HIDUPKATOLIK.COM – VIKARIS Jenderal atau yang lazim di Indonesia disingkat Vikjen adalah jabatan yang diberikan kepada seorang pastor dalam suatu keuskupan untuk mewakili uskup dalam sebagian tugas dan wewenang uskup di sebuah keuskupan. Jabatan ini bersifat bukan seumur hidup seperti jabatan uskup. Jabatan ini akan hilang begitu uskup yang melantik sang Vikjen meninggal dunia atau mengundurkan diri.
Hanya saja di beberapa kesempatan tugas Vikjen dalam keuskupan seperti dalam bayang-bayang kuasa Uskup Diosesan. Benarkan seorang Vikjen itu menjadi bayang-bayang potestas ordinaria (kuasa kepemimpinan berdasarkan jabatan) uskup diosesan di sebuah keuskupan partikular? Ataukah tugas Vikjen adalah suatu potesta delegata (kuasa yang didelegasikan) kepadanya berdasarkan jabatan?
Syarat Jadi Vikjen
Romo Silvester Susianto Budianto, MSF mantan Vikaris Yudisial Keuskupan Tanjung Selor mengatakan, kehadiran seorang Vikjen dalam keuskupan itu penting dan merupakan kewajiban. Hal ini bukan keinginan Uskup Diosesan atau kelegialitas para imam di Gereja partikular tetapi penegasan dari Kitab Hukum Kanonik (KHK) Kanon 475 § 1: “Di setiap keuskupan haruslah diangkat oleh Uskup Diosesan seorang Vikaris Jenderal, yang diberi kuasa berdasarkan jabatan untuk membantu uskup memimpin seluruh keuskupan, menurut norma-norma kanonik”.
Alumnus Fakultas Hukum Gereja, Universitas Gregoriana, Roma ini menambahkan peran Vikjen penting dalam kuria keuskupan. Kuria ini adalah tim kerja yang membantu uskup dalam memimpin keuskupan, terutama dalam mengarahkan karya pelayanan pastoral, melaksanakan administrasi keuskupan dan dalam menjalankan kuasa yudisial.
Peran Vikjen itu penting dalam kepemimpinan keuskupan. Ia diangkat oleh uskup dengan bebas dan dapat diberhentikan dengan bebas pula (Kan. 477 dan ketentuan Kan. 406). Hanya seringkali karena banyaknya Vikaris Episcopal (Vikep) yang diangkat oleh uskup dan menangani langsung persoalan pastoral dalam bidang sektoral, personal, maupun territorial, membuat figur Vikjen kelihatan samar-samar dan kerap dianggap “tidak berguna”sebagai alter ego (wakil uskup).
Terkait syarat seorang Vikjen, Pastor Silvester menambahkan dalam Kan. 478 § 1 disebutkan bahwa seorang imam diangkat menjadi Vikjen berumur tidak kurang dari 30 tahun, memiliki gelar doktor atau lisensiat dalam hukum kanonik atau teologi, atau sekurang-kurangnya ahli dalam bidang itu, layak karena ajaran yang sehat, memiliki pengetahuan yang baik, kearifan dan berpengalaman dalam karya. “Hal ini penting supaya jangan sampai jabatan Vikjen dianggap bisa dipadukan dengan jabatan penitensiarius kanonik (Kan. 478 § 2) dan tidak dapat diserahkan kepada orang yang memiliki hubungan darah dengan uskup sampai tingkat keempat,” ujarnya.
Wewenang Vikjen
Meski kerapkali sebagai bayang-bayang uskup, tetapi tugas dan wewenang Vikjen sangat penting. Dalam Kan. 463 § 1 disebutkan Vikjen menjadi salah satu anggota sinode dan harus mengambil peran dalam sinode keuskupan dan terikat pada kewajiban itu. Sinode keuskupan dikepalai oleh uskup, tetapi tugas ini bisa didelegasikan kepada seorang Vikjen. Jadi bila seorang uskup menjalankan kuasa legislatif, sedangkan kuasa eksekutif dijalankan baik sendiri maupun lewat Vikjen menurut norma hukum (Bdk. Kan. 391 § 2).
