HIDUPKATOLIK.COM – HARI terakhir di tahun 2022, ternyata juga menjadi hari terakhir bagi Paus Emeritus Benediktus XVI. Beliau meninggal dunia di usia 95 tahun, pada tanggal 31 Desember 2022, pukul 09.34 waktu Roma, setelah sekitar 3 hari berada dalam kondisi kesehatan yang menurun. Dia meninggal di tempat dia tinggal selama ini setelah mengundurkan diri sebagai Paus, biara Mater Ecclesiae Vatikan.
Joseph Aloysius Maria Ratzinger lahir di Markt am Inn, Bayern, Jerman Selatan, pada tanggal 16 April 1927, anak kedua dari tiga bersaudara, ayahnya seorang polisi yang bertugas di kawasan desa di Bayern. Dia mengalami masa muda di tengah suasana perang, saat Jerman dikuasai oleh rezim Nazi Hitler. Maka dia sempat bergabung dalam kelompok pemuda Nazi bahkan juga sebagai tentara, semuanya dijalaninya karena memang adalah wajib bagi warga negara. Betapapun demikian, Joseph Ratzinger tidak pernah kehilangan imannya dan hasratnya untuk mengabdi Tuhan.
Segera setelah selesainya perang dunia II, Ratzinger muda segera menekuni pendidikan calon imam, yang sebenarnya telah dia tempuh sebelum jatuhnya perang. Akhirnya pada tanggal 29 Juni 1951, dia ditahbiskan sebagai imam. Dia ditahbiskan bersama-sama dengan kakak sulungnya, Georg Ratzinger.
Ketika memperingati 65 tahun imamat, 28 Juni 2016, di hadapan Paus Fransiskus dan para kardinal, Benediktus XVI mengartikan syukur akan imamat itu sebagai Eucharistomen. Rasa syukur itu, menurutnya, kalau diletakkan pada derita dan salib Kristus, akan menjadi berkat. Hal itulah yang kemudian diungkapkan Paus Fransiskus saat mengucapkan selamat ulang tahun imamat ke-70, 29 Juni 2021, pada Benediktus XVI, bahwa hidupnya sebagai imam Kristus merupakan suatu kesaksian yang menyentuh hati banyak orang.
Teolog
Perjalanan hidup Joseph Ratzinger sebagai imam kemudian lebih ditandai dengan pergulatannya sebagai teolog. Saat menjalani studi dia menuliskan disertasi tentang gagasan mengenai civitas Dei dari Augustinus dalam kaitan dengan refleksi akan Gereja, dan kemudian menulis habilitasi tentang teologi sejarah dari Bonaventura. Dua tokoh besar itu mempengaruhi pandangannya akan teologi. Dia, saat masih sebagai teolog muda, malahan pernah menjadi penasihat teologi terutama bagi Kardinal Joseph Frings, Uskup Köln, saat berlangsungnya Konsili Vatikan II tahun 1962-1965, dan turut berjasa dalam perumusan beberapa dokumen Konsili.
Saat itu Ratzinger muda beberapa kali berdebat dengan salah satu raksasa teologi saat itu, Karl Rahner. Dari situ bisa diketahui akan beberapa perbedaan mendasar dalam refleksi teologi. Rahner, dan sebagian besar yang mengikuti tradisi Ignasian, dikatakan cenderung optimis, sedangkan Ratzinger dalam perjalanan kemudian mengajak mewaspadai kecenderungan relativisme kalau terlalu terbuka akan dunia.
Dalam karier teologinya, Joseph Ratzinger sempat mengajar di Bonn, Münster, Tübingen, dan kemudian di Regensburg. Ada kegelisahan dirasakannya akan perkembangan Gereja dan teologi paska Vatikan II, yang dipandangnya sering terlalu progresif. Hal itu menjadi salah satu alasan dia meninggalkan Tübingen dan redaksi Majalah Concilium, dan setelah berpindah ke Regensburg kemudian bersama Hans Urs von Balthasar serta Henri de Lubac mendirikan jurnal teologi lain, Communio.
