekerasan, terutama perdagangan manusia.
Kegiatan lain adalah fragmen “peti mati” oleh OMK Paroki Wolowaru, Kabupaten Ende yang mengangkat realitas perdagangan manusia di NTT. Kegiatan yang melibatkan umat lintas agama ini tak lain adalah gerakan bersama menolak segala bentuk perdagangan manusia sehingga meminimalisir korban tenaga kerja asal NTT.
“Tentu saja ragam kegiatan lainnya yang bertujuan memberi masukan kepada Gereja dan masyarakat bahwa human trafficking adalah kejahatan yang menelanjangi martabat manusia. Perdagangan manusia hanya menyisahkan penderitaan dan trauma yang berkepanjangan.”
Yusti H. Wuarmanuk
HIDUP, Edisi No. 18, Tahun ke-76, Minggu, 1 Mei 2022