Dosen Hukum Gereja Sekolah Tinggi Filsafat Seminari Pineleng, Pastor Danny Surentu mengatakan, kuasa Vikjen disebut kuasa ordinaria (biasa) karena berdasarkan hukum universal wewenang tersebut melekat pada jabatannya; sekaligus juga bersifat delegasi, karena ia menjalankan atas nama uskup yang memiliki kuasa. Seorang Vikjen tidak memiliki kuasa lengkap kepemimpinan karena wewenangnnya terbatas pada bidang eksekutif. Vikjen bukan seorang legislator dan juga tidak dapat didelegasikan kepadanya kuasa legislatif oleh Uskup. Dalam Kan. 30 disebutkan ia tidak memiliki otoritas mengeluarkan undang-undang atau bahkan dekrit-dekrit umum yang menyerupai undang-undang. Tetapi ia dapat mengeluarkan dekrit umum eksekutif, misalnya menentukan dengan tepat cara-cara yang harus dipakai dalam menerapkan undang-undang atau yang mendesak pelaksanaannya dalam batas kewenangannya.
Selanjutnya Vikjen juga tidak berwenang melaksanakan kuasa yudisial. Kuasa yudisial dikhususkan bagi uskup diosesan dan ofisial-nya adalah Vikep bukan Vikjen. Vikep membentuk satu tribunal dengan uskup diosesan; dan jabatan ini tidak boleh dijabat oleh seorang Vikjen (Kan. 1420 § 1). Vikjen juga tidak boleh memegang jabatan di bidang tata batin (forum internum) lain mengingat banyak tugas administrasi yang harus dikelola di keuskupan.
Sebenarnya kuasa eksekutif Vikjen sangat luas, meski tidak seluas wewenang uskup diosesan yang dapat mereservasi tindakan-tindakan administratif tertentu bagi dirinya sendiri atau hukum sendiri dapat melarang Vikjen, untuk bertindak dalam hal-hal tertentu tanpa mandat khusus dari uskup.
Peran lain yang tidak kalah penting adalah bila terdapat sede vacante di sebuah keuskupan dan tidak ada uskup auksilier – sampai uskup baru menduduki takhtanya, seorang Vikjen bisa ditunjuk sebagai Administrator Diosesan bila tidak ditunjuk, hendaknya ia menjalankan kuasa yang diberikan oleh seorang administrator yang mengepalai keuskupan tersebut dengan baik.
Bagaimana bila Vikjen berhalangan di suatu keuskupan? Pastor Danny menambahkan dalam Kan. 477 § 2 disebutkan jika Vikjen tidak ada di tempat atau berhalangan secara legitim, maka uskup diosesan dapat mengangkat orang lain untuk mewakilinya. Kuasa seorang Vikjen berhenti dengan habisnya waktu mandat, dengan pengunduran diri dan juga, dengan tetap berlaku saat uskup mengundurkan diri.
Orang Terpercaya
Jabatan Vikjen muncul pada abad ke XIII, sesudah Konsili Lateran IV (1215). Pada masa itu diputuskan bahwa Uskup Diosesan berwenang memilih seorang yang terpercaya dan penuh kasih untuk membantunya dalam penggembalaan. Jabatan Vikjen ini ditetapkan secara defenitif pada abad ke XVI pada masa Konsili Trente tahun 1545. Vikjen ditetapkan sebagai sebuah jabatan di bawah Uskup Diosesan, dengan kuasa jabatan ordinaria yang wewenangnya eksekutif. Jabatan Vikjen diadakan untuk membantu uskup dalam memimpin keuskupan.
Secara etimologis kata Vikaris Jenderal berasal dari bahasa Latin vikarius (pengganti, wakil, pejabat, dan pembantu). Sementara kata jenderal (umum, semuanya, keseluruhan). Dalam terminologi hukum Gereja, Vikjen diartikan sebagai wakil uskup dalam kepemimpinan pastoral di suatu keuskupan. Perbedaan dengan Vikep adalah tugas mereka. Vikep membantu uskup untuk memimpin satu wilayah (misal, kevikepan) atau satu bidang tertentu. Vikjen membantu uskup di sebuah keuskupan dan diinkardinasikan pada kuria keuskupan di tempat ia tinggal.
