HIDUPKATOLIK.COM – MEMASUKI kompleks Gua Maria Sendangsono, Promasan, Minggu pagi itu masih terasa keteduhan suasana yang sama dengan keteduhan tiga puluh tahun lalu. Ketika itu masih sangat banyak remaja dan kaum muda Katolik berziarah ke Sendangsono dengan naik sepeda atau jalan kaki beramai-ramai. Rute perjalanan yang masih berupa jalan tanah belum diaspal pada saat hujan akan menyulitkan pengendara sepeda naik ke sendang. Karena itu, sepeda harus dititipkan, dan peziarah melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki. Cerita ini pasti tidak akan terdengar lagi di zaman sekarang ini.
Sejarah Gua Maria Sendangsono sudah banyak dikisahkan dalam berbagai media dan isinya kurang lebih sama. Secara khusus dalam edisi kali ini HIDUP hendak mengenang peristiwa 118 tahun lalu. Pada tanggal 14 Desember 1904, 173 orang dibaptis di sumber Semagung, di bawah dua pohon sono (angsana). Babtisan dilakukan oleh Romo Fransiskus Van Lith, SJ atas usaha seorang katekis pribumi bernama Barnabas Sarikrama.
Pribumi Pertama
Sebagai orang muda yang getol memperdalam ilmu kejawen, Sariman Soerawirja sering melakukan tapa untuk memperdalam ilmunya. Sebagai seorang anak yatim, dia harus berpisah dengan ibunya dan dibesarkan oleh kakek neneknya hingga akhirnya menikah. Keluarga ini tinggal di Kajoran dan akhirnya punya anak. Setelah punya anak, Sariman mengalami sakit cecek, tidak bisa berjalan, lukanya berbau, dan tidak ada obatnya. Berkat wangsit yang diterimanya setelah bertapa di dekat mata air di bawah pohon sono. Wangsit itu mengatakan, “Menyanga ngalor ngetan, lan kowe bakal oleh loro-loroning atunggal”. Artinya, Sariman diminta berjalan ke arah timur laut untuk bertemu dengan dua orang berkulit putih yang akan menjadi sarana kesembuhannya. Dia berjalan dengan ngesot hingga akhirnya sampai ke Muntilan dan bertemu dengan dua orang Belanda, yaitu Bruder Kersten, SJ dan Romo Van Lith SJ. Mereka berdua merawatnya dengan baik hingga sembuh.
Dalam masa perawatan ini, Sariman sempat belajar mengenai ajaran iman Katolik dari Rama Van Lith, dan dia merasa tertarik untuk memperdalam setelah sembuh. Karena itu, Romo Van Lith mengajarkannya kepada Sariman yang kemudian mengisahkannya kepada keluarga dan beberapa temannya. Mereka tertarik dan ikut mempelajarinya hingga akhirnya dibaptis oleh Romo Van Lith pada tanggal 20 Mei 1904, yaitu Barnabas Sarikrama (nama baru Sariman yang diberikan oleh Romo Van Lith), Lukas Suratirta (mertua Sariman), Markus Sokadrana, dan Yohanes Surawijaya. Baptisan dilakukan di bawah pohon sono di dekat sumber air Semagung (Red: sekarang sumur ini ditutup kaca namun airnya masih bisa diambil bagi para peziarah dan disediakan dalam botol kecil). Setelah dibaptis, Barnabas Sarikrama melanjutkan pengajarannya kepada banyak orang yang datang ingin melihat kesembuhannya. Barnabas Sarikrama mengisahkan peristiwa sembuhnya sambil menceritakan tentang Romo Van Lith dan ajaran serta kisah hidup Yesus Kristus.
Dari hasil pewartaan yang dilakukan Barnabas Sarikrama ini akhirnya banyak orang ingin menjadi Katolik dan terjadi pembaptisan pertama di Desa Semagung. Romo Van Lith membaptis mereka di bawah dua buah pohon sono (angsana). Peristiwa ini terjadi pada tanggal 14 Desember 1904 yang diberikan kepada 173 orang.
Setelah peristiwa ini, Barnabas Sarikrama masih melanjutkan misi pewartaannya ke wilayah sekitar Pegunungan Menoreh. Dia mengajarkan iman Katolik kepada penduduk dengan berjalan berkeliling sebagai katekis. Dia juga mengajari mereka berdoa, mengumpulkan mereka dan mengajar tentang iman Katolik, bahkan mengantarkan mereka ke Muntilan untuk mengikuti peribadatan atau misa.
Dia sungguh mencintai pekerjaan sebagai katekis melebihi keluarganya. Bertahun-tahun dia melakukan hal itu, sekaligus menjadi pamong bagi mereka yang telah dibaptis atau katekumen. Karena kegigihannya itu, Paus Pius XI menganugerahi Barnabas penghargaan Pro Ecclesia et Pontifice yang diterimanya pada tahun 1929 bertepatan dengan jubelium perak misi di Tanah Jawa. Meskipun Barnabas Sarikrama sudah meninggal pada tanggal 5 Juli 1940 namun semangat misionernya terus dilanjutkan oleh banyak orang ke seluruh nusantara.
Oase Rohani
Sejak September 2020 yang bertugas sebagai Pastor Paroki Promasan adalah Romo Aloysius Triyanto. Dalam wawancara telepon dengan HIDUP, Romo Tri menyatakan perhatian khusus pada Sendangsono diberikan karena ada beberapa hal yang penting untuk dijaga.
Dalam pandangannya sebagai seorang imam, Sendangsono adalah oase rohani bagi banyak orang, bagi para peziarah yang ingin menemukan keheningan batin, mendekatkan relasi dengan Tuhan melalui perantaraan Bunda Maria. Kondisi Sendangsono yang menyatu dengan alam membantu para peziarah untuk menemukan tujuan kedatangannya ke sini.
Selain karena faktor alam yang menyegarkan, bangunan di Sendangsono merupakan cagar budaya yang tidak boleh diubah tanpa izin. Semua bangunan itu merupakan hasil karya arsitek seorang imam diosesan Keuskupan Agung Semarang, yaitu Romo Y.B. Mangunwijaya, yang sempat mendapat penghargaan dari Ikatan Arsitektur Indonesia.
Guna melayani kebutuhan peziarah, Romo Paroki Promasan memfasilitasi dengan membuat novena setiap tahun dengan 9 kali pertemuan dan eEkaristi. Selain itu, ada perayaan Ekaristi mingguan yang ditujukan kepada para peziarah yang datang, agar tidak ketinggalan mengikuti ekaristi.
Secara fisik, paroki juga tidak melakukan perubahan atau penambahan bangunan di lokasi ini. Paroki hanya melakukan perawatan agar bangunan, tanaman, pohon, dan sungai lebih terawat dan tampil bersih, indah dipandang untuk menambah fungsi oase alam. Demikian juga dengan gazebo, ornamen-ornamen hiasan, semuanya tetap dilestarikan.
Paroki juga melakukan pengembangan seni budaya. Paroki Promasan mempunyai kesenian slawatan Katolik (Slaka) yang bisa digunakan untuk membangkitkan nilai-nilai kekatolikan melalui iringan dan nyanyian. Slaka tetap dilestarikan supaya tidak tercerabut dari akar historis budayanya. Sementara dari sisi sosial ekonomi, Sendangsono mempunyai kontribusi besar pada masyarakat sekitar. Paroki tidak banyak melakukan usaha komersial karena ingin memberdayakan warga setempat dalam mengembangkan usaha untuk memenuhi kebutuhan peziarah. Bentuknya ada usaha warung makan, penjualan barang-barang devosi, makanan lokal, dan lain-lain sehingga mereka dapat meningkatkan ekonomi keluarga. Hal ini juga menyebabkan partisipasi dalam hidup beragama masih tinggi, sehingga setiap kegiatan yang dilakukan pasti akan didukung umat dan warga sekitar.
Pandangan bahwa Sendangsono merupakan oase rohani juga muncul dari seorang imam lain, yaitu Romo Antonius Wahadi Martaatmaja. Imam yang ditahbiskan pada 25 Januari 1977 ini telah berkarya di banyak paroki. Ketika diwawancarai HIDUP di Pastoran Baciro, Romo Wahadi mengisahkan pelayanannya di Paroki Promasan selama dua periode, yaitu periode pertama (1979-1981) dan periode kedua (2012-2019).
Ada perbedaan situasi ketika pelayanan pertama dijalani. Kondisi umat masih sederhana, jalan-jalan masih tanah, semangat umat untuk berdevosi dan menggereja, hidup sebagai paguyuban umat sangat kuat. Doa bersama di lingkungan dalam Bahasa Jawa rutin dilakukan, dan sangat banyak yang ikut. Mereka mendoakan Litani Bunda Maria, Litani Nama Yesus, dan Litani Hati Kudus Yesus, Doa Pengharapan semua umat hafal. Tokoh-tokoh umat pada zaman itu sangat teguh imannya dan menguasai lapangan. Masyarakat kebanyakan petani, meskipun pertanian masih tradisional. Kemudian datang Suster SPM sehingga pendidikan mulai dialihkan yayasan umat ke SPM.
