HIDUPKATOLIK.COM – Bagi Benediktus XVI, Konsili Vatikan II melakukan refleksinya akan Gereja, yang walau kadang terasa menggoncangkan namun memberi landasan kuat bagi Gereja dewasa ini.
SUATU ketika saat ditanya tentang proses pengukuhan Yohanes XXIII sebagai santo, terkait mukzijat atas perantaraannya, Paus Fransiskus menyebut, Konsili Vatikan II merupakan mukzijat dari Yohanes XXIII yang diwariskan kepada Gereja.
Konsili Vatikan II memang merupakan berkat bagi Gereja, dan bahkan dunia. Kenyataannya, akhir-akhir ini seakan cukup banyak kalangan yang seakan skeptis, atau bahkan menolak Vatikan II, namun pula di kalangan Gereja sendiri buah-buah Konsili sering kurang didalami. Hal ini merupakan sesuatu yang disayangkan, karena bagaimana pun Gereja kita sekarang adalah Gereja Vatikan II. Bisa dikatakan bahwa Santo Yohanes XXIII adalah Paus Konsili Vatikan II. Betapapun dia tidak sampai memimpin keseluruhan proses konsili hingga akhir, namun dialah yang menggagas serta memberi landasan arah perjalanan Konsili.
Adanya kKonsili Vatikan II seakan mengejutkan, apalagi sebagian besar orang membayangkan Yohanes XXIII adalah Paus transisi, setelah masa panjang dan penuh pergolakan saat kepausan Pius XII (1939-1958). Ada keraguan akan Konsili tersebut, namun toh setelah berjalan mewariskan sesuatu yang tidak saja penting namun pula menentukan, bahkan memberi arah bagi perjalanan Gereja.
Paus Emeritus Benediktus XVI, salah satu teolog penting saat berlangsungnya Konsili, mengungkapkan hal tersebut dalam suratnya tertanggal 7 Oktober 2022 kepada P. Dave Pivonka, TOR dari Fransiskan University of Steubenville, Amerika Serikat. Baginya Konsili melakukan refleksinya akan Gereja, yang walau kadang terasa menggoncangkan namun memberi landasan kuat bagi Gereja dewasa ini. Tentu pengakuan Benediktus XVI ini menjadi sangat berarti, apalagi mengingat bahwa tidak jarang muncul penyangkalan apalagi penolakan akan Konsili Vatikan II, dan ingin membawa kembali kepada Gereja pra-Konsili.
Konsili yang Mengejutkan
Tidak lama setelah terpilih sebagai Paus, 28 Oktober 1958, Paus Yohanes XXIII telah membahas dengan sekretarisnya, Francesco Capovilla, tentang gagasan untuk mengadakan suatu konsili. Pada pertengahan januari 1959, dia mengungkapkannya kepada Kardinal Sekretaris Negara Vatikan, Domenico Tardini, dan kemudian ketika dilontarkan kepada kalangan kuria Vatikan, dia menemukan tidak ada cukup tanggapan positif, bahkan Tardini sendiri merasa gagasan tersebut sekadar sebagai undangan bagi suatu pembaharuan rohani Gereja. Namun Yohanes XXIII melihat lebih luas, bagaimana Gereja bisa semakin hadir dan ikut terlibat dalam pembaharuan dunia, bukan sekedar Gereja.
Akhirnya pada tanggal 25 Januari 1959, Paus Yohanes XXIII secara resmi mengundangkan akan diadakannya Sinode Keuskupan Roma dan terutama Konsili Vatikan II. Kardinal Alfredo Ottaviani, yang mengepalai dikasteri yang sekarang disebut pajaran iman, menyatakannya ketidaksetujuannya dengan berupaya menunda-nunda pelaksanaan Konsili. Ottaviani sendiri sering dikatakan sebagai tokoh sayap konservatif di Vatikan saat itu. Dan ketika dikatakan bahwa mustahillah mengadakan konsili di tahun 1963, Paus segera mengatakan kalau begitu Konsili akan dibuka pada tahun 1962.