Soal kewajiban Vikjen disebutkan dalam Kan. 480 disebutkan, Vikjen dan Vikep harus melaporkan urusan-urusan penting baik yang dijalankan maupun yang telah dilakukan kepada uskup, dan jangan pernah bertindak melawak kehendak dan maksud uskup. Karena dipilih atas dasar kasih oleh uskup, maka seorang Vikjen harus tetap memelihara hubungan baik dengan setia bersama uskup. Hubungan itu meliputi terjalinnya komunikasi yang tetap di atara keduanya dan tindakan yang harmonis secara terus-menerus. Vikjen dan uskup hendaknya memikirkan secara serius dalam menentukan harta benda gereja, komunikasi yang baik, dan kompleksitas keuskupan.
Jabatan Vikjen ini jauh sudah ada lebih dahulu sebelum jabatan Vikep yang baru ditetapkan dalam Konsili Vatikan II Dekrit Christus Dominus (Tugas Pastoral Para Uskup dalam Gereja) yang dikeluarkan pada 28 Oktober 1964, antara lain menyatakan: “Dalam Kuria Keuskupan fungsi utama ialah fungsi Vikjen, tetapi bilamana diperlukan untuk memimpin keuskupan dengan tepat guna, uskup dapat mengangkat seorang Vikep…”
Kan.480 berbicara soal relasi antara Vikjen, Vikep, dan uskup diosesan. Vikjen dan Vikep memiliki wewenang yang luas, namun itu harus dipahami dalam terang relasi mereka dengan uskup diosesan. Disebutkan bahwa perlunya koordinasi erat antara uskup, Vikjen dan Vikep yaitu Vikjen dan Vikep mengambil bagian dalam tanggung jawab (sollicitudo) uskup. Meski begitu mereka tidak boleh bertindak dalam dan atas nama uskup (kecuali mendapatkan delegasi) dan juga tidak berpartisipasi dalam kepemimpinan kolegial keuskupan.
Dalam tugas mereka, secara langsung bertanggung jawab kepada u skup dan harus melaporkan segala urusan penting baik yang akan mereka laksanakan. Bila dalam laporan itu, uskup menolah suatu kemurahan mereka, maka Vikjen dan Vikep – entah diberitahu tentang penolakan itu atau tidak – harus menerima kemurahan itu (Bdk. Kan. 65 § 3).
Vikjen dan Vikep tidak boleh bertindak melawan kehendak dan maksud uskup. Supaya ketentuan itu dapat berjalan dengan sendirinya secara organisatoris, biasanya uskup menetapkan kedudukan Vikjen dan Vikep sebagai ex officio dalam anggota Dewan Konsultores Diosesan.
Vikaris Apostolik
“Vikaris Apostolik adalah seorang uskup atau imam yang dipilih untuk memimpin sebuah wilayah Vikariat Apostolik yaitu wilayah gerejani yang belum cukup berkembang menjadi sebuah keuskupan yang swadaya (mandiri). Wilayah ini dipimpin atas nama Sri Paus oleh seorang vikaris yang ditahbiskan uskup (tituler). Sebelum wilayah tersebut dianggap pantas menjadi suatu vikariat biasanya sudah bertahun-tahun lamanya menjadi Prefektur Apostolik (Kan. 371). Dalam banyak hal kedudukan vikaris disamakan dengan Uskup Diosesan. Di Indonesia vikariat terakhir adalah Jayapura (1954-1967). Sementara yang pertama di seluruh dunia adalah Vikariat Belanda (1602-1853). Di Indonesia vikariat pertama adalah Batavia (Jakarta) pada 1842.”
Vikaris Episcopal
“Biasanya disingkat Vikep adalah jabatan gerejani yang diadakan oleh Konsili Vatikan II kepada seorang pastor atau uskup auksiliaris atau uskup koajutor dalam sebuah keuskupan untuk mewakili sebagian tugas-tugas dan wewenang uskup dalam suatu wilayah keuskupan. Ia memiliki beberapa bidang tugas misalnya visitasi paroki, pastoral kategorial, atau golongan umat seperti kaum muda, transmigran, dan sebagainya. Wewenang Vikep di wilayahnya hampir sama dengan seorang Vikjen di keuskupan. Ia diangkat oleh uskup setempat. Jabatan ini harus diberikan kepada seorang Uskup bantu (kalau ada) tetapi kalau tidak bisa kepada seorang imam untuk jangka waktu yang ditentukan uskup. Jabatan ini tidak bersifat seumur hidup dan akan kehilangan jabatannya begitu uskup yang melantiknya meninggal atau mengundurkan diri.”
Vikaris Kapitularis
“Biasanya juga disebut administrator keuskupan yang dipilih oleh Dewan Penasehat Keuskupan dalam jangka waktu 8 hari untuk mengurus keuskupan usai sede vacante karena uskup mengundurkan diri atau meninggal. Kalau cara ini tidak dilaksanakan oleh dewan penasihat atau kalau tidak ada misalnya dewan misi, maka Uskup Agung (keuskupan metropolitan) dari keuskupan sufragan tersebut bisa menjadi administrator. Tetapi bila uskup agung berhalangan karena situasi tertentu, maka uskup sufragan tertua di wilayah metropolitan itu bisa diangkat menjadi seorang vikaris. Ia menjadi vikaris dengan tidak memegang keuangan keuskupan, mengadakan perubahan atau tindakan yang merugikan keuskupan atau meniadakan dokumen-dokumen penting (Kan. 423-428).”
Vikaris Militer
“Saat ini vikaris militer adalah jabatan untuk seorang yang dipilih melayani di sebuah Vikariat Militer yang saat ini disebut Keuskupan Militer (Ordinariatus Castrensis). Tugas utama dari vikaris ini adalah melayani keperluan rohani dan pastoral umat Katolik di kalangan TNI-Polri atau instansi-instansi militer lainnya beserta keluarganya. Hal ini ditegaskan pertama kali dalam Konsitutasi Apostolik Spirituale Militum Curae 1986 tentang pelayanan rohani dan pastoral di angkatan bersenjata. Di Indonesia Vikariat Militer didirikan pada1949 dan dikepalai Mgr. A Soegijapranata, SJ; Kardinal Justinus Darmojuwono, SJ; dan Kardinal Julius Darmaatmadja, SJ. Sejak 1986, vikariat ini dinaikan statusnya menjadi Ordinaris Militer Indonesia dengan Ordinaris pertama Kardinal Darmaatmadja lalu kini dipimpin Kardinal Ignatius Suharyo.”
Vikaris Parokial
“Dalam KHK 1983, imam yang membantu pastor paroki secara tetap untuk pelayanan pastoral di paroki disebut vikaris parokial. Penyebutan lain untuk vikaris parokial adalah pastor pembantu atau pastor rekan. Paragraf pertama dari Kan. 545, yang merupakan formulasi yuridis dari apa yang tertuang dalam Christus Dominus art. 30, mendeskripsikan figur yuridis vikaris pastoral sebagai rekan-kerja pastor paroki yang mengambil bagian dalam keprihatinannya dengan musyawarah serta usaha bersama dan dibawah otoritasnya memberikan bantuan dalam pelayanan pastoral. Pengangkatan seorang vikaris bukan sebuah prinsip dasar atau sesuatu yang bersifat obligatoris (keharusan) untuk sebuah paroki. Tetapi sangat tergantung pada diskresi uskup diosesan yang mempertimbangan secara saksama kebutuhan pastoral sebuah paroki. Vikaris ini tidak saja satu tetapi bisa lebih dari itu.
Yustinus Hendro Wuarmanuk dari berbagai sumber
HIDUP, Edisi No. 09, Tahun ke-77, Minggu, 26 Februari 2023