Setiap yang baru datang
Haruskah hal-hal lama dilupakan?
Tak bolehkan dibiarkan saja dalam ingatan?
Berdampingan tanpa saling tendang
Semasa SMP, ada era para siswa punya gank dan bikin stiker dengan nama ganknya. Ditempel di kaca belakang mobil para anggota ataupun ‘simpatisannya’. *tolong jangan tanya tahun berapa ini. Pasti bisa menebaklah dari penuturan soal gank dan stiker. Pasti jadul!
Ikutan trend, aku juga bikin dengan beberapa teman cewek. Buka-buka kamus ketemulah kata Anxiety. Tak peduli artinya, tapi kok terdengar keren dan dibikin stiker juga bagus lho pada masanya.
Gank ecek-eceklah kalau pinjam istilah orang Medan. Punya nama, stiker, sudah gitu saja! Tanpa kegiatan khusus selain JJS (Jalan-jalan Sore). Semakin ketahuan kan, angkatan kapan?
Lalu semua terlupakan tanpa ada hal istimewa. Bahkan beberapa teman yang jadi anggota kalau sekarang ditanya juga tak sadar dulu pernah punya gank dan stiker ANXIETY.
Baiklah, tak perlu dibahas sebab tidak eksis juga. Sekadar teringat saja karena tiba-tiba sejak pandemi merebak kata itu jadi primadona. Anxiety atau kecemasan akibat over thinking lalu berdampak jadi mental illness. Jadi topik serius pula karena menimpa banyak orang.
Aku tak terlalu paham soal mental illness. Pun tidak over thinking, karena mohon maaf memang tergolong malas mikir. Sudah lelah dengan segala yang tak sempat terpikirkan bahkan. Jadi ya begitulah. Tapi setiap Desember ternyata aku terserang ‘penyakit’ yang kunamai sendiri dengan December Anxiety.
Malam Natal lalu, aku bersama anak-anak mengikuti Misa di Ibu Kota. Antusias umat kembali memenuhi gereja setelah lama hanya mengikuti secara virtual. Deretan petugas berseragam lalu lalang ‘mengamankan’ situasi.
Sesaat mulai lagu pembukaan, sekonyong-konyong dua pria berseragam gelap menggenggam senjata laras panjang, tak paham jenis apa, berlari kecil di sebelah deretan kursi umat.
Putriku duduk di sebelah kiri spontan menatapku.
Sorot matanya cemas cenderung takut lalu over thinking. Kubisikkan: “Yesus hadir bersama kita di sini.” Jujur saat mengucapkan itu akupun was-was.
Misa selesai, tak lupa pastor mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang membantu, termasuk petugas keamanan sehingga misa berjalan aman. Hmm… beribadah terasa aman karena diamankan. Dan ini menjadi kecemasan setiap Desember tiba.
Jadi ingat sebuah kota di Eropa, ketika berjalan sendirian tengah malam karena tertinggal kereta terakhir. Sepi bahkan senyap, berpapasan dengan orang pun bisa dihitung. Tak ada polisi atau petugas pengamanan dalam bentuk apapun. Tapi aman! Malam itu aku belajar defenisi aman yang sesungguhnya.
Belum lagi urusan perdebatan ucapan selamat ramai seliweran di media sosial, podcast ataupun beragam plattform. Bahkan istilah cuti bersamapun jadi masalah. Sempat melintas di layar HP, berita di mana ada salah satu pejabat mengatakan, liburan Natal, cuti saja, bukan cuti bersama.
Oh.. berlibur pun tak boleh bersama? Mencemaskan juga ya bila semua dipermasalahkan. Bakal semakin menambah populasi orang cemas, over thinking lalu mental illness. Sudahlah, tenang saja. Ini kan terjadi hanya di bulan Desember. Bulan berganti, isu pun bertukar. Hanya saja nanti desember ya datang lagi.
Entah karena terpengaruh kecemasan Desember, atau frustasi tak kentara, jadilah pertama kali, dalam catatan sepanjang usia, aku terlewatkan detik-detik pergantian tahun. Ketiduran! Padahal itu momentum indah yang sudah jadi ‘tradisi berjalan’, di keluarga besar kami. Ada sedikit rasa kehilangan, tapi bukan berarti menyesali.
