HIDUPKATOLIK.COM – Paus Fransiskus memang sering kali menampakkan perhatian akan kawasan pinggiran, daerah konflik.
SEMENTARA pengamat menuliskan bahwa kunjungan Paus Fransiskus ke Kongo dan Sudan Selatan, 31 Januari-5 Februari 2023 menggambarkan secara jelas pokok perhatian dan keprihatinan dasar penggembalaan Gereja dari Paus Fransiskus. Malahan ada yang mengatakan peristiwa ini sebagai momen menentukan bagi kiprah Gereja Katolik di tengah dunia kehidupan. Bahkan Christopher Lamb dari The Tablet menuliskan laporan dengan judul, Francis comes alive: A papacy is reborn in Africa.
Tidaklah mengherankan kalau perhatian besar diarahkan pada kunjungan Paus tersebut. Media-media di luar Gereja pun, seperti The Washington Post dan The New York Times, malahan Al Jazeera melaporkan secara khusus kunjungan tersebut dalam liputan mereka, belum lagi berbagai media di Eropa. Setelah pengalaman pandemi dan di tengah krisis sosial serta tegangan dalam relasi internasional terutama akibat konflik Ukraina-Russia, banyak orang menantikan kiprah dan keterlibatan agama-agama di tengah berbagai persoalan tersebut. Kunjungan Fransiskus seakan memberi pedoman arah dan acuan terang akan penantian tersebut. Bahkan The New York Times tentang kunjungan Paus ke Sudan Selatan menuliskan, The world’s Newest Country is Broken and Forgotten. Enter Pope Francis.
Paus Fransiskus memang sering kali menampakkan perhatian akan kawasan pinggiran, daerah konflik, dan negara yang Gereja Katolik memberi perhatian besar akan persoalan sosial terkait persoalan keadilan, perhatian akan kaum miskin dan kerusakan lingkungan, demikian pula perhatian akan gerakan-gerakan kemasyarakatan serta kelompok suku asli. Perubahan otentik datang dari bawah dan pinggiran, demikian salah satu keyakinannya. Dia karenanya mengharapkan wajah dan kehadiran Gereja yang seperti itu pula.
Dunia Terpecah
Konflik sosial, perebutan kekuasaan dan wilayah, korupsi untuk memperkaya diri ataupun kelompok, eksploitasi alam, terlebih untuk tambang, maupun kekerasan bersenjata, seakan merupakan fenomen yang mudah ditemukan di Kongo dan Sudan Selatan. Malahan kekerasan seakan-akan menjadi pemandangan sehari-hari, yang disertai pula dengan perdagangan senjata. Hasilnya adalah kemiskinan dan ketidakadilan, perpecahan dan pertumpahan darah. Tidak hanya alam, namun pula umat manusia dirusak oleh semuanya itu. Itulah wajah dunia yang tidak hanya merusak, namun pula menghancurkan dirinya sendiri, demikian Paus Fransiskus menggambarkan.
Itulah wajah dunia yang terpecah. Perasaan tidak aman dan terancam dirasakan oleh masyarakat setempat. Mereka gamang membayangkan kehidupan mereka nantinya, karena eksploitasi alam yang masif dan kerusakan akibat kekerasan berdarah yang masih terus berlangsung, menjadikan mereka tidak tahu bagaimana membangun masa depan. Ketika mengunjungi kamp penampungan pengungsi di Juba Sudan Selatan, Fransiskus mengingatkan bahwa tidak selayaknya mereka dibiarkan tinggal begitu lama di perkampungan pengungsian. Namun dikeluhkan seringkali tidak ada yang peduli dengan mereka, sehingga kehidupan mereka makin memburuk dan masa depan mereka makin suram.
Tidak mengherankanlah kalau di tengah situasi seperti itu, dia meminta agar imam dan religius berani berkotor tangan, mau mendengarkan dan berdialog dengan mereka yang menderita dan tersingkir. Di tengah dunia yang pecah dan terluka ini, Gereja jangan hanya diam, tidak peduli, menikmati status dan kenyamanan dalam dirinya. Gereja harus dekat dengan para kurban kekerasan dan ketidakadilan sosial. Gereja perlu berupaya keras agar perpecahan diatasi dan luka disembuhkan, sehingga kehidupan yang lebih baik bisa dibangun. Gereja perlu berani menyentuh luka dunia kehidupan, demikian Paus dalam homilinya di Kinshasa, agar benih kedamaian ditanamkan dan hati yang terbuka ditumbuhkan.
