HIDUPKATOLIK.COM – Imbas pendidikan suram di Papua mengancam potensi anak-anak Papua untuk menjadi generasi emas bangsa. Ada panggilan untuk mengubah wajah pendidikan Papua.
IRONIS. Kata ini menggambarkan pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) di tanah Papua. Badan Pusat Statistik di awal tahun 2021 merilis Indeks Pembangunan Manusia untuk Provinsi Papua 60,62 persen dan Papua Barat 65,26 persen. Meski capaian kedua provinsi naik secara gradual, tapi skor tersebut merupakan yang terburuk di seluruh Indonesia.
Pembangunan SDM masyarakat Papua menjadi agenda yang mendesak. Meski berbagai studi menunjukkan strategi yang dilakukan pemerintah berupa Otonomi Khusus, pembangunan infrastruktur, hingga berbagai pemekaran wilayah belum mampu mengatasi peliknya masalah kesejahteraan. Strategi tersebut juga belum mengatasi stigma yang sering ditujukan pada orang Papua: miskin, sakit, dan tak terdidik.
Membaca situasi ini, Agustinus Tenau mengatakan bila pemerintah belum cukup membantu pendidikan di Papua, maka pemuda-pemudi Papua harus “menceburkan” diri dalam membantu usaha negara mencerdaskan masyarakat Papua. Strategi mengatasi stigma dan peliknya masalah pendidikan hanya bisa diwujudkan bila ada kemauan dari anak-anak Papua.
“Dengan tekad yang bulat, saya ingin mendorong wajah pendidikan Papua sejuk- tidak saja unggul soal akademik tetapi seimbang dalam pendidikan humanis, vokasi, dan spiritual. Orang Papua harus merdeka dalam bidang pendidikan,” ujar Agustinus.
Buta Aksara
Motivasi menata dan menatap wajah pendidikan di Papua berbagai potret mirisnya membawa Agustinus terjun ke dunia politik. Anggota DPRD Kabupaten Maybrat, Provinsi Papua Barat Daya ini menyebutkan tujuannya agar melayani anak-anak dari berbagai wilayah pedalaman untuk bisa mengecam pendidikan.
Dirinya bersyukur bisa duduk sebagai pemangku kebijakan sosial untuk meningkatkan kualitas manusia di Papua khususnya bidang pendidikan. Lewat perjuangannya ia telah berhasil memberikan beasiswa kepada ratusan anak di pedalaman Papua untuk mengenyam pendidikan tidak saja di Papua, tetapi juga di berbagai wilayah Indonesia seperti Yogyakarta, Manado, Jakarta, Bandung, Malang, dan sebagainya.
“Saya ingin memutuskan mata rantai buta aksara di Papua. Saya ingin tidak ada stigma masyarakat Papua itu tak terdidik. Banyak bukti menunjukkan anak-anak Papua dari pedalaman sekalipun memiliki kemampuan intelektual yang setara dengan anak-anak kota,” sebutnya.
Ia melanjutkan di Papua kondisi pendidikan tidak saja buruk di wilayah Papua Pesisir, tetapi terburuk di pegunungan. Ada banyak indikator penunjang yang menambah bercak suram wajah pendidikan Papua. Kurangnya tenaga pendidik misalnya lebih banyak guru memilih mengajar di area perkotaan ketimbang pedalaman walaupun pemerintah di tahun 2014 sudah memberikan rumah dinas kepada para guru di Papua. Mereka meninggalkan tugas dengan berbagai alasan seperti rendahnya tingkat keamanan dari konflik dan perang suku di pedalaman, juga dukungan pemerintah yang dirasa kurang untuk mendukung kompetensi guru lokal.
Indikator lain adalah kurangnya sarana dan prasarana seperti bangunan sekolah. Atap bangunan bocor dan fasilitas seadanya membuat anak-anak malas bersekolah. Dengan fasilitas minim ditambah kebiasaan masyarakat yang cuek membuat tidak sedikit anak-anak muda menyerah pada pendidikan. Belum lagi mereka harus menempuh jarak jauh bahkan harus melawan arus sungai, hutan lebat, gunung dan lembah demi tiba di sekolah.
“Di balik itu semua tentu faktor biaya menjadi alasan utama. Banyak orang miskin di pedalaman untuk memikirkan urusan perut saja sulit, apalagi memikirkan uang sekolah. Saya berusaha semaksimal mungkin agar anak-anak Papua harus bebas buta aksara. Mereka layak mendapatkan hak untuk mengenyam pendidikan,” ujarnya.
Agustinus sepakat bahwa selama ini pemerintah pusat menyatakan dana pendidik besar ke Papua, itu hanya nominalnya saja, karena tidak akan bisa mencakup di semua kabupaten/kota di Papua. Perlu kreativitas dan dukungan semua orang, khususnya masyarakat Papua yang sudah berhasil dalam bidang pendidikan. Sebab usaha mencerdaskan anak bangsa bukan saja tugas pemerintah dan guru, tetapi tugas semua orang yang mengharapkan sebuah kemajuan bangsa.
Pola Asrama
Panggilan untuk memperhatikan pendidikan yang belum memadai bagi masyarakat Papua itu sudah lahir dari pengalaman masa kecilnya. Sejak sekolah dasar hingga perguruan tinggi, Agustinus mengenyam pola pendidikan asrama kekatolikan. Pendidikan berpola asrama diawali di SD YPPK Santo Petrus Ayawasi, SMPN 1 Alfat, SMU YPPK Taruna Bakti Waena, Jayapura hingga kuliah di Universitas Cenderawasih, Jayapura.