Sebagai teolog, Ratzinger menulis banyak buku dan artikel dan memperoleh reputasi internasional dengan tulisan-tulisan teologinya. Sebagai akademisi dia malahan mendapatkan banyak penghargaan, menjadi anggota beberapa kelompok intelektual yang berdiskusi tentang berbagai persoalan dunia. Baginya, teologi pun harus terus-menerus berdialog dengan kultur, persoalan nyata kehidupan dan dunia ilmu pengetahuan di luarnya. Dialog antara iman dan akal budi justru akan memperkuat refleksi iman. Tidak mengherankanlah kalau Ratzinger dikenal juga sebagai salah satu tokoh penting di belakang penulisan Ensiklik Fides et Ratio dari Yohanes Paulus II (1998).
Sebenarnya ketika Paus Yohanes Paulus II mengundangkan ke Roma, bekerja di Kuria Vatikan, Ratzinger 3 kali mengatakan keberatan. Alasan pokoknya adalah bagaimana mungkin dia sebagai teolog, dengan suatu posisi dan pandangan teologis tertentu, bertugas untuk membaca dan menilai pemikiran-pemikiran teologis lain. Memang hal itulah yang kemudian terjadi. Betapapun demikian, dia berusaha untuk tidak menutup pintu dialog, perdebatan teologis yang sehat. Namun harus diakui semuanya itu tidak berjalan mudah, apalagi saat berada di Vatikan.
Pada tanggal 25 Maret 1977, Paus Paulus VI mengangkat Joseph Ratzinger sebagai Uskup di München dan Freising. Dia ditahbiskan Uskup pada 28 Mei 1977 dan mengenakan moto Cooperatores Veritatis, rekan sekerja akan kebenaran. Dia menjelaskan moto tersebut sebagai keterkaitan antara tugas sebelumnya sebagai pengajar dan teolog dengan perutusan baru sebagai Uskup. Betapapun berbeda peran dan pendekatan, namun semuanya tetap berada dalam tapak jalan kebenaran dan pengabdian akannya. Selain itu, menurutnya, moto tersebut dipilih dalam keprihatinannya akan adanya kecenderungan orang yang mudah mengabaikan kebenaran, dan hal tersebut berbahaya bagi dunia kehidupan.
Pada Konsistorium, pertemuan Kardinal, 27 Juni 1977, Paus Paulus VI mengukuhkan Joseph Ratzinger sebagai Kardinal. Sebagai Uskup dan Kardinal, dia terlibat aktif dalam berbagai Sinode Uskup dan bahkan menjadi anggota komisi teologi internasional, badan Vatikan yang merefleksikan beberapa topik teologi. Akhirnya, pada 15 Februari 1982, Joseph Ratzinger meletakkan jabatan sebagai Uskup di München dan Freising, karena diangkat Paus Yohanes Paulus II sebagai Perfek Kongregasi Ajaran Iman di Vatikan.
Kardinal di Vatikan
Lama Kardinal Joseph Ratzinger bekerja di Vatikan, sebagai Perfek Kongregasi Ajaran Iman, sejak 1982 hingga terpilih sebagai Paus 19 April 2005. Tentu pengaruhnya tidak sedikit dan jasanya sangat besar, betapapun tidak lepas dari beberapa kontroversi terkait dengan pandangan teologisnya.
Ratzinger memberi perhatian besar pada para teolog moral, terutama dari Amerika Utara, para teolog pembebasan dari Amerita Latin dan juga para teolog Asia yang terlibat dalam refleksi teologis akan dialog antar agama. Dia menengarai adanya kecenderungan relativisme dalam teologi. Tidak mengherankanlah kalau beberapa teolog mendapatkan notifikasi darinya.
Tentu semua itu tidak lepas dari penugasan yang diterimanya dari Yohanes Paulus II. Situasinya memang sangat tidak mudah. Perkembangan teologi berjalan begitu pesat, dan situasi perubahan serta kemajemukan persoalan dihadapi. Ada yang lalu menggambarkan dalam kenyataan penggambaran Yesus akan jalan, kebenaran dan hidup (Lih. Yoh. 14:6), teologi Eropa bergulat lebih soal kebenaran, ketepatan perumusan; bagi Amerika Latin refleksi iman adalah soal hidup, bagaimana iman itu dihidupi, bukan soal rumusan iman. Sedangkan di Asia, benua keberagaman kepercayaan dan budaya, refleksi iman adalah refleksi yang dipahami sebagai jalan yang menuntun pada keselamatan. Dalam kerangka penetapan prinsip dasar ajaran iman, Kardinal Ratzinger memimpin tim yang merumuskan ajaran dalam Katekismus Gereja Katolik. Dokumen yang disahkan Paus Yohanes Paulus II pada 11 Oktober 1992 ini hingga kini menjadi acuan dasar dalam ajaran iman Gereja.
