HIDUPKATOLIK.COM – Sir.1:1-10; Mzm.93:1ab,1c-2,5; Mrk.9:14-29
KITAB Putra Sirakh ditulis dengan semangat menonjolkan keunggulan iman Yahudi dan Hukum Taurat di atas filsafat Yunani pada abad kedua sebelum Masehi. Kecerdasan manusiawi tidak ada artinya di hadapan kebijaksanaan Allah yang diciptakan sebelum segala sesuatu ada. Apa pun yang manusia banggakan tidak mampu menyamai kebijaksanaan Ilahi yang mengatasi segala-galanya. Dengan kata lain, nilai kemampuan manusia jauh di bawah nilai hukum Taurat yang datang dari Allah.
Tidak heran, saat murid-murid Yesus berusaha mengusir setan dengan menggunakan berbagai cara dan ilmu manusiawi, dengan mantera-mantera, mereka gagal. Kekuatan manusiawi sangat terbatas, apalagi berhadapan dengan roh jahat yang berasal dari setan. Waktu Yesus yang baru turun dari pemuliaan-Nya di atas gunung bertindak dan mengusir setan, barulah si setan itu tunduk dan pergi. Yesus bertindak dalam kesatuan bersama Allah, di dalam doa. Iman kepada Allah tidak dapat dikalahkan oleh kekuatan setan mana pun. “Jenis ini tidak dapat diusir, kecuali dengan berdoa.” (Mrk. 9:29)
Iman mengatasi akal budi, tetapi tidak harus bertentangan. Ada adagium klasik, “fides quaerens intellectum” (S.Agustinus), artinya orang beriman juga ingin mengerti apa yang di imaninya. Tidak perlu mempertentangkan akal budi manusia dengan iman akan Allah, sebab “ratio” dan “fides” sama-sama karunia dari Allah untuk kebaikan manusia.
Namun, harus dihindarkan juga bahaya mengagungkan akal budi manusia di atas iman kepada Allah, terutama dalam dunia yang dirasuki semangat sekularisme. Yang terbaik ialah hidup dalam keharmonisan antara akal budi dan iman.
Pastor Paulus Toni Tantiono, OFMCap Dosen Pendidikan Agama Katolik/Etika Sosial Universitas Widya Dharma Pontianak