HIDUPKATOLIK.COM – SAJIAN UATMA Majalah HIDUP tanggal 23 Oktober 2022 menyoroti penggunaan Basis Integrasi Data Umat Keuskupan (BIDUK). Beberapa hal patut disyukuri sebagai bagian dari cara Gereja untuk memperbaharui diri terutama dengan memberikan pelayanan pastoral yang lebih komprehensif kepada umat.
Menurut Romo Adi Prasojo, beberapa keunggulan dari BIDUK adalah seperti pencatatan profil umat, sehingga BIDUK bisa memudahkan arah dan program pastoral yang dijalankan. Selain itu, dalam temu BIDUK Nasional di Jakarta, beberapa rencana pengembangan ekosistem juga dibicarakan. Misalnya, pengembangan BIDUK agar sesuai dengan data dukcapil (data kependudukan berdasarkan Nomor Induk Kependudukan), serta menjadi ekosistem atau wahana aplikasi yang memuat banyak hal seperti telekomunikasi, perbankan, market place, dan masih banyak lagi.
Walaupun demikian, beberapa kendala tercatat dalam edisi Majalah HIDUP ini. Pertama, yaitu perkembangan isian data yang berbeda antarsatu keuskupan dengan yang lain. Hal ini terkait dengan metode pengumpulan data. Kedua, yaitu kesadaran umat untuk berbagi informasi data bagi pelayanan pastoral. Bagian ini terkait dengan privasi data yang digaungkan akhir-akhir ini.
Dua Metode
Dalam konsep pengumpulan data, ada dua metode yang biasanya digunakan. Metode pertama adalah menggunakan seluruh sumber daya yang ada dalam jangkauan manajemen. Dari pembacaan saya dari berita di HIDUP, metode ini yang dipakai, karena kebanyakan keuskupan menggunakan metode pengumpulan dengan memberdayakan relawan.
Metode kedua yang biasa dipakai adalah dengan melakukan outsourcing memberdayakan pihak ketiga. Biasa ini dilakukan oleh lembaga riset agar hasil data lebih optimal dan indepedensi lebih terjamin.
Permasalahannya, pengumpulan data di paroki-paroki kecil tidak semudah yang dibayangkan. Memang, jika membayangkan umat bisa berproses dengan cepat maka data akan terekam secara aktual.
Namun, ada kasus di majalah ini yang saya soroti, yaitu ketika seluruh formulir menggunakan manual, dan menunggu relawan untuk dapat mengisi, sehingga data tersebut menjadi tidak aktual. Kendala yang lain adalah, tidak semua wilayah keuskupan memiliki penduduk dengan akses internet. Beberapa paroki berada di wilayah yang tidak ada internetnya sehingga pengumpulan data menjadi kendala.
Perlu Terobosan
Menyikapi permasalahan ini, dibutuhkan terobosan. Kita telah mengetahui bahwa BIDUK terhubung dengan internet, dan setiap orang dapat mengisi datanya secara masing-masing. Hal ini bagus untuk konteks umat paroki di perkotaan, tetapi untuk mereka yang berada di wilayah pedesaan, terdapat kendala yang cukup banyak. Jika BIDUK menginginkan aktualisasi data yang paling mutakhir, maka mungkin saja metode outsourcing bisa dipilih agar data yang dikumpulkan lebih reliabel.
Selain itu, metode pengumpulan data dengan stratified sampling bisa dipertimbangkan, karena cakupan yang cukup luas. Periode “sensus” untuk seluruh BIDUK dapat dilakukan dengan periode interval yang berbeda.
Selain itu, permasalahan kedua adalah terkait dengan privasi data dan pengisian data. Dalam pengumpulan data, terdapat bias yang akan terjadi, salah satunya adalah pengisian oleh responden sendiri.
Dalam kerangka pengumpulan data (data collection framework), responden biasanya cenderung untuk lupa mengingat detail informasi yang ada, sehingga terkadang enumerator, atau orang yang bertugas mengumpulkan data harus melakukan pertanyaan prakiraan (probing), sehingga bisa terjawab dengan maksimal.
Kita ambil contoh dengan konteks pendapatan. Bagi orang Indonesia, menyatakan pendapatan agak tabu, sehingga sampai sekarang BPS kalau bertanya ke rumah tangga biasanya menggunakan konsep pengeluaran bulanan. Oleh karenanya, bantuan enumerator terkadang diperlukan agar data yang dimasukkan benar-benar sesuai.
Di sisi lain, masih ada permasalahan kepercayaan data yang akan dibagikan kepada paroki. Kepercayaan data ini bisa ditingkatkan dengan memberikan formulir consent atau persetujuan.
