HIDUPKATOLIK.COM – Saya bukan pecandu bola. Tapi ada 2 kesebelasan di dunia ini yang saya suka.
Pertama adalah Argentina, yang kedua PSIS Semarang.
Saya tidak sedang bercanda. Juga bukan sedang nyemoni atau berujar sinis. Ini ungkapan serius.
“Ojo dibanding-bandingke. Ojo disanding-sandingke”.
Saya punya ingatan khusus untuk kesebelasan favorit dari kota Semarang itu.
Di kala remaja, saya selalu nonton PSIS main. Ikut nglurug kalau tandang ke luar kota. Kadang ke Jogja, Solo atau Magelang.
Pokoknya selama masih di kota-kota Jawa Tengah, saya ikut naik mobil bak terbuka menjadi suporter kesebelasan kesayangan. Mengenakan jersei berwarna biru tua, walau sudah kumal dan berbau apek. Tak masalah, yang penting senang.
Soal PSIS menang atau kalah, tak peduli. Kalau menang senang jingkrak-jingkrak, kalau kalah termenung sambil maki-maki kesebelasan lawan.
Jangan heran kalau nama bintang PSIS menjadi hafalan luar kepala.
Ada Ribut Waidi, Surajab, Halilintar atau FX Cahyono. Entah di mana mereka sekarang.
Nanti malam, kesebelasan kesukaan saya akan tanding di stadion Lusail, Qatar.
Argentina menjajal Perancis, untuk mengesahkan siapa yang lebih berhak mengangkat piala dunia 2022.
Saya mutlak pegang Argentina.
Mainnya cantik, punya naluri mencetak gol. Seragamnya, garis-garis biru-putih, terlihat sejuk dan yang paling utama ada pemain pujaan saya, Lionel Messi.
Beberapa teman yang menjagokan Perancis mencibir, sambil mencemooh. Mana mungkin Argentina menang melawan Perancis.
Saya tak ambil pusing. Kalau saja (moga-moga tidak) Argentina kalah, cukup matikan ponsel hingga pagi hari. Ledekan “musuh” tak akan terdengar.
Pegang Argentina adalah satu hal, “dendam” ke Perancis adalah hal lain. Ini lantaran Perancis, salah satu anggota Uni Eropa, yang sedang mengadukan Indonesia ke WTO. Sayang, sementara ini, Indonesia kalah.
Kembali ke kehebatan “Albicelestes” (si putih dan biru langit). Argentina identik dengan Messi, Messi adalah Argentina. Bersama legenda lain yang sudah almarhum, Diego Maradona, keduanya melekat dengan Argentina.
Kedua nama yang harum, sejajar dengan Pele, Johan Cruyff, Zidane, Ronaldo atau Franz Beckenbauer. Tak heran kalau media barat menjuluki mereka menjadi satu kesatuan. “Maramessi, Messidona atau Diegonel”.
Meski sama-sama hebat, Maradona, di masanya, lebih populer dibanding Messi. Salah satunya berkat ulahnya menggunakan “tangan tuhan”.
Pada pertandingan perempat final di Piala Dunia 1986, yang berlangsung di Mexico City, Maradona melahirkan istilah yang selain kontroversial, juga spektakuler, sekaligus legendaris. Korbannya adalah Inggris, dengan skor 2-1.
Gol pertama lahir dari tangan (bukan kaki atau kepala) Maradona, setelah memenangkan duel udara dengan kiper Peter Shilton, yang memukau penonton.
Apa dikata, Maradona menggunakan tangannya untuk menyeploskan si kulit bundar ke gawang. Fantastis sekaligus ironis.
Argentina, tak usah menangis untuk saya (“Don’t cry for me, Argentina”), andaikan nanti malam kalian kalah melawan Perancis. Biarkan saya yang menangis untukmu.
Itu judul lagu yang digubah dan dipersembahkan oleh Andrew Llyoyd Webber dan Tim Rice saat meriset kehidupan tokoh Argentina yang lain, Evita Peron. Ibu negara, permaisuri Presiden Argentina, Juan Domingo Peron. Pemimpin beken dan terkemuka dalam kaliber dunia.
Kembali ke “tangan tuhan”.
Peristiwa itu terulang kembali di tahun 2016, dalam laga Piala Copa America.
Kali itu pelakunya adalah Raul Ruidiaz, pemain cadangan kesebelasan Peru, yang disebut-sebut sebagai Lionel Messi ala Peru.
Berada hanya sekitar 1 meter dari kiper Brasil, Allison, dia langsung menyambut bola muntah yang gagal dipeluk Allison. Tidak dengan kakinya, melainkan dengan lengan kanannya.
Bola masuk. Skor 1-0 sudah dicatat di papan pengumuman. Kemudian hakim garis memberitahu wasit bahwa scrimmage itu melibatkan “tangan tuhan”.
Wasit bergeming. Brasil tersisih. Brasil tak kalah melawan Peru. “Tangan tuhan” yang menaklukkannya.
Istilah “tangan tuhan”, lantas masuk perbendaraan sepak bola dunia. Pelanggaran – tetapi karena luput dari penglihatan wasit – disahkan sebagai gol.
Istilah “tangan tuhan” jelas keliru. Semacam plintiran, atau plesetan. Hanya bahan candaan belaka. Ungkapan sinis terhadap kecurangan. Yang pasti, bukan Tuhan yang melakukannya.
Yang benar, Tangan Tuhan bekerja untuk sesuatu yang membawa kemaslahatan sesama. Karya luar biasa yang dibuat oleh manusia, yang semula terkesan mustahil, namun terwujud berkat kekuasaan TanganNya.
Tangan Tuhan ditandai dengan ikut campur mukzijat. Manusia biasa tak mungkin melakukannya, tapi Tangan Tuhan membimbingnya, menariknya, dan mewujudkannya.
Lantas apa kehebatan Tangan Tuhan?
“Sesungguhnya, Tangan Tuhan tak kurang panjang untuk menyelamatkan, dan pendengaran-Nya tidak kurang tajam untuk mendengar”. (Yesaya 59 : 1)
P.M. Susbandono, Kontributor & Penulis Buku Inspiratif