Pada waktu itu ada gerakan peningkatan pertanian dari pemerintah yang gencar dilakukan. Pegunungan-pegunungan banyak ditanami padi gaga dan hasilnya sungguh bagus karena memakai pupuk kimia. Usaha pemerintah bagus, sementara dari Gereja sudah lama melakukan peningkatan pertanian dengan budi daya cengkeh. Suster SPM kemudian menggerakkan umat untuk menanam buah-buahan dengan bibit rambutan dan jeruk yang diambil dari Lumajang, Jawa Timur. Bibit kemudian diserahkan ke setiap keluarga umat dengan sistem dijatah. Kondisi makin baik karena ada anak-anak yang ikut kursus pertanian di KPTT Salatiga sehingga mereka bisa membantu para Suster. Kalau pada periode pelayanan yang kedua, kondisinya sudah jauh berbeda. Paguyuban umat masih ada, meski ada penurunan jumlah disbanding masa dulu. Umat yang secara pribadi spontan pergi ke Gua juga makin berkurang, meskipun jalan-jalan sudah bagus dan diaspal. Tanah di kampung sudah diperbaiki dengan dicor, tampak nyata semangat umat untuk memperbaiki transportasi.”
Selanjutnya terkait dengan keberadaan Sendangsono sendiri, Romo Wahadi merasa bahwa tempat ini mempunyai suasana rohani yang sangat kuat. Selain digunakan oleh umat Katolik, juga ada umat Buddha yang melalui tempat ini, kemudian berhenti beristirahat dan berdoa. Dalam keteduhan dan keheningan alam yang mendukung terbangunnya suasana hening, sangat mendukung pertumbuhan iman karena peziarah yang datang lebih mudah merasakan cinta kasih Allah.
Romo Wahadi juga sering ke Sendangsono malam hari ditemani warga pastoran. Terkait dengan peringatan 118 tahun Babtisan Pertama, Rmo Wahadi merasa bahwa umat Sendangsono mempunyai semangat kebatinan yang kuat, sehingga ada kecenderungan mencari ilmu dalam arti rohani yang juga kuat.
Ke depan ia berharap agar sebagai oase rohani, Sendangsono sekaligus menjadi tempat yang meneduhkan banyak orang resah karena pergumulan hidupnya, dan terbantu menemukan kehendak Tuhan dalam hidupnya di tempat ini.
Keutuhan Ciptaan
Untuk menjaga dan mengelola tempat ziarah sebesar Sendangsono pasti dibutuhkan sumber daya dan sistem tata kelola yang kompleks. Selanjutnya HIDUP juga mewawancarai sosok yang berperan dalam pengelolaan Sendangsono. Peran itu dijalankan dengan baik hingga saat ini oleh Setiyanto, S.S. Perannya sebagai Manajer Area Sendangsono sudah dijalani selama 18 tahun, sejak tahun 2004.
Dikisahkannya bahwa pada awalnya Setiyanto hanya diminta untuk mendampingi karyawan dan meningkatkan layanan kepada para peziarah. Namun, dalam perkembangannya tugas itu bertambah, dia bahkan diminta ikut memikirkan bagaimana cara agar setiap orang yang datang dapat menemukan Tuhan sesuai kondisi dan kebutuhan masing-masing.
Saat ditanya tentang pengalaman yang berkesan, Setiyanto mengatakan, “Bertemu dengan orang-orang yang mempunyai iman kuat, mendalam, dan teguh memperjuangkan imannya merupakan kegembiraan tersendiri. Sharing mereka sangat inspiratif. Salah satu sikap iman yang menyentuh saya untuk meneladan adalah pasrah kepada Tuhan tetapi tidak lupa berikhtiar.”
Dia melanjutkan, “Bekerja di Sendangsono merupakan salah satu cara yang saya pilih untuk mencintai Gereja. Di situ, saya punya waktu banyak untuk merawat fisik aset Gereja, melakukan dialog tentang agama, dialog lintas apa pun, dan berbagi pengalaman rohani. Saya melihat banyak orang merasa dicerahkan dalam hal pengetahuan tentang agama Katolik. Saya juga punya kesempatan untuk bercerita tentang pokok-pokok iman katolik kepada penganut agama lain. Jadi, melayani di Sendangsono juga menjadi ruang luas untuk melakukan pewartaan dan dialog lintas iman”.
Meskipun sudah berlangsung selama 18 tahun, namun Setiyanto merasa tidak ada kesulitan berarti. Dia bahkan menceritakan beberapa rencana ke depan yang akan dilakukan dalam koordinasi dengan pastor paroki, yaitu usaha untuk tetap menjaga Sendangsono menjadi tempat yang bersih, damai, dan tenang untuk berdoa.
Selain itu, ada rencana pengembangan (baru tahap koordinasi dan persetujuan oleh Uskup Agung Semarang) berupa penambahan ruang pertemuan, pastoran, dan ruang konsultasi serta mendukung kegiatan pelestarian lingkungan.