Menurut Agustinus sistem pendidikan ini dinilai tepat untuk mewujudkan cita-cita sebuah pendidikan yang unggul. Sistem ini tidak saja memiliki keunggulan akademik tetapi juga unggul dalam bidang spiritual. Di asrama ia diasuh oleh para pastor CICM, OFM, Projojo baik misionaris Eropa maupun lokal. Misalnya waktu kuliah dirinya tinggal di asrama Katolik Tauboria, Jayapura. Ia diasuh para pastor dari Jerman dan pastor Indonesia.
Menurutnya pendidikan berpola asrama itu menjadi rahim pendidikan karakter. Banyak tokoh Katolik di Papua Barat itu sukses baik menjadi dosen, peneliti, dokter, anggota DPR, dan lainnya karena pernah mengenyam pendidikan berbasis asrama. “Contoh jebolan dari asrama Tauboria itu memiliki kualitas moral dan spiritual yang kuat.”
Sebutnya lagi, pendidikan Katolik dengan wajah asrama itu membantu mengatasi krisis kaderisasi. Ada ekosistem kader yang tidak terputus khususnya mengubah pola pikir masyarakat Papua yang “tertutup ke dalam” ke lebih “terbuka keluar,” sebutnya sambil menegaskan, “Ada perubahan dari ragam hidup yang terpencil, menjadi terbuka. Masyarakat homogen, seragam dalam cara hidup, menjadi heterogen.” Inilah wajah pendidikan harapan masyarakat Papua.
Dirinya bersyukur bisa mengenyam pendidikan berpola asrama. Bila pendidikan formal rata-rata membutuhkan waktu selama 12 jam sehari belajar, tidak dengan pendidikan asrama dengan proses pembelajaran hingga 24 jam. Sistem ini, sebut Agustinus, terbukti pelan-pelan membantu mengubah wajah suram pendidikan Papua.
Ada banyak nilai yang diperoleh dari pendidikan pola asrama. Pendidikan ini menekankan kemandirian dengan merancang program pendidikan yang komperhensif holistik, interaksi antar murid, ada pengawasan langsung, pendidikan karakter yang kuat, penguasaan bahasa asing, ada proses modelling (mencontoh perilaku baik para misionaris), dan kehidupan spiritual yang cukup termasuk menciptakan life skill (soft skill dan hard skill).
Memperhalus Perasaan
“Mati surinya” dunia pendidikan di Papua membuat Agustinus berefleksi bahwa tidak perlu saling menyalahkan. Sejak tiba di Tanah Papua, Gereja Katolik sendiri sudah menjadi kawah candradimuka bagi orang Papua dengan membuka lembaga pendidikan. Sekolah-sekolah Katolik menjamur bak musim hujan, tetapi harus disadari belum semua anak muda siap dengan ini. Bila ingin sekolah, kaum muda juga tidak harus mengekor di bawah ketiak pemerintah. Harus kreatif dan berusaha keras mencari peluang seperti bergabung pada sekolah berpola asrama yang cukup banyak di Papua.
Akademisi ini juga menilai bila pendidikan sebagai tonggak penting di Papua berhasil di bangun maka kaum muda Papua akan cerdas, kemauan yang tinggi, dan berperasaan halus menyikapi semua persoalan yang terjadi. Papua akan damai, bisa menyaring degradasi moral, pengaruh negatif media sosial, pola pikir yang mengarah pada kesejahateraan terjadi jika pendidikan diperbaiki. “Jika belum, jangan pernah berbicara soal Papua damai.”
Yustinus Hendro Wuarmanuk
Profil Agustinus Tenau
TTl : Ayawasi, 12 Agustus 1979
Pendidikan:
- SMU YPPK Teruna Bakti Waena Jayapura (1995-1998)
- S1 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Cenderawasih, Jayapura (1998-2002)
- S2 Magister Administrasi Publik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (2003-2005)
Pekerjaan:
- Dosen Ilmu Administrasi Negara, Fakultas FISIP Uncen Jayapura (2005-2009)
- Dosen Ilmu Pemerintahan STI Pemerintahan Silas Papare Jayapura (2005-2008)
- Dosen Ilmu Pemerintahan Universitas Sains dan Teknologi Jayapura (2005-2008)
- Fasilitator Perencanaan Pembangunan Partisipatif Kab. Jayapura (2005-2006)
- Peneliti Evaluasi Otonomi Khusus (2006-2007)
- Anggota DPRD Kabupaten Sorong Selatan (2009-2014)
- Anggota DPRD Kabupaten Maybrat (2019-2024)
Jabatan:
- Ketua Asossiasi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Seluruh Indonesia (ADKASI) Provinsi Papua Barat (2014-sekarang)
- Wakil Ketua DPRD Kabupaten Maybrat (2019-sekarang)
- Bendahara Ikatan Alumni LEMHANAS Provinsi Papua Barat
- Ketua DPD Partai Nasdem Kabupaten Maybrat
Sangatlah tepat Berita Anda sangat menggemparkan,hanya saja oknom Pemimpin Papua yg peduli generasi Papua yg akan punah,bila segera di_evakuasi seperti pola yg anda pikirkan.
Bro tenau,anda masih muda dan beda bgt dg wajahnya pak pigai ..penampilanya anda jauh bak langit dan bumi,
Jangan salahkan terus pemerintah,karena disini ada pemerintah daerah,kab ,propinsi,kotamadya ,..yg harusnya bertanggung jawab terhadap kemajuan pendidikan di daerahnya..
Papua sdh menjadi daerah yg plural .klo sebagai pimpinan dan pejabat daerah selalu bawa etnis dan rasis bagaimana nasib kelak .karena akan menjadi rawan kerusuhan horizontal..
Ada pepatah saudara yg paling dekat adalah tetangga, dan itu berlaku dijaman modern ini bro ..