Tentu ketika berada dalam arus perubahan, simpang jalan persoalan, ketegangan dan kesalahpahaman bisa muncul, itulah yang terjadi. Sebagai penjaga ortodoksi ajaran, Joseph Ratzinger menjalankan tugasnya dan menegaskan posisi resmi Gereja. Tidak mengherankanlah kalau dia lalu, sebenarnya sejak berpindah ke Regensburg, disebut beralih ke sayap kanan, kecenderungan konservatif dalam teologi. Label dirinya sebagai tokoh konservatif, ideolog Vatikan, lengkap dengan julukan “Panzerkardinal” atau “God’s Rottweiler” muncul di banyak kalangan. Tentu suatu julukan, apalagi yang lebih bertendensi negatif, akan cenderung berlebihan, dan agak mudah berat sebelah.
Akan tetapi, Joseph Ratzinger, sebagai salah satu raksasa teologi Katolik, memberi pendasaran sangat kuat akan bagaimana Konsili Vatikan II dihidupi dan didalami. Dia menegaskan bahwa buah keputusan Konsili hanya bisa dipahami dalam dinamika hermeneutika kontinuitas, bahwa Konsili ada dalam pelanjutan dari konsili-konsili sebelumnya, bukan suatu diskontinuitas, sebab gerak tradisi ada dalam gerak penerusan, bukan kepemisahan.
Hermeneutika diskontinuitas akan senantiasa melihat adanya kesenjangan dan bahkan perbedaan antara Gereja pra maupun paska konsili. Penafsiran semacam ini hanya akan di satu sisi menolak hasil Konsili atau di sisi lain melepaskan diri dari kenyataan historis Gereja sebelum konsili. Kiranya dia melihat adanya kecenderungan seperti itu. Vatikan II disalahpahami.
Konsili sendiri baginya merupakan suatu peristiwa rahmat, bahkan seakan Pantekosta baru, di mana Gereja diajak merefleksikan kehadiran serta tugas perutusannya di tengah dunia saat ini dalam perjalanannya menuju ke depan. Maka Konsili perlu dipahami dalam kerangka pembaharuan, hermeneutika pembaharuan, sebagaimana hal itu lah yang dimaksudkan oleh Paus Yohanes XXIII. Hal itulah yang hendak diingatkan dan ditegaskan oleh Joseph Ratzinger dalam perannya sebagai Perfek Kongregasi Ajaran Iman Vatikan. Memang tidak mudah, dan tidak jarang dia sendiri dikesankan terlalu mudah curiga. Tampaknya, situasi Gereja sedang berada dalam persimpangan jalan, dan Ratzinger menjadi pelayan bagi Yohanes Paulus II untuk menegaskan arah dan menunjukkan jalan. Cukup lama dia menjalankan peran tersebut, sampai akhirnya datangnya babak baru dalam sejarah Gereja: wafatnya Paus Yohanes Paulus II.
Paus
Setelah wafatnya Paus Yohanes Paulus II, Joseph Aloysius Ratzinger pada 2 April 2005, terpilihlah pada tanggal 19 April 2005 sebagai Paus penggantinya, Paus ke-265, dan mengenakan nama Benediktus XVI. Pilihan nama ini cukup mengejutkan, sebab tidak sedikit yang menduga dia akan meneruskan nama pendahulunya, menjadi Yohanes Paulus III. Tentu nama itu tidak bisa dilepaskan dari sosok Santo Benediktus dari Nursia, yang dikenal pula sebagai pelindung Eropa. Mengevangelisasi Eropa, tampaknya juga menjadi keprihatinan Benediktus XVI.
Namun nama Benediktus XV juga menjadi alasan pemilihan nama tersebut. Benediktus XVI tidak jarang disebut sebagai Paus yang terlupakan (forgotten pope). Dia menjabat sebagai Paus di tengah pergolakan perang dunia I, dan dia berjuang untuk tidak saja menghindari meluas dan semakin parahnya perang, namun pula menjalankan berbagai aksi kemanusiaan untuk para korban perang, sehingga Vatikan pun sering disebut sebagai “palang merah kedua”.
Tidak hanya itu, Benediktus XVI mengeluarkan pula Ensiklik Maximum Illud (31 November 1919), yang berbicara tentang karya misi dan membangun wajah Gereja setempat di daerah-daerah misi. Perdamaian dan misi, kiranya itu menjadi keprihatinan Paus. Benediktus XVI sendiri mengatakan bahwa perdamaian dan rekonsiliasi menjadi acuan visinya berangkat dari pendalamannya akan Paus Benediktus XV.
Paus Benediktus XVI yang sebelumnya dikenal sebagai pribadi yang keras dan berprinsip tegas, menghadirkan wajah yang berbeda, walau tetap dalam ketegasan sikap. Dia membuka dialog dengan Hans Küng, salah satu teolog yang kerap memberikan kritik tajam pada Yohanes Paulus II, bahkan juga pada tokoh di balik Paus, Joseph Ratzinger.
Berbagai upaya untuk bertemu antar kedunya tidak berhasil. Akhirnya, setelah menjadi Paus, dua sahabat lama, yang pernah bekerja sama baik saat Konsili Vatikan II maupun saat Ratzinger masih mengajar di Tübingen bisa terjadi. Memang perbedaan pandangan yang tajam masih terjadi, akan tetapi perjumpaan itu sendiri memberi nafas hangat bagi kehidupan Gereja. Dialog adalah jalan.
Demikian pula dalam berbagai hal, orang melihat adanya pergeseran sikap. Sebelumnya diketahui bahwa Kardinal Ratzinger kurang sangat sepaham dengan doa antaragama dan kepercayaan bagi perdamaian, yang digagas oleh Paus Yohanes Paulus II dan diadakan di Assisi. Baginya bagaimana mungkin doa bersama bisa dijalankan antarpihak yang paham dan pengertiannya akan Allah bisa sangat berbeda. Bagi Yohanes Paulus II hal tersebut bukanlah soal utama.
Maka sebagai Paus Benediktus XVI pada mulanya kurang mendukung acara tersebut, namun kemudian meneruskan gagasan pendahulunya akan doa bersama bagi perdamaian tersebut. Ketika sempat ditanya soal itu, dia hanya menjawab dalam penggambaran, sebelumnya dia adalah teolog, dan kini menjadi gembala (pastor).
Pribadi sama, namun peran berbeda bisa membuahkan cara, pendekatan dan pilihan sikap berbeda. Kalau sebelumnya sering digambarkan sebagai “anjing penjaga”, Benediktus XVI lebih tepat kemudian dikatakan sebagai mozartnya teologi. Wolfgang Amadeus Mozart adalah musikus kesayangan Joseph Ratzinger, sebagaimana diketahui dia adalah pecinta musik klasik dan sering bermain piano di apartemennya, saat masih sebagai kardinal. Teologi seorang Paus membangun harmoni, menyusun komposisi dari berbagai perbedaan yang ada. Gereja pun diletakkan dalam harmoni di tengah segala keberagaman yang ada.
Akan tetapi Benediktus XVI membuat persoalan besar saat berpidato di Universitas Regensburg, Jerman. Dalam pidato tersebut dia menyinggung soal Nabi Muhammad. Betapapun pidato tersebut kutipannya akan teks dari Adel Theodor Khoury tentang teks percakapan apologis abad XII antara Manuel II Paleologus dengan seorang teolog Islam, yang menyinggung soal gambaran akan Allah dan terkait pula dengan kekerasan. Protes dan demonstrasi segera pecah di negara-negara Islam, termasuk Indonesia. Permintaan agar Paus meminta maaf dilontarkan. Persoalan meluas, karena tidak lama setelah itu Paus merencanakan kunjungan ke Turki, yang hal itu segera mengundang persiapan panjang dan melelahkan serta berbagai upaya diplomatis yang tidak mudah. Reaksi elegan muncul dari kalangan cendekiawan Muslim, mereka lalu mengeluarkan dokumen A Common Word between Us and You, yang berbicara tentang daripada mencari apa yang berbeda bukanlah lebih baik mencari apa yang sama dan menyatukan, yaitu kasih. Dokumen ini mulanya ditandatangani oleh 138 intelektual Muslim, dan ketika semakin tersebar semakin banyak yang menandatangani.
