HIDUPKATOLIK.COM – SEBENTAR lagi, pagi bakal menuju tengah hari. Sulur-sulur mentari mulai terasa menggigit kulit sementara silau cahayanya mengerutkan pupil mataku. Kupercepat langkah mencapai lokasi, sebagaimana janjiku padamu. Akhirnya, dengan bulir-bulir peluh yang membasuh tubuh, aku tiba. Dugaanku tak keliru, kau terlebih dahulu datang.
Mendung menggelayut di parasmu yang elok. Tatapan matamu seketika melesat, lantas menukik ke arahku. Sesabit senyum yang terkesan dipaksakan, menyongsongku. Sesaat, kelopak matamu yang sembab menyembunyikan manik matamu yang bersalut kelabu. Tidak seperti biasa, tiada riuh canda terluncur dari mulutmu. Perjumpaan kali ini kurasa hambar dan dingin.
“Ada apa, Rin?” sapaku memecah kebisuan.
“Aku sedang sedih banget,” ucapmu sembari menyodorkan tangan kananmu di hadapan batang hidungku. Kulihat bercak-bercak putih di situ.
“Wah… muncul spot baru…,” ujarku prihatin.
“Sepertinya belang-belang di kakiku belum cukup…,” lanjutmu dikuntit helaan napas panjang.
“Semoga tidak melebar lagi ya,” kataku.
Aku bisa membayangkan betapa sedih dirimu. Kulit kakimu sudah belang bentong tak karuan. Kini, bercak-bercak putih itu seperti hendak menjelajah tanganmu.
“Ini saja sudah seperti kulit sapi,” keluhmu seraya menjulurkan sepasang kakimu yang belang-belang.
Aku seakan ikut menelan kegetiran yang kau rasakan. Belum lagi selarik kecemasan yang datang dan pergi semena-mena di hatimu. Bagaimana kalau belang-belang putih ini merambah wajah?
Kau memiringkan tubuh. Sejenak ekor mataku memergoki air matamu nyaris tumpah. Kau tampak berupaya membendung air matamu supaya jangan sampai jebol. Ternyata, kau tidak sanggup. Mendung di matamu pecah menjadi butiran-butiran bening yang menghilir perlahan di pipimu. Sementara rasa kesal menggunduk di dada, parasmu yang ayu terlihat begitu sendu.
“Teruslah berobat, Rin. Metode kedokteran sekarang sudah kian berkembang. Pasti akan ada jalan untuk mengatasinya,” hiburku menyulut sumbu harapan di hatimu. Tak banyak kata yang terlontar dari mulutmu waktu itu. Sebagai sahabat, aku memahami bahwa diammu menyimpan berlapis duka.
***
Sopak atau vitiligo. Itulah nama penyakit kulit yang kau derita. Sopak terjadi karena sel-sel penghasil pigmen mati atau berhenti berfungsi. Alhasil, kulit tidak dapat memproduksi melanin, yakni senyawa yang menghasilkan warna. Kondisi ini menyebabkan hilangnya warna kulit sehingga menjadi bercak-bercak putih.
Bagimu, penyakit yang diturunkan secara genetis ini laksana kutuk tak berujung. Entah muncul sejak kapan di garis keturunan nenek-moyangmu. Menurut ibumu, leluhurmu sudah mengalami penderitaan serupa. Yang sempat kau lihat, nenekmu dari garis ibu, menderita sopak.
Hingga masa remaja, kelainan pigmen itu belum menyembul di tubuhmu. Dulu, aku kerap membatin betapa beruntungnya dirimu. Anugerah kecantikan terpampang di wajahmu. Kau ayu dan lembut. Itu pun masih dilengkapi dengan senyum menawan yang kau miliki. Betapa lengkap anugerah yang kau peroleh.
“Kau mesti bersyukur sekali dikaruniai wajah seayu ini,” ungkapku.
“Benar nih?” balasmu seakan masih butuh peneguhan.
Paras cantik yang kau miliki menjadi semacam magnet bagi lawan jenis. Tentu tak sembarang lelaki punya nyali menghampirimu. Seiring waktu bergulir, kau seakan terbenam dalam anugerah kecantikanmu. Beberapa teman kuliah teperdaya oleh parasmu yang bening dan mulus. Dan kau menikmatinya…
Semula tiada terlintas di benakmu, bakal ada tetesan genetis sopak. Bahkan ketika kakimu mulai belang, kau masih belum dirajam gundah. Hanya sekali, kau menumpahkan kecemasanmu kepadaku.
“Pakai celana panjang ‘kan tidak kelihatan,” saranku.
“Nenekku sopak sih,” gerutumu dengan suara menyerupai bisik. Seiring usia, kurasakan kecemasan mulai menelusuk hatimu. Manusia mana yang mau berkulit belang-belang?
“Penyakit jahanam ini seperti kutuk,” keluhmu dengan paras murung.
