web page hit counter
Minggu, 22 Desember 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Menegaskan Mana Kehendak Allah, Bukan Persoalan Mudah

Rate this post

HIDUPKATOLIK.COM – PERTANYAAN: Romo Kris, apakah segala sesuatu yang terjadi pasti kehendak Allah? (artinya telah ditentukan Allah). Bagaimana cara kita membedakan mana yang kehendak Tuhan dan mana yang bukan? – Novita, Jakarta

PADA saat berdoa di Taman Getsemani, Yesus mengatakan, “…Janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki” (Mat. 26:39). Ungkapan tersebut menunjukkan adanya pergulatan dalam kemanusiaan Yesus, betapapun demikian Dia memilih kehendak Allah, kenyataan Ilahi dalam diri-Nya.     Pergulatan seperti itu dialami oleh setiap orang, sebagaimana Paulus menggambarkan bahwa seringkali bukan apa yang diharapkan yang dibuat, melainkan apa yang tidak dikehendaki (Lih. Roma 7:15. 19). Dalam diri   kita ada duri dalam diri kita, sehingga kita sering menuruti kehendak daging (Lih. 2 Kor. 12:7; Ef 2:3), bagaikan lalang di tengah gandum (Lih. Mat. 13:24-30).

Kita tidak akan pernah mudah menegaskan sungguh akan kehendak Allah, tidak senantiasa bisa membedakan kehendak Allah dengan kehendak diri. Itulah pergulatan diri kita seumur hidup. Tidak jarang kita lebih mengikuti kehendak diri, kepentingan dan cinta diri kita. Dalam diri kita, ungkap Paulus, tidak jarang tidak ada sesuatu yang baik (Lih. Roma 7:18). Semua itu tidak lain adalah akibat dari kedosaan diri kita, sebagai kenyataan dari misteri kerapuhan diri kita, sesuatu yang melekat pada diri kita. Betapapun manusia adalah citra Allah, diciptakan menurut gambar dan rupa Allah (Lih. Kej. 1:27), namun rahmat kebebasan yang dianugerahkan Allah menjadikan kita menyalahgunakan kebebasan tersebut. Manusia menggunakan kebebasannya secara buruk.

Di dalam sejarah Gereja, pernah ada perdebatan   tentang predestinasi, yang lebih meyakini bahwa segalanya telah diatur serta dikehendaki oleh Allah. Pandangan ini kemudian dihadapkan pada pemahaman akan kehendak bebas, yang ada pula pada diri manusia. Perdebatan soal ini berlangsung lama, sejak di awal keberadaan. Gereja. Santo Augustinus cukup banyak berbicara tentang perkara ini, dan memberi pengaruh dalam ajaran Gereja akan hal ini. Katekismus Gereja Katolik kemudian menggambarkannya demikian, “Kalau Dia telah ‘menentukan’ sesuatu sebelumnya dalam rencananya yang abadi, Dia turut memperhitungkan juga jawaban setiap orang atas rahmat-Nya” (KGK 600).

Kehendak Allah adalah keselamatan, agar setap orang memperoleh kehidupan kekal (Lih.Yoh. 6:39-40). Yang sejak semula ditentukan Allah adalah untuk menjadi serupa dengan gambaran Putera-Nya, dan itu merupakan jalan pemuliaan (Lih. Roma 8:29-30). Dari sini kita bisa membayangkan bahwa Allah tidak menghendaki celaka, apalagi kehancuran. Karena itulah kita perlu senantiasa diperdamaikan dengan Kristus, diperbaharui oleh-Nya, agar martabat hidup kita dipulihkan. Allah menghendaki keselamatan bagi semua. Bila ada sesuatu yang tidak sesuai dengan itu, bisa   akibat dari penyalahgunaan kebebasan manusia. Namun selain itu, karena kita hidup dalam dunia yang rapuh, pribadi yang retak, maka kita perlu menjaganya agar tidak jatuh dan patah (Lih. 2 Kor. 4:7). Kisah pengkhianatan Yudas bisa kita pakai sebagai contoh, Tuhan memberi kesempatan, namun dia menyia-nyiakannya, memilih pergi dari-Nya. Tuhan mempersilahkan dia menjalankan rencananya sendiri (Lih. Yoh. 13:27).

Apakah setiap bencana alam sudah ditentukan oleh Allah, terlalu berlebihan kalau kita lalu memandang itu. Namun karena kita berada dalam dunia yang retak, mudah rusak, dan rawan bencana, maka tugas kita lah untuk menghindari, dan terutama meminimalkan dampak kerusakan atau kurban darinya. Dengan itulah kita menggunakan kebebasan serta akal budi kita secara benar dan bertanggungjawab. Melemparkan semuanya kepada kehendak Allah, bisa jadi malahan hanyalah sikap mau lari dari tanggungjawab dan kedewasaan iman

Menegaskan mana kehendak Allah, bukan persoalan mudah. Hal itu merupakan pergulatan seumur hidup kita. Kalau kita merasa bisa memastikan, kita akan mudah terjebak pada sikap “bermain sebagai Tuhan”. Maka kita dalami sungguh Kitab Suci dan ajaran Gereja, agar kita terbantu menegaskan kehendak Allah, dan mewaspadai setiap kehendak dan kepentingan diri.  Paulus membantu kita dengan kriteria menilai apa yang mendorong sikap dan tindakan kita, dari Roh atau dari kedagingan (Lih. Gal. 516-26; Rom. 8:1-17). Buah nyata dari kehendak Allah, akhirnya adalah kasih (Lih. Yoh. 15;1-17; 1 Yoh. 4:7-21).

Romo T. Krispurwana Cahyadi, SJ, Teolog/tinggal di Girisonta, Ungaran

HIDUP, Edisi No. 49, Tahun ke-76, Minggu, 4 Desember 2022

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles