HIDUPKATOLIK.COM– Ia dibunuh oleh ayahnya sendiri karena kesetiaannya kepada Kristus. “Mati untuk Kristus adalah jalan terbaik bertemu Tuhan,” ujarnya suatu hari.
TANGAN dan kaki Mbaga Tuzinde terikat. Dalam keadaan lemas, Mbaga dipaksa berjalan 60 kilometer ke tempat pelaksanaan hukuman mati. Kepala algojo, Mukaajanga Colubus berteriak keras di telingahnya, “lupakan Kristus, Anda selamat”. Teriakan keras itu tak dihiraukan Mbaga. “Saya sudah mati setelah mengenal Kristus,” timpal Mbaga.
Begitu tiba di tempat eksekusi, kembali Mukaajanga memohon. Ia menjanjikan keselamatan andai saja dirinya bertobat. Sampai waktu hukuman mati, Mbaga tak kunjung insaf. Ia terus bertahan dalam iman kekatolikannya.Uganda
Pada Kamis 3 Juni 1886, Mbaga bersama 22 martir Uganda mati dengan cara memilukan. Mereka dihukum mati dengan tombak lalu tubuh mereka dilemparkan ke dalam kobaran api. Mereka dituduh telah menyiarkan agama Katolik di kalangan istana Kabaka (raja) Mwanga II.
Kematian Mbaga bagi Raja Mwanga adalah keharusan, tetapi peristiwa ini mendatangkan kesedihan di hati Mukaajanga, ayah angkat Mbaga. Atas desakan banyak pihak dan kesetiaan kepada Mwanga II, Mukaajanga nekat membunuh anaknya sendiri. Mbaga mati di tangan ayahnya sendiri.
Banyak Ibu
Menurut silsilah, Mbaga dan Mukaajanga sama sekali tidak memiliki pertalian darah. Mbaga berasal dari klan Lungfish (Mamba), sedangkan Mukaajanga dari klan Colubus. Hubungan ayah-anak, didapat dari persahabatan kakek keduanya: Kikonyogo dan Salasamba. Kedua kakek membuat perjanjian darah perihal hubungan Mukaajanga dan Mbaga.
Hubungan ini makin terasa ketika Kikonyogo dan Salasamba meninggal. Mukaajanga berperan sebagai pelindung Mbaga. Bahkan ketika Mukaajanga menikah, Mbaga tetap diizinkan seatap dengan mereka.
Mbaga lahir di Bunyonga, Busiro, Uganda sekitar tahun 1869. Orang tua kandungnya adalah Katamiza Waggumbulizi dan Mmumanvi Bukuwa dari klan Yamfruit (Kkobe). Nama Tuzinde adalah nama marganya sejak kecil, sementara nama Mbaga diberikan oleh Mukaajanga.
Ada alasan mendasar Mukaajanga menjadi ayah Mbaga. Saat itu, Katamiza memiliki 10 isteri dan 26 anak. Lahir dari keluarga besar dengan ekonomi yang pas-pasan. Kemendesakan ekonomi pada akhirnya membuat Mbaga menjadi anak angkat.
Sebagai kepala prajurit, Mukaajanga memberi tugas anaknya sebagai pengantar makanan di pengadilan kerajaan. Tugas ini tentu berhubungan langsung dengan pihak istana Kabaka Mwanga II. Tugas lain yang diembannya adalah penjaga sampan milik Mwanga II yang memiliki hobi berlayar. Kewajiban ini menggiringnya pada perkenalan dengan agama Katolik yang saat itu mulai merekah di kalangan istana.
Iman Katolik berkembang di Uganda tahun 1879 berkat para Misionaris Afrika (White Father), sebuah kongregasi imam yang didirikan Kardinal Charles Martial Allemand Lavigerie. Awalnya, agama Katolik diterima dengan baik oleh Raja Mutesa. Para imam segera mulai mempersiapkan katekumen dan membaptis puluhan jiwa.
Namun, ada angin perubahan terjadi setelah Mutesa tutup usia. Di bawah pimpinan puteranya Mwanga II, agama Katolik dianggap perpanjangan tangan kolonialisme. Ia menentang praktik kekatolikan di Uganda dan mengusir semua misionaris, sebagian lagi dibunuh. Alasan lain adalah peranggainya yang bertolak belakang dengan iman kekatolikan. Ia terkenal korup dan terlibat praktik pedofil.
Anak Istimewa
Di tengah situasi kebencian iman ini, Mbaga berkenalan dengan Charles Lwanga (1860-1886). Pemuda 25 tahun itu adalah seorang katekis. Secara diam-diam, ia mempersiapkan para katekumenat yang tak lain para pelayan raja sendiri.
Sehari sebelum Charles ditangkap, Mbaga memberi diri dibaptis. Ia begitu cepat terpesona kepada iman barunya khususnya cerita soal pribadi Yesus. Memang tidak mudah bagi Mbaga mengutarakan apa yang dialaminya kepada Mukaajanga. Jujur kepada sang ayah, sama halnya menyerahkan diri. Kesetiaan Mukaajanga kepada Mwangga tak diragukan lagi.
Seminggu setelah Charles Lwanga ditangkap, menyusul para martir lainnya seperti James Buuzaabalyaawo, John Maria Muzeeyi, Kizito, Lukka Baanabakintu dan beberapa pelayan lainnya. Setelah itu Matiya Mulumbu, Mukasa Kiriwawanvu, Nowa Mawaggali, Ponsiano Ngondewe dan Mbaga menjadi regu terakhir yang ditangkap.