“Kamu perlu berkonsultasi pada dokter kulit supaya bercak-bercak itu tidak kian melebar,” saranku lagi membesarkan hatimu. Aku ingat, kau tepekur cukup lama pada waktu itu. Diam yang bergemuruh. Bisakah sopak dibendung sebelum terlanjur merajalela?
Sejak itu, kau rajin berkonsultasi pada dokter spesialis kulit. Berbagai pengobatan kau tempuh. Betapa kau ingin meretas titisan sopak di tubuhmu…
***
Sekian lama tiada perjumpaan antara aku dan kau. Pekerjaan memaksaku beranjak dari Ibu Kota. Jarak yang menelentang membuat kita jarang berkabar. Tiada lagi kudengar kerisauanmu terhadap sopak. Tentu kau sudah mengerahkan segala daya dan dana untuk mengatasinya. Kuharap, teknologi kedokteran mutakhir sanggup menyembuhkanmu.
Pada suatu malam, rindu menggelitik hatiku, memikirkanmu. Seketika kuhubungi ponselmu.
“Bagaimana kabarmu, Rin?” sapaku diselimuti keingintahuan.
“Begini-begini saja,” balasmu datar.
“Bagaimana pekerjaanmu?” tanyaku lagi.
“Sekarang, aku bekerja di rumah saja, terima pesanan makanan,” jawabmu perlahan.
Ada segepok tanya di benakku, bagaimana mungkin kau tidak lagi mencari nafkah di kantor, sebagaimana dambaanmu meniti karier? Namun, keberanianku tidaklah memadai untuk mengorek kondisimu lebih jauh. Aku tidak ingin lontaran tanyaku malah menusuk perasaanmu.
Hingga kesempatan itu tiba, aku kembali ke Ibu Kota. Aku segera menjumpaimu. Sekian waktu, aku tercekat menatapmu. Ke mana sosokmu yang dulu? Aku seperti kehilangan dirimu kendati kau sungguh ada di hadapanku. Kau telah menjelma menjadi sosok yang kurang percaya diri.
Pada akhirnya, kekhawatiranmu selama bertahun-tahun menjadi kenyataan. Sopak merampas kecantikanmu, menyisakan rasa enggan untuk berjumpa dengan orang lain.
“Ya beginilah aku sekarang. Aku seperti kena kutuk,” katamu lesu.
Lantas, tanpa kata kau menarik lenganku untuk melihat aktivitasmu sekarang; berkutat di dapur.
“Aku bikin makanan,” bebermu. “Lumayan untuk menyambung hidup.”
Ternyata, pada akhirnya kau tak sanggup lagi menjalani keseharian dengan banyak mata menatapmu. Ada tatapan iba, kasihan, ada juga tatapan janggal. Apa pun itu, tatapan mereka seakan mengulitimu. Sakit dan perih….
Kau pun bertutur tentang sepi. Dua adikmu telah menikah dan meninggalkan rumah peninggalan orang tuamu. Di kediaman yang megah itu, kau kerap melukis sepi dengan goresan-goresan gundah yang tak kunjung usai. Hidupmu digerogoti sunyi. Sepi itu laksana lintah, mengisap dan menghabiskan energi.
“Aku memilih untuk melajang. Aku ingin memutus mata rantai sopak. Kasihan kalau keturunanku berkulit belang-belang begini,” ujarmu dengan tatapan hampa.
“Bisa kau bayangkan, berkaca saja aku ngeri,” imbuhmu getir, teramat getir.
Kosa kata di benakku seakan menguap di hadapanmu. Sopak telah merobek segala impian indahmu tentang masa depan.
“Tuhan akan membukakan jalan untukmu,” kataku membombong semangatmu yang keburu terkulai. “Yang penting, hidupmu tetap berarti. Bekerja apa pun.”
Lalu, kudengar salah satu adikmu juga mulai menderita sopak. Penyakit itu datang belakangan setelah ia keburu mengikat janji dengan sang pujaan hati. Ia tidak seperti dirimu, yang jauh-jauh hari sudah menimbun tekad untuk memutus rantai “kutuk” ini.
Hingga aku berjumpa lagi denganmu tatkala senja telah menjadi petang. Burung-burung di udara tengah berseliweran kembali ke sarang masing-masing. Sementara bayang-bayang pepohonan jangkung yang semula rebah di batang jalan, perlahan sirna dilumat petang.
Aku sedih menatap bercak-bercak putih kian melebar di wajahmu. Kali ini, kau tampak telah berdamai dengan realitas. Aku merasa lega karena kau tidak terperosok ke dalam jurang kecewa yang curam. Kau segera bangkit.
Sejurus berselang, aku bagai dilabrak petir mendengar ucapanmu, “Minggu depan, aku mulai tinggal di sebuah biara. Sesekali kau tengok aku ya…”
Kali ini, kudengar nada suaramu riang.
Oleh Maria Etty
HIDUP, Edisi No. 07, Tahun ke-77, Minggu, 6 Februari 2023