Hal serupa pernah pula terjadi saat kunjungan ke Kamerun, di mana Benediktus XVI sempat mengatakan sesuatu yang dipandang merendahkan tradisi budaya asli setempat. Tampaknya, perjalanan hidup yang panjang sebagai intelektual dan pejabat di Vatikan, Ratzinger kurang memiliki kepekaan luas akan konteks dan sensitivitas orang serta persoalan.
Memang Benediktus XVI adalah seorang intelektual terkemuka, dan menulis dengan sangat baik. Dokumen yang dihasilkannya pun indah. Yang pertama adalah ensiklik tentang pelayanan kasih Deus Caritas Est (2005), disusul dengan Spe Salvi (2007), yang berbicara tentang harapan. Sebenarnya akan menjadi trilogi: kasih, harapan dan iman, namun ensiklik tentang iman betapapun sudah dituliskannya tetapi belum selesai, dan baru kemudian dikeluarkan oleh penerusnya Paus Fransiskus, Lumen Fidei (2013), yang diakui sendiri oleh Fransiskus bahwa dokumen tersebut sebagian besar ditulis oleh Benediktus XVI. Dia juga mengeluarkan ensiklik ajaran sosial Gereja Caritas in Veritate (2009), teks indah yang berbicara tentang berbagai persoalan krisis ekonomi, sosial dan moral yang sedang melanda dunia, dan bagaimana komitmen kasih perlu lebih dibangun untuk menghadapi persoalan tersebut.
Kecintaannya akan Ekaristi mendorong Paus mengeluarkan Anjuran Apostolik Sacramentum Caritatis (2007). Di dalamnya Benediktus XVI bicara tentang Ekaristi yang diimani, adalah pula Ekaristi yang dirayakan dan dihidupi. Ekaristi pun diperlihatkannya terkait dengan kepedulian sosial, sebagai pewujudan iman dari Sakramen Gereja tersebut. Di tahun itu, dia juga mengeluarkan motu proprio tentang Misa bahasa Latin dalam Ritus Tridentin, sesuatu yang cukup menimbulkan banyak pertanyaan, hingga kemudian dicoba diberi garis batas oleh Paus Fransiskus dalam Traditionis Custodes (2021).
Banyak hal dibuat oleh Paus Benediktus XVI. Tiga hal perlu disebut khusus, bagaimana dia secara berani mulai menyelesaikan beberapa kasus perundungan seksual yang melanda Gereja. Dikatakan bahwa sebelumnya, persoalan tersebut seakan dipendam dan didiamkan pada masa kepausan Yohanes Paulus II. Namun Paus Benediktus XVI mulai dengan menangani persoalan pendiri dan tokoh karismatis Legioner Christi, Marcial Maciel.
Selain itu, dia juga menugaskan beberapa orang untuk memeriksa dan membereskan berbagai persoalan keuangan di Vatikan. Hal itu tidak berjalan mudah, sehingga beberapa ahli keuangan dari berbagai negara dilibatkan oleh Paus. Yang ketiga adalah perhatian akan lingkungan, sehingga beberapa kalangan menyebut Benediktus XVI sebagai ‘Paus Hijau”, karena berbagai perhatian dan bahkan proyek terkait dengan lingkungan. Dari situ kita bisa mengakui bahwa pembaharuan Gereja yang terjadi selama ini tidak bisa dilepaskan dari sosok Benediktus XVI, dialah yang mulanya membuka pintu pembaharuan tersebut.
Namun secara mengejutkan Paus Benediktus XVI pada tanggal 11 Februari 2013 menyatakan rencananya untuk mengundurkan diri. Beberapa kalangan terdekat pernah diajak bicara soal itu, dan semuanya menanggapi secara negatif. Namun Paus teguh akan keputusan tersebut. Situasi Gereja yang semakin kompleks dan kenyataan perubahan yang dihadapi baginya membutuhkan tenaga segar dan sosok berbeda dalam mengembalakan Gereja. Gereja lebih penting daripada dirinya. Benediktus XVI meyakini karenanya bahwa keputusan tersebut adalah kehendak Roh Kudus, dan dia tidak pernah menyesali keputusan tersebut, malahan sempat mengatakan semakin lama melihat perkembangan Gereja dia semakin yakin akan itu. Harus diakui saat sebelum pengunduran diri itu terjadi skandal dokumen-dokumen Vatikan yang dibocorkan, yang kemudian kita kenal dengan skandal Vatileaks.
Benediktus XVI mengundurkan diri bukan karena mau lari dari tanggung jawab yang disangganya. Paus menyadari sungguh tugas perutusan yang diemban Gereja, untuk mewartakan dan menyatakan kabar gembira keselamatan Allah. Dia sudah ikut serta dalam mewujudkan tugas perutusan tersebut, tidak saja sebagai imam-uskup, teolog, pejabat di kuria Vatikan, namun pula sebagai Paus. Maka dia melihat bahwa terlibat dalam karya perutusan Allah bisa dijalankan dalam berbagai peran dan keterlibatan.
Dalam pernyataan pengunduran dirinya, Benediktus XVI mengatakan bahwa tugas penggembalaan, sebagai salah satu wujud keterlibatan akan karya Allah, tidak saja membutuhkan kata dan tindakan, namun pula doa dan penderitaan, ikut serta dalam jalan salib. Jabatan Paus bukanlah terutama soal kuasa, akan tetapi lebih soal hidup panggilan, menapaki jalan kehendak Allah. Itulah jalan kemartiran yang melekat pada jabatan Paus, demikian dikatakannya.
Paus Emeritus
Setiap keputusan baru, apalagi yang mengejutkan, menjadi suatu tonggak sejarah yang baru. Demikian pula setelah sekian abad berlangsung, ada seorang Paus yang mengundurkan diri. Hal itu sesuatu yang baru dalam sejarah Gereja. Untuk beberapa saat seakan lalu ada “dua Paus”, yang menjabat dan seorang Paus emeritus. Keduanya tinggal di Vatikan. Menarik, bahwa semuanya toh berjalan baik-baik saja, tidak ada gesekan berarti. Paus Benediktus XVI memegang teguh pernyataannya saat bertemu dengan para Kardinal sebelum dia meninggalkan Vatikan beberapa waktu setelah pengunduran dirinya, “Di antara kalian ada yang akan menjadi Paus, dan saya secara tegas akan menyatakan penghormatan dan kesetiaan saya kepadanya”.
Memang tidak jarang berbagai kalangan seakan hendak mempertentangkan keduanya, Benediktus XVI dan Fransiskus. Apalagi kalangan yang tidak suka dengan Paus Fransiskus sering menggunakan pemikiran atau sosok Paus Benediktus XVI untuk mengritik Paus yang sedang menjabat. Akan tetapi semuanya itu sia-sia. Upaya untuk memancing-mancing Benediktus XVI bereaksi atas beberapa keputusan dan kebijakan Fransiskus juga tidak berhasil.
Bagi Benediktus XVI sangat jelas, hanya ada satu Paus, yaitu Fransiskus. Tidak ada dua Paus, maka peran magisterial serta penggembalaan Gereja universal ada pada Paus Fransiskus. Moto Cooperatores Veritatis, penjaga kebenaran tetap dipegang teguh, bahwa kesetiaan dan kesatuan dibawah dan bersama Paus (cum Pietro et sub Pietro) yang secara resmi dan sah menggembalakan Gereja, yaitu Fransiskus adalah prinsip dasar dalam kehidupan Gereja.
Benediktus XVI menjalankan perannya dengan setia, berdoa bagi Gereja. Memang beberapa kali dia menulis atau menyatakan pandangannya. Tidak jarang tulisan-tulisan tersebut sebelumnya diserahkan kepada Paus Fransiskus, untuk dibaca serta memohon pandangan bahkan izinnya untuk mempublikasikannya. Suatu kerendahan hati sejati.
Paus Fransiskus pun tidak pernah memiliki kesulitan dengan pendahulunya. Betapapun memiliki sikap dan karakter yang berbeda, namun keduanya saling melengkapi, dan memperkaya kehidupan Gereja. Fransiskus pun beberapa kali menyebutkan bahwa dia tidak jarang meminta nasihat dan pendapat dari Benediktus XVI akan beberapa hal dalam kehidupan Gereja. Yang tua memiliki pengalaman dan kebijaksanaan, maka dialog antargenerasi perlu dijalin untuk itu.