Terkait dengan kegiatan pelestarian lingkungan, Setiyanto juga diminta mengisi katekese dalam Novena Keutuhan Ciptaan dan Sinodal ke-9 Kevikepan Yogyakarta Barat yang berlangsung di Sendangsono, 11 Desember 2022.
Beberapa hal berikut merupakan bagian dari perhatian Sendangsono, yaitu memetri alam semesta, ikut dalam komitmen mengurangi pemakaian pupuk kimia, mendukung munculnya kelompok tani yang bertani secara alamiah, dan pada tahun 2000 ada memetri peparing Dalem Gusti dengan menanam kembali produk keanekaragaman hayati untuk merawat kondisi alam yang mulai pudar. Saat itu, ada isu padi akan habis, maka keanakeragaman hayati mulai dihidupkan.
Sendangsono juga akrab dengan bencana tanah longsor yang mengisolir wilayah-wilayah tertentu. Kondisi alam pegunungan yang berubah merupakan tantangan umat agar dapat mengupayakan kesejahteraan dalam keterbatasan. Peran kaum muda, khususnya dalam era pandemic menumbuhkan harapan dan sekaligus memperkuat refleksi umat untuk memelihara kelestarian alam semesta. Para orang tua juga diminta mewariskan kebijakan lokal kepada anak cucu agar pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki juga tertanam dan dapat diteruskan. Alam semesta yang diciptakan baik perlu diberikan kepada generasi penerus sebaik saat kita menerimanya.
Pengembangan Iman
Melengkapi dinamika pengenalan Sendangsono terkini, HIDUP bertemu dengan salah satu umat Paroki Promasan, yang kebetulan menjadi Ketua Bidang Liturgi, Koordinator pelaksanaan Novena Keutuhan Ciptaan dan Sinodal Kevikepan Yogyakarta Barat, Yohanes Hardiyanto. Sehari-hari bekerja sebagai guru di SD Taraknita Ngembesan.
“Sendangsono memiliki peran yang besar bagi umat sekitar, baik dari sisi rohani maupun ekonomi. Umat menerima Sendangsono sebagai suatu berkat melalui Bunda Maria. Dalam hidup beriman, Sendangsono berperan dalam pengembangan iman umat sekitar. Kebiasaan berdoa harian dan berdevosi kepada Bunda Maria sungguh tertanam dalam diri umat. Sendangsono tidak pernah sepi pengunjung, termasuk umat setempat di sekitar Sendangsono juga memanfaatkan waktu untuk sejenak berdoa melalui Bunda Maria. Berkat melalui bunda Maria itu juga dirasakan dengan tumbuh dan berkembangnya benih-benih panggilan khusus menjadi imam, bruder, dan suster,” paparnya.
Ketika ditanya mengenai pengaruhnya terhadap warna pelayanan gerejawi yang diakukan saat ini serta harapan ke depan, Hardiyanto menyampaikan, “Devosi kepada Bunda Maria masih mewarnai pelayanan gerejawi. Pelayanan liturgi di Sendangsono dilaksanakan dalam kerja sama Dewan Pastoral Paroki Promasan dan Pengurus Peziarahan Sendangsono. Pelayanan liturgi yang dilaksanakan saat ini adalah Perayaan Ekaristi setiap hari Minggu pukul 11.00 untuk pelayanan terhadap para peziarah yang datang ke Sendangsono. Untuk saya pribadi, ada semangat katekis pertama (mbah Barnabas Sarikrama) yang menyemangati agar tekun dalam tugas pelayanan ini. Prinsip saya, ‘aku ini hanya hamba Tuhan yang sudah diberi anugerah oleh Tuhan. Kini tugasku melanjutkan dan membagikan berkat lewat tugas pelayanan. Dia harus makin besar dan aku makin kecil, seperti kata Yohanes Pembaptis.”
Hardi menyampaikan harapan agar Sendangsono tetap menjadi tempat ziarah yang mengesan bagi siapa saja yang datang, sehingga membantu pertumbuhan dan perkembangan iman mereka.
Benih Ikan
Kegiatan peringatan 118 tahun baptisan pertama ini juga diwarnai dengan penebaran benih ikan di sungai yang mengalir di bawah pohon sono serta pembagian bibit Indigo fera sebagai upaya melestarikan alam ciptaan, khususnya menekan dampak tanah longsor. Kegiatan novena diwarnai dengan katekese yang disampaikan oleh Setiyanto, S.S dan M.Y. Esti Wijayati serta dirangkum oleh Vikjen KAS, Romo Y.R. Edy Purwanto.
Veronika Naning (Yogyakarta)
HIDUP, Edisi No.1, Tahun ke-77, Minggu, 1 Januari 2023
Tempatnya bagus sekali.