HIDUPKATOLIK.COM – Hari-hari bergulir dengan cepat. Pelan tapi pasti, hari raya Natal yang kudus mulai mendekat. Di tengah aneka kesibukan mengurus usaha, kegiatan pelayanan, dan hiruk-pikuk berbagai acara daring, tahu-tahu saya menyadari Kalender Liturgi sudah memasuki minggu keempat Adven.
Seperti tahun-tahun sebelumnya, Masa Adven seperti berlalu begitu saja. sebelum saya merasa sepenuhnya mempersiapkan diri, Natal telah tiba di hadapan mata. Saya tersadar kedatangan Tuhan tentu akan terasa tiba-tiba kalau saya tidak mempersiapkan diri.
Suasana persiapan itu terutama dibangun oleh sarana yang disediakan Gereja bagi peziarahan umat-Nya di dunia, melalui kesempatan menerima Sakramen Pengakuan Dosa di paroki-paroki, dan Novena Natal 9 hari menjelang tanggal 25 Desember.
Sembari mempersiapkan diri untuk mengakukan dosa dalam Sakramen Tobat nanti malam, hati kecil saya galau, merasakan ada sesuatu yang mengusik kalbu.
Di antara kesibukan mempersiapkan aneka acara Natal, berbagai hadiah dan hidangan, kemeriahan lagu-lagu dan dekorasi, saya mencari-cari di mana Bayi Mungil Sang Raja Cinta itu akan dilahirkan, di antara keruwetan labirin relung hati saya, yang sekusam kandang hewan di Betlehem.
Minggu lalu di suatu siang, saya dikejutkan sebuah pesan Whatsapp dari kakak saya yang tinggal bersama kedua orang tua saya di Malang, kota kelahiran saya.
“Dik, Bapak tadi menanyakan kapan kamu pulang, beliau bilang kangen sama kamu”.
Ayah saya sudah berusia 87 tahun, meskipun beliau sehat karena kemurahan Tuhan, namun beliau sudah tidak bisa menelepon sendiri dan sudah sering lupa segala sesuatu. Bahwa beliau sampai menyatakan kangen adalah sesuatu yang di luar kelazimannya sehari-hari, karena sejak mulai pikun, ayah saya tidak lagi sering mendefinisikan perasaannya seperti kangen dan emosi emosi lainnya.
Sontak saya menghubungi nomor telepon genggam orang tua saya yang dibawa asisten rumah tangga ibu saya, dan meminta bantuannya untuk memberikan telepon genggam itu kepada ayah.
Saya ingin segera berbicara kepada ayah, bahwa saya pun sudah merindukannya dan akan segera pulang untuk merayakan Natal bersamanya. Hati saya makin trenyuh mendengar suara ayah menangis di antara kata-katanya di telepon.
“Bapak sudah kangen, kapan kamu pulang?’
“Aku pulang minggu depan Pak, hari Sabtu, Bapak tenang-tenang ya, kita akan segera bertemu lagi,” balas saya sambil menahan air mata haru
“Tuhan, izinkan kami berjumpa lagi dalam keadaan sehat dan sukacita di hari Natal nanti,” bisik hati saya sambil menutup percakapan telepon dengan ayah saya.
Sesungguhnya hidup ini sebuah perjalanan yang panjang tentang kerinduan. Kita rindu akan banyak hal, akan cinta yang tak pernah lekang, akan kebebasan yang tidak mengandung bahaya, akan rasa aman yang tidak dibatasi sakit penyakit dan usia, akan kedekatan relasi yang tidak mensyaratkan apa pun, akan rasa damai yang bertahan sampai kapan pun.
Namun kita tahu bahwa semua kerinduan itu tidak dapat terpenuhi di dunia. Hanya di dalam kasih kekal Bapa di Surga semua kerinduan itu menjumpai pemenuhannya. Meskipun pada saat itu semua rasa rindu tidak akan eksis lagi, karena Allah itu sendrilah kerinduan sejati jiwa kita dan satu-satunya.
Kerinduan ayah saya di tengah kondisi ingatannya yang tidak lagi prima membuat saya berpikir bahwa kerinduan tidak terikat logika dan kondisi fisik. Oleh karenanya tidak tergantung ruang dan waktu.
Di antara berbagai kesibukan duniawi yang menyedot energi dan waktu kita, Bapa di Surga merindukan kita, lebih dulu dan lebih dalam, jauh lebih dalam daripada kita merindukan Dia.
Bapa juga merindukan segala yang terbaik untuk dapat kita alami selama kita masih di dunia dan kelak bila kita sudah bersamaNya di Surga.
Itulah sebabnya Bapa mengutus Putera-Nya Yesus Kristus ke dunia, untuk memastikan kerinduan sejati kita menemukan jalannya untuk dapat terpenuhi.
Allah mempunyai mimpi-mimpi terindah dan termulia bagi sejarah kehidupan manusia. Dan bagi kita masing-masing. Seperti digambarkan dalam bacaan-bacaan Kitab Suci di Masa Adven, sepotong asa dari Mazmur 85:11-12: “Kasih dan kesetiaan akan bertemu, keadilan dan damai sejahtera akan bercium-ciuman. Kesetiaan akan tumbuh dari bumi, dan keadilan akan menjenguk dari langit”.
Bagi Allah selalu ada harapan, segalanya menjadi mungkin, dan yang lemah lesu dibuat baru, sebagaimana juga diungkapkan dalam Yes. 35:5-6: Pada waktu itu mata orang-orang buta akan dicelikkan, dan telinga orang-orang tuli akan dibuka. Pada waktu itu orang lumpuh akan melompat seperti rusa, dan mulut orang bisu akan bersorak-sorai, sebab mata air memancar di padang gurun, dan sungaii di padang belantara.
Namun misi-misi terbaik yang dirancang Bapa bagi masing-masing kita dan bagi kehidupan, hanya terwujud jika kita bekerja sama dengan Dia sebagai partner misi-Nya.
Sibuk dengan aneka kelekatan dunia dan mabuk oleh cinta diri membuat saya tidak siap untuk ditugaskan menjadi mitra kerja-Nya.
Sebaliknya, sikap tobat dan pengosongan diri, berani meninggalkan kebiasaan buruk, sikap belas kasih, siap berkorban, rendah hati, dan mau selalu peduli, membuat saya siap merespons panggilan Bapa menjalani misi-misi kasih dan keselamatan-Nya bagi dunia.
Hanya bersama Tuhan saya menemukan pemenuhan dari kerinduan saya yang asali, untuk senantiasa berada di dalam rahmat-Nya, merasakan hadirat-Nya yang penuh cinta dan kerahiman.
Saya meninggalkan ruang pengakuan dosa dengan hati yang damai. Sekarang saya mulai siap untuk menyambut Natal, meskipun saya masih akan terus berjuang dan jatuh bangun.
Namun yang terpenting, saya dikaruniai keberanian baru untuk meninggalkan zona nyaman saya, termasuk kebiasaan yang buruk dan berbagai kemalasan yang membuat saya tidak bertumbuh alias jalan di tempat dalam iman dan kasih saya kepada Tuhan.
Kerinduan-kerinduan saya yang terdalam diarahkan untuk menemukan jalan pemenuhannya, menuju sebuah kandang hewan yang sederhana, tapi tidak kusam, karena di sebuah palungan yang berada di dalamnya, Sang Bayi Suci yang saya cari sedang menyinari seluruh sudutnya dan membuatnya bercahaya.
Caecilia Triastuti Djiwandono