Dalam wawancaranya dengan Peter Seewald di tahun 2016, Letzte Gespräche, Benediktus XVI mengakui pada mulanya tidak menduga bahwa Jorge Mario Bergogliolah yang terpilih sebagai Paus menggantikannya. Namun kemudian dia menyambut gembira pilihan tersebut, karena menurutnya Bergoglio adalah figur yang tepat untuk membawa pembaharuan di dalam tubuh Gereja maupun membawa Gereja menjalankan tugas perutusannya di tengah dunia yang berubah ini. Benediktus XVI memandang Gereja dalam sukacita iman akan penyertaan Roh Kudus yang senantiasa hadir dan menuntun.
Akhirnya…
Uskup Agung George Gänswein, sekretaris pribadi Benediktus XVI mengungkapkan bahwa Benediktus XVI tidak membayangkan akan berusia panjang, satu-dua tahun setelah mengundurkan diri, dia merasa waktunya sudah cukup untuk menghadap Tuhan. Akan tetapi, Tuhan berkehendak lain, hampir 10 tahun setelah pengunduran dirinya Benediktus XVI barulah diperkenankan menghadap Tuhan. 31 Desember 2022, Paus Emeritus Benediktus XVI meninggal dunia. Menarik, Paus Yohanes Paulus II wafat di hari Sabtu setelah Paskah, dan Benediktus XVI meninggal dunia di hari Sabtu setelah Natal.
Sudah lama Benediktus XVI menyatakan kesiapannya untuk menghadap Tuhan. Bahkan dia mengatakan, hidupnya sepenuhnya ada di tangan Tuhan. Doa yang dicintainya, suscipe, penyerahan segalanya ke tangan Allah menggambarkan hal itu. Demikian pula dia pernah mengatakan berdoa pada perantaraan Santo Yosef, pelindung kematian yang baik. Saat menulis surat tanggapan atas pengungkapan fakta perundungan seksual saat Ratzinger menjabat Uskup di München, dia mengatakan hanya bisa tergetar dan pasrah melihat apa yang telah terjadi dan dialaminya. Namun itu bukan sikap pesimis, melainkan percaya sebab dia menanti suatu “paraclete”, turunnya Roh Kudus yang tidak saja memberi terang namun pula mengubah.
Dalam testamen rohani yang ditulis 29 Agustus 2006 dan baru dibuka setelah wafatnya, Benediktus XVI menyinggung soal kerapuhan dan keterbatasan dirinya, yang hal itu bisa menyebabkan orang lain terluka dan dia sendiri membuat keputusan dan mengambil sikap yang salah. Dia meminta maaf atas semua ini. Namun sekaligus dia mengingatkan kita semua agar teguh dalam iman dan tidak ragu. Akhirnya di tengah segalanya Allah yang akan menang. Hal itu menunjukkan cinta akan Allah. Tidak mengherankanlah kalau di saat akhir hidupnya, Benediktus XVI mengatakan cinta mendalamnya kepada Yesus, “Jesus, Ich liebe dich!”
Benediktus XVI adalah tanda yang dianugerahkan Allah terutama kepada Gereja, tetapi juga kepada dunia. Demikian Paus Fransiskus menyebutkan saat menanggapi berita wafatnya pendahulunya. Maka kehadirannya perlu disambut dalam rasa syukur. Rasa syukur itulah yang perlu kita hidupi.
Maka kita bersyukur kepada Allah atas anugerah-Nya dalam diri Joseph Aloysius Ratzinger atau Benediktus XVI. Sungguh suatu anugerah yang indah dan besar. Dalam rasa syukur itu kita hantar beliau ke pangkuan kasih Allah, untuk menemukan istirahat abadi dalam damai bersama-Nya di Surga. Sungguh dia adalah rekan pekerja akan kebenaran, hamba yang setia dan bijaksana.
T. Krispurwana Cahyadi, SJ (Teolog, Tinggal di Girisonta)
HIDUP, Edisi No.2 Tahun ke-77, Minggu, 8 Januari 2022