Untuk konteks Indonesia kita jarang untuk menerapkan consent, karena biasa sejak awal data diberikan, responden harus mengetahui apa yang dibagikan, dan kegunaan data tersebut. Selain itu, beberapa lembaga riset menerapkan proteksi personal identifiable information (PII).
Jadi, informasi seperti nama, nomor telepon, dan data yang bersifat rahasia tidak bisa diakses oleh beberapa pihak. Dan data seperti PII tersebut harus dienkripsi agar kerahasiaan terjamin. Alasannya sederhana, untuk membuat kebijakan kita memerlukan gambaran besar, kita tidak perlu tahu si ‘A’ memiliki pendapatan berapa. Dengan consent dan PII, maka umat bisa mendapatkan pemahaman yang benar dan percaya untuk berbagi data dalam BIDUK.
Permasalahan terakhir adalah mengenai format data. Dari laporan HIDUP, masih ditemukan bahwa input manual masih menjadi proses. Hal ini tidak bisa dibiarkan. Dalam pengelolaan dan pemrosesan data yang populer, beberapa lembaga riset menggunakan beberapa aplikasi agar format input data sesuai dengan apa yang diinginkan. Jika input manual dilakukan, maka kategorisasi data menjadi tidak maksimal, dan ini berdampak pada analisa data yang terhambat dan kurang optimalnya dalam kebijakan pastoral data.
Salah satu yang jadi sorotan dalam pengambilan data adalah keamanan data pribadi. Sejak tahun 2016, Uni Eropa membuat General Data Protection Regulation (GDPR), yaitu sebuah kebijakan yang berusaha melindungi data pribadi orang agar orang merasa aman untuk berbagi data yang dimiliki. Maklum, dengan pembagian data pribadi, orang bisa saja merasa tidak aman karena tidak mengetahui data yang ada akan digunakan untuk apa.
Kebijakan di Eropa ini membuat paroki-paroki dan Gereja melakukan penyesuaian dalam kebijakan mengenai data. Salah satu kebijakan yang saya lihat berasal dari Inggris, dijelaskan bahwa pembagian tugas untuk mereka yang bisa mengontrol data (controller) adalah pihak keuskupan. Paroki tidak memiliki hak untuk mengontrol data yang memiliki. Akan tetapi, paroki bisa memiliki hasil olahan data yang ada.
Kebijakan ini lumrah, sebab dengan semakin terdistribusinya data, maka kerahasiaan data menjadi tidak terjamin. Mengenai ini, perlunya data diberikan anonimitas agar pengolahan data menjadi profesional. Anonimitas merupakan cara agar data tidak bisa dilacak ke pemberi data yang asli. Anonimitas pada informasi personal seperti nama, nomor telpon genggam, atau alamat merupakan cara agar orang merasa terjamin dengan data yang dibagikan.
Pembuatan petunjuk teknis tentang pengolahan data menjadi sangat penting karena rawan untuk disalahgunakan. Kita tentu mengetahui bagaimana kebocoran data yang terjadi di lingkungan pemerintahan cukup meresahkan warga masyarakat. Dalam petunjuk tenis yang dibaca, model keuskupan di Inggris membuat semacam tata kelola jika kebocoran data terjadi. Bagi saya, ini adalah proses agar pengambilan data semakin profesional.
Agar Makin Relavan
Pada akhirnya, jika pastoral berbasis data bertujuan memiliki konsep profesional dan modern sehingga bisa menjadi kunci pertumbuhan Gereja, maka seluruh umat yang memiliki kemampan di bidang ini harus dilibatkan agar memberi sumbangan perbaikan.
Jika BIDUK yang dicita-citakan bisa terwujud, kita bisa membayangkan apa yang menjadi masa depan Gereja: Gereja yang semakin relevan dengan kebutuhan. Saya membayangkan kalau manajemen data begitu baik, maka kebutuhan umat bisa diidentifikasi oleh paroki yang terlibat.
Cita-cita BIDUK yang terintegrasi benar-benar merupakan suatu terobosan, agar umat dapat merasakan pastoral yang lebih tepat sasaran dan bukan hanya perkiraan. BIDUK juga bisa menjadi suatu langkah baru Gereja untuk membuat kebijakan yang berdasarkan evidence-based dan berdampak bagi kehidupan umat. Bukan tidak mungkin jika kita melihat di masa depan pemberian program karitatif bisa mengidentifikasi lebih tepat, atau kita bisa melihat bagaimana perkembangan umat yang diberikan bantuan. Tentunya, BIDUK yang merupakan langkah kecil bisa menjadi langkah besar.
Fr. Alexander Michael Tjahjadi, SJ, Persiapan Studi S2 Filsafat di STF Driyarkara dan Mantan Analis Riset
Sumber: HIDUP, Edisi No.1, Tahun ke-77, Minggu, 1 Januari 2023