Suara Kenabian Gereja
Gereja di tengah beragam persoalan tersebut dipanggil sebagai Gereja yang menyatakan suara kenabiannya. Gereja dipanggil menjadi sakramen keselamatan bagi umat manusia, dan untuk itu perhatian yang kecil dan tersingkir, diabaikan dan kurang didengarkan serta diperhatikan. Gereja ada untuk dunia kehidupan, sebagai garam dan terang bagi dunia, demikian dikatakan Paus dalam homili misa di Juba, Sudan Selatan. Gereja adalah pelayan umat manusia, bagi kesejahteraan umum bersama.
Di Kongo Paus Fransiskus meminta Gereja, terlebih para uskup, untuk meneladan Uskup Agung Christophe Munzihirwa dari Bukavu Zaire waktu itu (Kongo Sekarang), yang dibunuh pada tanggal 29 Oktober 1996, dan sekarang sedang dalam proses penyelidikan kesucian. Dia menampung para pengungsi akibat dari konflik berdarah suku Rwanda dan Hutu, serta mengecam kekerasan bersenjata di tengah konflik tersebut. Setelah ditembak mati, jenasahnya lalu ditemukan dibuang di pinggir jalan sudah dalam keadaan membusuk. Tuhan tidak akan pernah meninggalkan kita kalau kita peduli dengan kehidupan sesama kita, demikian pesan yang disampaikannya sehari sebelum dia gugur sebagai martir. Semoga benih yang telah ditanamkannya berbuah bagi daya semangat misioner Gereja, demikian harapan Paus.
Di Sudan Selatan Fransiskus menyebut Santa Yosephine Bakhita, seorang Suster Kanosian, yang sempat menjadi kurban perdagangan manusia, dijual sebagai budak. Dia mengalami itu tidak hanya sekali, hingga akhirnya dibawa ke Italia, menjadi Katolik dan akhirnya masuk biara. Betapapun demikian dia tidak menaruh dendam pada mereka yang memperlakukannya tidak dengan hormat akan martabat pribadinya. Paus lalu mengutip Paus Benediktus XVI yang menyebutkan tentang kekuatan harapan dalam diri Santa Bakhita tersebut. Harapan itu menjadikannya membuka hati untuk menjumpai semua orang.
Maka dia mengharapkan agar pimpinan Gereja tidak menjadi tuan ataupun menejer, melainkan gembala di tengah umat. Kepemimpinan Gereja adalah untuk melayani. Langkah penjelmaan Putera hingga wafat di salib menjadi acuannya. Paus juga mengacu pada figur Musa, yang menjadi perantara bagi umatnya di hadapan Allah, sehingga menempatkan dirinya berada di tengah sejarah mereka untuk membawa mereka semakin dekat dengan Allah. Dia mengutip Carlo Martini, Uskup Milan, yang mengatakan bahwa berdoa bagi seseorang itu berarti melangkah ke tengah kehidupannya, berjalan ke tengah situasi yang ada.
Baginya hal itu berarti membangun Gereja yang melangkah ke tengah ruang kehidupan, ke tengah realitas penderitaan, ke tengah tangisan dan bahkan rasa haus akan Allah serta rasa lapar akan kasih kepada sesama. Kita tidak dipanggil menjadi Gereja yang rapi tertata secara organisatoris, sebagaimana perusahaan-perusahaan melakukan itu, demikian diingatkannya. Gereja Kristus adalah Gereja yang berada di tengah-tengah umat dan masyarakat yang hidupnya sedang menghadapi berbagai terpaan persoalan, Gereja yang mau bertangan kotor dan menyentuh luka. Pemimpin Gereja karenanya adalah para pengikut Kristus dan memberi ruang bagi-Nya, bukan para pejabat kuasa suci atau pemimpin yang sibuk dengan struktur dan strategi. Gambaran Gereja yang berjalan bersama, itulah yang dibayangkannya.
Tidak untuk kekerasan dan korupsi, namun ya, untuk dialog dan perjumpaan. Demikian ditegaskan Paus saat audiensi umum di Vatikan merefleksikan kunjungan tersebut. Gereja adalah pengikut Pangeran Perdamaian, maka diutus juga untuk mewujudkan perdamaian di tengah umat manusia. Salah satu tantangan perdamaian tersebut, mengingat kunjungan ke Sudan Selatan adalah kunjungan bersama primat Anglikan Uskup Justin welby dan moderator Gereja Skotlandia, Iain Greenshields, maka kesatuan ekumenis Gereja juga perlu menjadi perhatian pula. Kesatuan itu telah dicoba dirintis lewat upaya perdamaian di Sudan Selatan. Gereja adalah pembawa harapan bagi kedamaian dan keadilan.
T. Krispurwana Cahyadi, SJ
HIDUP, Edisi No.08, Tahun ke-77, Minggu, 13 Februari 2023