Di tahun 2022 aku toh sudah kehilangan cinta terbesar. Ibu pergi persis di sampingku dalam posisi tangan kiri menggenggam jemari kanan Ibu, sementara tangan kananku sibuk menekan keyboard laptop. Arrrggh…. sampai di sini jelas ada penyesalan hingga dasar relung memori. Tak menyadari Ibu pergi. Serasa dalam kesendirian padahal aku di situ.
Oh tidaaaak! Aku di sebelah Ibu, tapi ternyata tidak bersamanya. Perih setiap terkenang. Saat menuliskan ini pun sambil berperang dengan kelopak mata agar jangan sampai pertahanan rubuh. Tak boleh lagi ada air mata bergulir demi ketenangan ibu.
Ini pergantian tahun pertama tanpa Ibu. Dan aku terlewatkan momen menghitung mundur aibat ketiduran. Biasanya ada yang membuatku bertahan menunggu karena bertugas membangunkan Ibu pukul 23.50 sebagaimana pesan beliau: “Aku tidur dulu ya, nanti bangunin kalau sudah mau tahun baru.”
Atau sebaliknya, selalu ada yang membangunkan bila anak-anak terlelap. Entah itu Bapak atau Ibu setelah Bapak tiada. Ibu selalu menyiapkan teh manis panas. Sekadar info, teh manis panas Ibu terbaik se-Asia Tenggara kataku selalu. Serius! Selalu nikmat, menenangkan pikiran.
Nah, malam kemarin semua itu tak ada! Kosong!
Dalam kesedihan aku terhibur saat terdengar bisikan putriku pukul 00.04: “Selamat tahun baru Ma, sudah 2023. Ma ketiduran.”
Itu saja, lalu terlelap lagi hingga fajar 2023 tampil tapi langsung tersaput mendung serta curah hujan mengucur bagai tirai tebal sesuai ramalan BMKG. Terbangun nelangsa, tak ada ibu yang akan duduk manis dengan baju baru menanti kedatangan anak-anak dan menghidangkan….. teh manis panas.
Aku terduduk, tertinggal hiruk pikuk pergantian tahun di sudut kota kecil Kudus. Terbaca pesan manis di WA, dari Pastor Christo Nurak. Izin ya, Pastor, membagikan sepenggal yang telah membuat pagi pertamaku di tahun 2023 kembali berwarna meski tak sempat mengucap selamat tinggal pada tahun 2022.
Begini tertulis:
Biarkanlah tahun 2023 mengalir lebih lancar sebagaimana yang pernah kita coba di tahun 2022. Untuk itu, Marilah kita bersyukur atas semua peristiwa hidup, suka dan duka, tawa dan air mata, kasih dan kesepian, pencarian dan kehilangan.
Persis! Akupun berharap 2023 menjadi tahun kelanjutan dari setiap derap langkah di 2022. Kegundahan berbalut sepi akibat tak turut serta menghitung mundur pergantian kalender, apalagi terlewatkan menyaksikan pendar kembang api dan riuhnya terompet warna warni, terobati.
Ada kelanjutannya:
Sebab waktu boleh berganti tapi Tuhan kemarin, hari ini dan nanti tetaplah sama dalam mengasihi dan mengampuni kita. Mungkin kita yang harus terus bervariasi dalam mendekatkan diri dengan Tuhan untuk memohon rahmat-Nya.
Ada 12 kalimat panjang, tapi biarlah segini saja. Cukup 3 kalimat, sudah sangat menginspirasi. Begitulah, menapaki 2023 dengan melanjutkan langkah. Mengenali diri dengan seksama, agar paham mana langkah harus dipercepat, mana yang perlu ditahan, bahkan dihentikan. Tanpa daftar resolusi dalam benak. Apalah artinya resolusi tanpa eksekusi. Hanya akan menimbulkan frustasi berkepanjangan.
Kalaupun ada secuil harap di masa depan, seperti ini saja: berharap tak lagi ada kecemasan bulan Desember. Tahun kapan pun.
Permisiiii…!!!
Aku hanya memimpikan satu kedamaian
Lalu aku pun bermimpi
Orang-orang juga memimpikan dunia damai
Hingga akhirnya kesampaian
Kedamaian pun tidak lagi hanya impian
Salam Cinta: Ita Sembiring, Pekerja seni/Kontributor