Penangkapan Mbaga menjadi cambuk menyakitkan bagi Mukaajanga. Seminggu sebelum dikirim ke Namugongo untuk dieksekusi, Mukaajanga memohon agar Mbaga melupakan imannya. Ia bahkan berjanji bila Mbaga benar-benar melepaskan imannya, maka ia mengizinkannya ambil peran sebagai juru bicara istana. Percuma semuanya, sebab pengalaman akan Kristus menjadi daya tarik tersendiri baginya.
Kejujuran Mbaga membuat Mukaajanga naik pitam. Ia menolak pertalian darah dan menyangkal Mbaga sebagai puteranya. Sejak itu, ruangan Mbaga terpisah dari para tahanan lainnya. Ia diperlakukan tidak adil. Ia menderita dan menahan lapar karena hanya diberi makan sekali.
Pernah Mbaga hampir dibunuh. Seorang suruhan Mukaajanga mengendap masuk ke dalam ruang Mbaga dan mencekik lehernya dengan tali. Untungnya ia berhasil melepaskan diri berkat skapulir yang dipakainya. Skapulir itu digunakan untuk memotong ikatan tali di lehernya. Cobaan lain adalah ia disulut besi panas agar menyangkal imannya, tetapi tak berhasil menghentikannya.
Ia seorang yang gigih dalam iman. Setiap kali digoda untuk melepaskan imannya, Mbaga berpegang teguh pada Firman Tuhan,… “dia yang akan kehilangan nyawa demi Aku, akan menyelamatkannya…”
Jalan Terakhir
Sejak dianggap pembelot oleh Mukaajanga, Mbaga terus mendapat siksaan. Ia tak pernah gentar menghadapi siksaan itu. Pernah seorang suruhan Mukaajanga bernama Sebatta menyampaikan pesan bahwa raja telah menyetujui permohonan maafnya. Semua itu bisa terjadi asalkan Mbaga melepaskan imannya. Mbaga membalas pesan itu dengan berkata, “Sampaikan kepada Mukaajanga, ayah saya sebenarnya adalah Kristus.”
Ia melanjutkan, saya tidak takut dikejar-kejar, apalagi mati di tangan Mukaajanga, saya telah siap.” Kala Mukajanga menerima pesan itu, ia sangat marah. Ia bahkan semakin membenci puteranya sendiri.
Demi kesetiaan, Mukaajanga harus merelakan kepergian puteranya. Ia menyuruh prajuritnya mengeluarkan para tahanan dan membawa mereka ke Namugongo. Kaki dan tangan mereka diikat dan dipaksa berjalan 60 kilometer. Mbaga tak pernah berhenti mendaraskan doa Salam Maria. Sepanjang jalan ia dipanggil pengkhinat kerajaan. Mbaga tetap diam dan percaya Kristus tak akan lepas tangan. “Mati untuk Kristus adalah jalan terbaik bertemu Tuhan,” begitu kata-katanya kepada para prajurit.
Saat tiba di tempat eksekusi, para martir berdiri berjejer. Sebuah tungku api tepat di depan mereka. Charles yang dianggap sesepuh tampil menguatkan rekan-rekannya. Mbaga menjadi orang yang berdiri paling ujung, orang terakhir yang dieksekusi.
Tidak ada ketakutan di raut wajah remaja 17 tahun itu. Ia berdiri seakan sigap menghadapi maut. Doa dan pujian keluar dari mulutnya. Ia tidak takut, bahkan matanya terbuka menyaksikan rekan-rekannya yang wafat di ujung tombak.
Menyaksikan semua itu, ia memaksa rekan-rekannya untuk menyebut nama Tuhan. Banyak mata yang menyaksikan membelalak terhadap iman remaja ini. Tatkala itu, Mukaajanga tampil sebagai eksekutor yang kejam. Ia melibas habis para para martir yang usia mereka rata-rata di bawah 20 tahun. Setelah semuanya meninggal, jazad mereka dicampakkan ke dalam kobaran api.
Tiba saatnya bagi Mbaga. Sebelum melempar tombak, Mukaajanga memandang masygul wajah Mbaga. Ia masih berharap Mbaga segera bertobat. “Hentikan kebodohan ini. Tinggalkan iman orang kulit putih,” ujar Mukaajanga. Terakhir kalinya, Mbaga membalas permohonan ayahnya. “Maafkan aku. Harusnya Anda yang bertobat bukan saya.” Kata-kata ini menjadi kata perpisahan sebelum tombak menembus dadanya.
Tubuh kurus, berkulit coklat itu tersungkur ke tanah. Dalam sekejap, darah segar membasahi tanah Uganda. Mbaga tewas seketika. Jazadnya dibuang ke dalam kobaran api. Hari itu, ada 22 martir Uganda tewas di tangan Mukaajanga. Konon, di akhir hidupnya algojo bengis ini bertobat karena mimpinya bertemu Mbaga.
Kini, di Namugongo berdiri sebuah Basilika Martir Uganda. Gereja menggelari mereka venerabilis pada 29 Januari 1920 oleh Paus Benediktus XV. Para martir ini dibeatifikasi pada 6 Juni 1920 oleh Paus yang sama. Paus Paulus VI pada 18 Oktober 1964 mengkanonisasi mereka. Gereja mengenang mereka setiap 27 Mei-3 Juni.
Yusti H. Wuarmanuk