Paus sendiri mengatakan dengan jujur bahwa gagasan untuk mengadakan Konsili lebih muncul dari dorongan spontan, bagaikan suatu tunas yang tumbuh di musim semi, bukan dari suatu refleksi panjang dan penalaran hasil studi mendalam. Dunia sedang menghadapi berbagai persoalan dan kegelisahan, bagaimana Gereja menanggapinya. Saat membicarakan hal tersebut dengan Kardinal Tardini, langsung muncul di benaknya kata: konsili!
Seakan semuanya itu datang tiba-tiba. Namun sebenarnya tidak sepenuhnya seperti itu. Saat konklaf pemilihan Yohanes XXIII gagasan itu sudah agak mengemuka, antara lain dari Kardinal Joseph Frings, dari Cologne, salah satu tokoh penting Gereja saat itu. Beberapa kardinal dari Italia pun mengemukakan hal serupa, termasuk Tardini.
Bagi Yohanes XXIII hal ini menunjukkan inspirasi Roh Kudus. Konsili berangkat bukan dari suatu analisa sosiologis, namun dari kesadaran akan terang bimbingan Roh pada Gereja. Tuhan telah berbicara, demikianlah Paus merefleksikan peristiwa dan pengalaman tersebut. Pengalamannya sebagai nuntius di Bulgaria, yang menjadikannya mengenali langkah sinodal Gereja timur dan pendalamannya akan pemikiran Uskup Milan, Carrolus Borromeus, dikatakan mempengaruhi pandangan Yohanes XXIII tentang bagaimana Gereja berjalan bersama memperbaharui diri, dan itu mengukuhkan gagasan akan konsili dan bagaimana konsili itu dijalankan.
Gereja perlu melakukan refleksi setelah rangkaian peristiwa-peristiwa besar melanda dunia, apalagi sebenarnya Konsili Vatikan I belum sungguh selesai, karena harus diakhiri akibat adanya pergolakan di Italia di tahun 1870. Di satu sisi Gereja perlu melakukan pembaharuan diri, terutama pembaharuan rohani, juga munculnya kesadaran akan kesatuan dalam tubuh Gereja setelah belajar dari perpecahan serta pertikaian baik di dalam maupun di luar Gereja.
Selain itu, Gereja menyadari perlu berdialog dengan dunia. Dunia berubah dengan begitu cepat, dan Gereja jangan sampai terpenjara dalam dirinya sendiri, sehingga tidak sanggup berdialog serta menjadi garam dan terang dunia.
Untuk itu perlu langkah serius baik itu pembaharuan rohani maupun penataan diri sebagai tubuh, agar Gereja semakin setia dalam menjalankan tugas perutusannya di zaman ini. Peka akan tuntunan Roh Kudus dalam kepekaan akan tanda-tanda zaman. Demikianlah bisa dikatakan langkah aggiornamento dari Yohanes XXIII. Gereja membuka jendela agar udara segar masuk memperbaharui dan menyegarkan dirinya.
Gagasan yang menjadi peristiwa
Akhirnya pada tanggal 11 Oktober 1962, Konsili Vatikan II resmi dibuka. Paus Pius XI pada tahun 1931 menetapkan tanggal 11 Oktober sebagai peringatan akan kebundaan Maria, suatu peringatan sebagai pengukuhan akan pernyataan Konsili Efesus (431) akan peran Maria dalam misteri Keallahan dan keinsanian Yesus. Demikian Paus Benediktus XVI menjelaskan pilihan tanggal tersebut saat memperingati 50 tahun dimulainya Konsili Vatikan II. Dengan demikian Yohanes XXIII ingin mempersembahkan Konsili pada kebaikan bunda Allah, Maria dan bahkan jangkar kokoh berlangsungnya Konsili terpaut kuat pada misteri Yesus Kristus.
