web page hit counter
Minggu, 22 Desember 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Uskup Sibolga, Mgr. Fransiskus Tuaman Sasfo Sinaga: Mengubah Bedil Jadi Cangkul

5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.COM – Minggu, 27 November 2022 Hari Minggu Adven I Yes.2:1-5; Mzm.122:1-2,4-5,6-7,8-9;Rm.13:11-14a;Mat.24:37-44

HUKUM lama yang dipegang kaum Israel adalah “mata ganti mata, gigi ganti gigi”. Musuh harus dikalahkan, dendam harus dibayar dengan darah. Ketika Israel dikuasai oleh dendam yang mematikan, Yesaya berteriak dengan nada tegas: “tempahlah pedang menjadi mata bajak, tombak menjadi pisau pemangkas.” Apabila Israel tidak bertobat, maka Anak Manusia akan mengangkat kapak-Nya dan mengganjari mereka dengan perbuatan yang setimpal: yang baik akan diganjari kemakmuran, sedangkan yang jahat akan dijatuhi hukuman kebinasaan.

Israel percaya bahwa Anak Manusia akan datang. Dia adalah Hakim yang bermurah hati, namun tegas dalam keputusan-Nya. Di tangan-Nya tergenggam “kapak dan penampi” sambil menyerukan pertobatan. Dia melawan kesombongan kesukuan sebab akan melanggengkan rantai kekerasan. Dia menuntut keputusan radikal sebab akan menentukan keselamatan atau kebinasaan.

Jika sosok Anak Manusia dalam keyakinan Israel demikian adanya, maka Anak manusia itu diibaratkan dengan “api yang menghanguskan”. Apabila Israel tidak bertobat, tidak mampu mengubah kesombongan mereka sebagai bangsa pilihan Allah, maka setiap saat, hati mereka akan dibalut rasa curiga, persaingan, pedang dan perang terhadap bangsa yang lain. Ketika saatnya Anak Manusia datang dan menemukan sikap hati mereka demikian, maka Dia akan mengangkat pedang untuk membinasakan mereka.

Baca Juga:  Percakapan Terakhir dengan Mgr. Michael Cosmas Angkur, OFM

Namun, Yesus (Anak Manusia) justru memperlihatkan sosok-Nya yang berbeda dengan sosok Anak Manusia yang dipahami Israel. Dia datang membawa cinta dan mengadili manusia dengan cinta-Nya. Dia bukanlah “api yang menghanguskan”, melainkan “cinta yang merangkul”. Daya cinta-Nya tidak hanya diperuntukan bagi orang yang benar, tetapi juga merangkul musuh. Dia datang bukan mengadili, melainkan mencari dan menyelamatkan yang hilang.

Mengapa  Yesus, Sang Anak Manusia datang membawa cinta? Bagi-Nya, kekurangan cinta akan memperpanjang tindakan pemerasan serta menambah penderitaan. Karena itu, Dia menghendaki kita untuk melumat rasa benci dan dendam dengan cinta; mengubah sikap agresif, nafsu kebinatangan untuk menguasa orang lain dengan kasih yang hangat; mengubah rasa sukuisme dan fanatisme agama dengan sikap terbuka, saling menghargai, dan saling menerima.

Baca Juga:  Uskup Pangkalpinang, Mgr. Adrianus Sunarko, OFM: Membawa Salam Damai

Ketika kita dikuasai oleh kebencian, saling bersirik-ria, saling menipu dan menguras, saling mengirim virus dendam agar yang lain menderita dan mati perlahan, saling meneror, Dia justru menyerukan: cintailah sesamamu seperti dirimu sendiri (Markus 12,33), cintailah musuhmu dan berdoalah bagi orang-orang yang menganiaya kamu (Matius 5,44; Lukas 6,27-35).

Apakah kita mampu mencintai dan merangkul musuh, ketika hukum rimba menuntut untuk dihukum? Inilah logika Yesus. Apabila kita hanya mencintai orang yang mencintai kita, apakah lebihnya kita? Cinta Yesus memang gila karena harus menembus batas, yaitu merangkul musuh. Yesus sungguh mencintai kita sehingga Dia tidak memperhitungkan kelemahan kita. Cinta-Nya “tidak teraba oleh tangan, tidak terlihat oleh mata, melebihi pelukan dan belaian, melebihi kegembiraan yang meluap.” Dia yang mencintai kita itu ada, bahkan ketika kita belum mengenal-Nya. Cinta-Nya nyata dalam korban-Nya demi keselamatan kita. Dia yakin bahwa dengan cinta yang merangkum musuh, Dia akan menciptakan dunia tanpa perang.

Baca Juga:  Sinergi Gereja dan Negara: Menghidupkan Iman, Humanisme, dan Kepedulian Ekologis

Untuk itu, mari kita menempah pedang menjadi mata bajak, tombak menjadi pisau pemangkas; mengubah bedil, tenk, pesawat tempur, bom dan semua alat perang menjadi cangkul, traktor, rumah sederhana, rumah ibadat. Kita harus sadar bahwa sumber kejahatan tidak berada di luar, tetapi “di dalam diri aku yang egois, aku yang kejam, aku yang sirik, aku yang dendam, aku yang tidak pernah puas, aku yang tidak pernah memahami dan menerima yang lain.” Marilah kita mengisi hati dengan cinta. Cinta akan mengubah yang pahit menjadi manis, keruh menjadi bening, sakit menjadi sembuh, penjara menjadi telaga, derita menjadi nikmat, kemarahan menjadi rahmat, dan musuh menjadi sahabat.

Daya cinta-Nya tidak hanya diperuntukan bagi orang yang benar, tetapi juga merangkul musuh.

HIDUP, Edisi No. 48, Tahun ke-76, Minggu, 27 November 2022

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles