Tak perlu menunggu sampai semua sirna
Baru berpikir menjadi bermakna
Sebab hidup jadi tak asik
Kalau tertimpa penyesalan menumpuk
Dari banyak berita pembunuhan, pasti ada barang bukti senjata api, benda tajam sampai bubuk beracun. Racunnya pun beragam dengan berbagai dampak. Cepat, perlahan bahkan seketika. Tergantung kekuatan racun itu sendiri.
Tapi pernah dengar enggak racun yang muncul dari sebuah perkataan?
Hmmm, seperti apa yang kata-kata dengan kandungan ‘racun’?
Jujur akupun tak tahu pasti, tapi sempat tawar hati saat mendapat kabar seorang kenalan berpulang akibat tak tahan menghadapi serbuan kata-kata. Tertekan harus menelan semua perkataan beraroma tuduhan, cerca meremehkan dan tentu saja terselip fitnah. Akhirnya berpulang.
Meninggal dalam himpitan perkataan orang dalam lingakaran pertemanan yang ironisnya menyebut diri pelayan Tuhan. Ini pula semakin membuat tawar hati. Tanpa bermaksud menghakimi, namun sekedar bertanya, kira-kira bagaimana ya cara orang melayani Tuhan sementara orang yang ada di dekatnya mendapat ‘siksa’.
Bukankah ada tertulis, “Apa yang kau lakukan untuk saudaraKu yang paling hina ini, kamu melakukannya untuk Aku” (Am 6:1a.4-7; 1Tim 6:11-16; Luk 16:19-31).
Apalagi korban perundungan ini bukan pula seseorang yang paling hina. Tapi pemenang dari sebuah kompetisi seputar komunitas.
Baiklah, supaya ini bukan sebagai tuduhan, apalagi keberpihakan, namun sekadar menggelar fakta bahwa ada orang meninggal akibat sekian lama tertekan mendapat perundungan dari sesama teman dalam lingkungan berlabel pelayanan.
Sebutlah bisa jadi memang sudah ada bibit penyakit bersemayan dalam raganya. Sejak lama sedang tidak mengganggu aktifitas. Namun akibat perundungan tak berkesudahan, penyakit yang sesungguhnya lagi bersantai mendadak aktif bahkan menyerang. Lalu selesailah pengembaraannya di jagad ini.
Berawal dari sebuah perlombaan di mana tujuan diselenggarakanpun dalam rangka seru-seruan agar memberi warna dalam aktifitas pelayanan. Ketika juara diumumkan, mulailah kisah terurai. Sang juara mendapat protes atas kelayakannya menerima gelar sebagai pemenang utama. Sederhananya dinilai tidak layak oleh para penonton.
Aahhhhh penontoooon…..! Siapakah gerangan puan? Merasa berhak menjadi penentu atas nasib orang? Sementara di depan sana sudah tersedia juri yang kompeten di bidangnya. Masih pula pakai embel-embel ‘kalimat beracun’ lainnya, “Aaaaahhhh juri kan bisa diatur..! Panitia juga bisalah kerjasama dengan mereka dalam menentukan pemenang.”
Oh tidak….!
Sebegitunya keganasan hasil dari ketidakpuasan sehingga merasa berhak menyerang sang juara yang tidak lain adalah dia yang telah sangat tertekan mendapatkan perundungan sekian lama? Justru dari orang sekitar hingga menutup mata dalam pilu.
Haruskah sebuah perlombaan berujung pertikaian? Bukankah seharusnya berpikir, bahwa dalam setiap pertandingan, semua peserta adalah juara sejati? Sebab mereka telah berani untuk mencoba dan berpartisipasi. Urutan 1,2,3 adalah sebuah kesempatan. Dengan begitu, pertandingan akan jadi ajang pemersatu prestasi tanpa iri hati.
Sudahlah….! Tak perlu mengurai peristiwa demi peristiwa dan pesan-pesan seperti apa yang dia dapat melalui what’s app group, bisik-bisik maupun disampaikan secara terang-terangan.
Intinya, dia telah kembali ke rumah Pencipta. Menelan semua perkataan, menyelesaikan pertarungan tanpa bertarung. Aku bahkan tidak berani menuliskan kata dia pergi dengan tenang.
Masih bergolak di benak, sungguhkan dia pergi dengan tenang menuju keabadian? Atau masih dalam rasa kecewa, sakit, tidak terima, amarah atau sederet rasa tak terperi?
Satu hal yang pasti, dia sekarang sudah tenang, jauh dari gangguan ‘kata-kata beracun’. Yang pergi sudahlah, apapun penyebabnya. Sebagai orang percaya, pasti Tuhan sudah menyiapkan skenario hidup terindah untuknya.
Terbersit sepotong tanya lagi, kira-kira bagaimana ya keadaan para pelontar ‘kata-kata beracun’ tadi? Bukan orang jauh meski tidak juga yang terdekat. Tapi paling tidak selalu bersama dalam banyak aktifitas rohani.
Setelah peristiwa ini.., tenangkah mereka?
Senang? Puas sudah tersampaikan kedengkian terselubung?
Atau….!
Barangkali timbul penyesalan?
Bisa jadi berlalu begitu saja, setelah semua yang terjadi. Dan orang yang jadi objekpun telah pergi? Parahnya lagi, bahkan tidak menyadari bahwa salah satu penyebabnya perundungan yang telah dilakukan?
Ingin sekali bertanya langsung pada mereka, tapi kutahan kembali. Sebab apapun nanti situasinya, tidak akan mengembalikan orang itu ke tengah anak-anaknya yang masih kecil-kecil.
Kusimpan saja perkara dalam hati sambil mencari penawar hati agar tidak terus tawar dan kehilangan rasa. Berharap tak lagi bertambah populasi ‘penonton’ yang gemar melontar ‘kata-kata beracun’ hanya karena melihat keberhasilan seseorang. Layak tidaknya seseorang sebagai pemenang, sudah ada yang menentukan sesuai kompetensi.
Jadilah penonton yang menikmati tontonan. Bukan menggelar penghakiman.
Permisiiii.. aku hanya penasaran
Ketika kata dipakai sebagai senjata pemusnah
Sama sekali tak bermaksud menuduh
Apalagi menghakimi
Tapi hati ini butuh konfirmasi
Salam cinta: Ita Sembiring, pekerja seni/kontributor