Konsili dibuka tanpa mengajukan suatu program tertentu atau membicarakan suatu persoalan tertentu. Hal tersebut selain menyulitkan, namun sekaligus menantang. Maka berbagai permasalahan yang dihadapi Gereja direfleksikan bersama, dari soal identitas Gereja, pelayanan sakramentalnya maupun struktur hierarkisnya, dengan misi yang diembannya di tengah keberagaman dunia. Tantangan tersebut dihadapi, sebagai ajakan refleksi akan tandap-tanda zaman, sehingga saat membuka Konsili, Yohanes XXIII menyebutnya sebagai sukacita bagi bunda Gereja, Gaudet mater ecclesia. Sukacita di tengah kepahitan dan kekelaman dalam dunia kehidupan tersebut digambarkan dalam acuan seperti penantian panjang Simeon, yang tumbuh sukacitanya menjumpai Mesias, bersama Maria dan Yosef. Itulah sukacita mereka yang menemukan kehadiran Tuhan, di tengah situasi nyata kehidupan.
Ditegaskannya bahwa tugas pokok Gereja adalah untuk menjaga dan mewartakan ajaran iman, yang diterima Gereja dari Kristus sebagaimana diwariskan sejak masa para Rasul. Persoalannya adalah bagaimana ajaran tersebut menyentuh hati umat beriman dan menggerakkannya dalam cara bertindak beriman di tengah situasi nyata.
Jalan yang ditempuh lewat konsili bukanlah untuk mengutuk, dalam senjata kekakuan dan kebekuan, namun dengan mengoleskan balsam belaskasihan, sehingga kemurahan hati Allah yang menyelamatkan semakin dirasakan dan dialami umat manusia. Demikian Paus menggambarkan proses serta dinamika konsili. Tidak mengherankanlah kalau dikatakan Vatikan II adalah konsili pastoral.
Saat berjumpa dengan korps diplomatik yang bertugas di Vatikan, sehari setelah dibukannya Konsili, 12 Oktober 1962, Yohanes XXIII menjelaskan bahwa Konsili bermaksud untuk menyatakan hakikat Gereja dan misi spiritualnya, dengan merefleksikan bagaimana mengadaptasikan pesan Injil, sehingga ajarannya semakin dihidupi secara tepat serta diwujudnyatakan oleh umat.
Bagaimana menghidupi ajaran Pangeran perdamaian, yang mendirikan Gereja, itulah menurutnya yang menjadi fokus refleksi Vatikan II. Beberapa kali Paus menggunakan kata perdamian saat perjumpaan dengan para diplomat tersebut. Tampaknya, bagaimana Gereja ikut menyatakan keterlibatannya bagi pendamaian di tengah dunia ini menjadi keprihatinannya, untuk juga dibicarakan dalam konsili. Perdamaian memang salah satu kata kunci masa kepausannya.
Harus Dihidupi
Yohanes XXIII telah memberi warisan besar bagi Gereja, pedoman arah bagi Gereja. Setelah lebih dari 60 tahun Gereja masih memiliki pekerjaan besar menerapkan warisan tersebut, menghidupi jiwa dan semangat Vatikan II, sebagaimana dikatakan Paus Fransiskus dalam homili peringatan 60 tahun dibukanya Konsili Vatikan II. Konsili telah mengajak Gereja memandang dari atas, dari rencana kehendak Bapa, namun juga memandang sekitar, tempat Gereja hidup dan berada.
Itulah cara bertindak yang diwariskan Yohanes XXIII yang masih harus terus kita hidupi. Itulah tugas kita saat ini, kembali mempelajari Vatikan II dan terutama menerapkannya sebagai cara menggereja, sebab buah-buah konsili kadang kita lupakan dan pesannya kita abaikan.
T. Krispurwana Cahyadi, SJ
HIDUP, Edisi No. 4, Tahun ke-77, Minggu, 22 Januari 2023