web page hit counter
Minggu, 29 Desember 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Awal Februari Paus ke Kongo dan Sudan Selatan: Benua Afrika Penting bagi Gereja

5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.COM – PAUS Yohanes Paulus II dalam Ecclesia in Africa (1995) menggambarkan Afrika bagaikan sebuah benua yang terlupakan, dipandang rendah, dan cenderung hanya hendak dieksploitasi belaka, terlebih eksploitasi ekonomi oleh negara-negara maju, maka tembok yang membatasi serta memisahkan Afrika dari dunia lain perlu diruntuhkan. Gereja   bertanggungjawab untuk menguatkan warga Afrika dengan harapan akan pembebasan sejati, demikian ungkapnya.

Paus Fransiskus pun memiliki perhatian besar akan Afrika. Bahkan saat membuka tahun kerahiman, dia mengawalinya secara simbolis di Afrika Tengah, daerah konflik. Baginya Afrika adalah harapan. Afrika tidak pernah selesai memberikan kekaguman dan kejutan, demikian dikatakannya di tahun 2015 setelah berkunjung ke beberapa negara Afrika.

Seorang penambang artisanal membawa sekarung bijih di tambang artisanal Shabara dekat Kolwezi di Republik Demokratik Kongo pada 12 Oktober 2022.

Di Afrika Gereja mencoba membangun sebagai Gereja yang hidup, berangkat dari pengalaman Pantekosta, di mana semangat misioner dan dialog tumbuh, berakar dalam budaya mereka sendiri. Hal tersebut dikatakannya saat diwawancari oleh media Mundo Negro, di pertengahan Desember 2022.

Afrika sendiri merupakan kawasan yang perkembangan umat Katoliknya paling subur. Bahkan dicatat bahwa sekitar 20% umat Katolik dunia ini adalah orang Afrika. Umat Katolik Afrika tidak saja bertumbuh dalam jumlah, namun juga berkembang dalam menghidupkan dan memaknai Kristianitas di tengah ruang kehidupan mereka, baik dalam bahasa baru maupun dalam denyut rohani yang khas bagi mereka. Jumlah orang muda mereka pun  amat besar, dengan beragam persoalannya.

Akan tetapi Afrika juga menghadapi tantangan raksasa: kemiskinan, kesenjangan sosial, korupsi, rendahnya literasi, konflik suku dan agama, pengungsi maupun kerusakan lingkungan. Kawasan Kongo dan Sudan Selatan menggambarkan pula dampak parah dari   perbudakan dan kolonialisme ekonomi, perang serta diktatorisme kekuasaan.

Di sanalah Gereja menghadapi tantangan profetis: bagaimana menjadi Gereja Katolik, menjadikan Gereja sebagai sakramen keselamatan Allah di tengah dunia. Tantangan akan karya pendidikan, kesehatan maupun sosial menjadi keprihatinan Gereja, belum lagi soal kerohanian serta kehidupan dan kehadiran Gereja Katolik di sana.

Baca Juga:  Uskup Bandung, Mgr. Antonius Subianto Bunjamin, OSC: Kebersamaan yang Berkualitas

Kepedulian Hati

Kunjungan apostolik Paus ini sebenarnya adalah kunjungan yang tertunda. Namun pula perhatian akan kedua kawasan tersebut telah beberapa kali diperlihatkannya, terlebih akan situasi konflik dan kekerasan yang melanda di sana. Pada tanggal 23 November 2017 Paus memimpin ibadat bagi perdamaian di Kongo dan Sudan Selatan, karena tertundanya kunjungannya, akibat situasi yang masih belum memungkinkan. Bahkan di tahun 2019 Paus bersama Uskup Cantebury, Justin Welby, mengundang para pemimpin Gereja Sudan Selatan untuk mengadakan hari doa, dalam peristiwa tersebut Paus sampai mencium kaki para pemimpin Sudan Selatan yang bertikai untuk menghimbau mereka berani merendahkan diri dan berdamai. Di bulan Juli 2022 direncanakan lagi kunjungan tersebut, namun akhirnya tertunda lagi, karena kondisi kesehatan kaki Paus yang menghambat banyak mobilitas geraknya. Namun dia menyampaikan pesan video di tanggal 2 Juli 2022 sebagai pengganti sementara kunjungan tersebut.

Rekonsiliasi merupakan inti dari kunjungan Paus ini, demikian ungkap Kardinal Pietro Parolin, sekretaris negara Vatikan. Baginya kunjungan tersebut selain bersifat pastoral namun pula memiliki muatan sosial-politis, tekanan akan berlanjutnya proses perdamaian serta rekonsiliasi di dua kawasan tersebut. Ziarah perdamaian, begitu Fransiskus lalu menggambarkan kunjungannya tersebut.

Situasinya saat ini sebenarnya masih sangat rawan, beberapa hari sebelum kunjungan Paus ke Kongo masih ada aksi kekerasan di sana, menewaskan cukup banyak orang. Tidak mengherankanlah kalau dikatakan bahwa ini adalah kunjungan yang berani.

Namun Vatikan tetap merasa ini adalah saat yang tepat, agar gema suara akan perdamaian dan rekonsiliasi, dialog dan pemulihan kehidupan bersama dapat semakin diupayakan dan diwujudkan, betapapun memang ini adalah langkah yang tidak sangat mudah.  Kongo dan Sudan Selatan adalah kawasan yang penuh luka mendalam, namun janganlah harapan hidup dan iman dirampas dari sana, demikian ungkap Paus.

Baca Juga:  Uskup Bandung, Mgr. Antonius Subianto Bunjamin, OSC: Kebersamaan yang Berkualitas

Fransiskus pun mengingatkan, terlebih saat bertemu dengan para pemimpin politik Kongo dan Sudan Selatan, akan kawasan indah di kedua negara tersebut, yang digambarkannya bagaikan mutiara, namun telah dirusak parah yang ditandai dengan tetesan darah yang menggenangi kawasan tersebut. Kepentingan ekonomi dan kekuasaan lah yang terutama melatar-belakangi, selain juga persoalan konflik suku. Tidak mengherankanlah kalau Paus berseru lantang akan apa yang disebutnya sebagai kolonialisme ekonomi.

Kolonialisme ekonomi tersebut, yang melibatkan pula negara-negara maju, memperparah korupsi dan perusakan lingkungan, kekerasan bersenjata dan perpecahan antar kelompok. Afrika dieksploitasi, demikian ungkap Paus di Kongo. Eksploitasi itu tidak hanya merusak namun pula menghancurkan Afrika. Negara-negara maju, dan kelompok elit politik dan ekonomi negeri itu, yang merusaknya, menutup mata, telinga dan mulut di tengah situasi itu. Mutiara Afrika telah dinodai, karena setelah rusak mereka melupakan dan meninggalkannya begitu saja, lepas tangan. Berhentilah mencekik Afrika, sehingga rakyat miskin Afrika kehilangan ruang nafas kehidupannya.

Afrika Adalah Pesan

Pesan dari Afrika kiranya ditujukan pula kepada dunia. Pesan tersebut memperlihatkan kepedulian hati Gereja dan Paus Fransiskus.  Dunia kehidupan yang lebih baik, menghargai orang dan budaya setempat, menjaga harmoni kehidupan manusia dan alam, merupakan komitmen iman yang dihidupi Gereja. Hal tersebut juga diperlihatkan dengan memberi ruang bagi liturgi ritus Zaire saat Ekaristi, yang sebelumnya juga pernah dipakai saat ekaristi di Vatikan pada bulan Juli 2022.

Paus Francis berjabat tangan dengan Presiden Felix Tshisekedi.

Langkah yang diusulkan Paus adalah langkah dialog, diplomasi. Langkah tersebut berpusat pada pribadi, bukan pada tanah ataupun sumber alam yang akan lebih dicari hanya demi keuntungan belaka. Bagaimana pribadi dan masyarakat setempat bertumbuh dan maju, itulah yang hendaknya diupayakan. Tanpa itu yang terjadi hanyalah eksploitasi dan akhirnya kekerasan berdarah.

Baca Juga:  Uskup Bandung, Mgr. Antonius Subianto Bunjamin, OSC: Kebersamaan yang Berkualitas

Kekayaan pribadi dan budaya setempat perlu lebih diberi ruang hidup, karena hal itu akan lebih membawa kepada perkembangan sejati bagi masyarakat setempat. Dalam membangun persaudaraan sejati dalam dunia, jangan sampai ada yang tertinggal dan dilupakan, terlebih karena adanya hasrat mendominasi dan menguasai. Sinodalitas Gereja ditempatkan pula dalam konteks gerak serta pengalaman ini.

Paus memberi perhatian akan sumbangan keterlibatan orang miskin dan kaum perempuan dalam pembangunan masyarakat. Terlebih perhatian diarahkannya pada pelayanan sosial, kesehatan dan pendidikan, di mana di sana perempuan, termasuk para Suster, terlibat banyak.

Kita diingatkan akan apa yang ditulis Benediktus XVI dalam Deus Caritas est, bahwa kehadiran Gereja di tengah masyarakat dan dunia terutama diperlihatkan lewat karya serta kepedulian sosialnya, dari apa yang dibuatnya bagi kehidupan bersama. Kesaksian itulah yang menyatakan kehidupan iman dan kehadiran Gereja.

Mengapa kunjungan   kali ini dipandang penting oleh sebagian besar pengamat dan bahkan kalangan Vatikan, tidak lain karena lewat kunjungan ini Paus hendak menegaskan hakikat hidup dan perutusan Gereja, Gereja yang peduli akan kehidupan dan menegakkan keluhuran martabat manusia. Tidak mengherankanlah kalau sampai ada yang menuliskan bahwa kunjungan ini merupakan suatu tusukan bagi Gereja Katolik di Eropa dan Amerika Utara. Kunjungan ini adalah tanda bagi dunia, demikian Justin Welby melukiskan. Kita pun, karenanya perlu belajar dari makna dan pesan dari kunjungan ini.

T. Krispurwana Cahyadi, SJ

HIDUP, Edisi No. 08, Tahun ke-77, Minggu, 13 Februari 2023

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles